Rumah Warisan Nenek
Rumah Warisan Nenek
30 May @Cermin
Oleh: Khatijah
Mataku menatap jam dinding kuno yang berada di ruang tengah. Dentangnya yang khas bergaung dua belas kali. “Sudah tengah malam,” pikirku. Sedetik pun aku belum bisa mengistirahatkan diriku. Pikiran terbang ke mana-mana. Wajah nenek dengan guratan-guratan keriputnya, terus menggoda di depan mata. Kulirik ibu sudah lelap. Barangkali terlalu capai. Ditambah lagi kondisi fisiknya yang sudah tidak muda lagi.
Menginap di rumah ini serasa kembali hidup dua puluh tahun ke belakang. Peristiwa-peristiwa indah dan lucu semua tersimpan manis. Sayangnya, sepeninggal nenek dan kakek, rumah ini dibiarkan begitu saja. Ibuku sebagai pewaris tunggal rumah ini tidak berkenan tinggal di sini. Ibu dan ayah memilih tinggal di kota. Selain, memang sudah punya rumah sendiri, di kota itu ayahku bekerja. Demikian juga aku dan dua orang adikku yang bersekolah di sana. Jadi, tidak bisa dibayangkan seperti apa kondisi rumah yang jarang ditempati. Sesekali saja Pak Man membersihkannya termasuk kanan kiri rumah. Itu saja kalau ibuku tidak lupa menyuruhnya lewat panggilan telepon.
Tadi pagi, aku sempat berkeliling di seputar rumah. Meski di pinggir jalan raya, tapi suasana sepi tak bisa dihindari. Rumah-rumah lain di desa ini jaraknya jauh-jauh. Ada dua rumah yang berdekatan dengan rumah ini, tapi nasibnya sama. Kedua rumah itu sudah ditinggalkan penghuninya. Entah karena meninggal dunia atau pindah ikut anak-anak mereka di kota lain. Kusempatkan juga menengok halaman belakang. Rumputnya tinggi. Belum ranting-ranting berdaun rimbun yang menutup pintu belakang.Ih, serem.
“Randi!”
Tiba-tiba aku dikejutkan oleh sayup-sayup suara yang memanggilku.Kutepis macam-macam kecurigaan di hatiku. Mungkin saja telingaku yang salah dengar. Padahal tak ada seseorang yang berada di luar.
Kulanjutkan membuka-buka HP. Dari bed sebelah, terdengar dengkuran ibu begitu halus. Kami memang tidak tidur di kamar. Ibu meminta tidur di ruang tengah saja. Di tempat ini ada dua bed. Ibu menempati bed dekat lemari sedangkan aku di dekat pintu penyekat dengan ruang tamu.
Untuk mendatangkan kantukku, kuisi dengan bermain game. Begini kebiasaan yang sering kulakukan jika tidak bisa tidur.Begitu asyiknya, hingga tak terasa sudah satu jam lamanya, tapi kantuk yang kutunggu tidak juga datang. Meski aku sudah sangat lelah. Kututup wajahku dengan bantal sebagai usaha agar cepat bisa tidur.
Entahlah aku sudah tertidur apa belum ketika seseorang memanggil namaku lagi. Kali ini badanku jadi gemetaran. Keringat dingin membasahi baju yang kupakai. Kututupkan selimut tebal di sekujur tubuhku.
“Ibu … ,” teriakku seketika saat ada suara-suara aneh dari arah dapur.
Ibu yang sejak sore sudah tertidur pulas, akhirnya bangun. Aku hanya diam ketika dia bertanya mengapa aku berteriak memanggilnya. Aku yakin ibu akan ketakutan jika mendengar alasanku.
Suara kicau burung membangunkan aku. Kutengok ibu sudah tidak ada di tempat tidurnya. Ketika aku mencarinya, ternyata ibu berkemas-kemas mengajakku pulang ke kota.
“Lho, katanya mau di sini seminggu. Kok ngajak pulang Bu?” tanyaku penasaran.
Ibu tidak menjawab. Wajah pucat dan sembab di matanya bercerita bahwa semalaman tidurnya tak bisa pulas.
Bondowoso, 30 Mei 2022