Tampilkan postingan dengan label cerita fantasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerita fantasi. Tampilkan semua postingan

Rabu, 27 Agustus 2014

Cerpen Sederhanaku



SEGELAS SUSU
Oleh: Khatijah,S.Pd
Guru SMPN 1 Tapen Bondowoso

Handuk kecil itu tiba-tiba jatuh...
Kupungut, dari bawah tempat jemuran yang airnya masih menetes. Kuseka butiran-butiran bening yang meleleh membasah di keningku. Bahkan butiran-butiran itu juga terasa  mengalir perlahan di balik daster lusuh yang sejak pagi belum sempat kuganti. Jerit bocah-bocah kecil di mulut gang sempit belakang rumah itu mengurai lamunanku.Kuangkat kakiku yang terasa ada beban berat yang membelenggu, tertatih menuju meja kecil bertaplak batik warna biru, yang sengaja diletakkan di teras belakang. HP NOKIA  tipe 7210 yang sering eror itu, masih tergeletak tanpa pembungkus.  Kuraih dengan tanganku yang gemetaran.Kuamati dan kubaca sekali  lagi  huruf-huruf kecil dengan kata  yang disingkat-singkat .”Tik, plg, Inu krtis.” Aku hafal betul,bahwa itu nomor HP Mbak Narti, kakak perempuan satu-satunya, yang kutitipi sementara untuk mengasuh Inu, anakku.
            Gemetaran jari-jariku semakin menjadi, seolah tak mampu menggenggam benda sekecil HP .Ingatanku terfokus pada sosok Inu. Bocah kecil yang lahir dari rahimku tiga tahun yang lalu itu mendera hati dan jiwaku . Masih segar diingatanku, ketika bocah itu merengek-rengek minta susu, sama seperti yang diminum anak-anak tetangga sebelah yang seusia dengannya. Terasa ada belati tajam menghunjam keras,mengiris-iris hati dalam dadaku. Karena aku tak kuasa menghentikan tangis Inu dengan memberinya segelas susu.
Hari demi hari, minggu demi minggu terus bergerak, luka di dadaku semakin menganga,saat Inu tak berhenti menunjuk-nunjuk sebuah gelas yang  berisi susu milik Resa teman bermainnya. Kembali,  sembilu merobek-robek hati dan pikiranku. Lagi-lagi aku gagal memenuhi permintaannya.Kuputar otakku, guna memecahkan batu karang yang menjadi penyebab naluri keibuanku terluka.Ya, terluka atas kesalahan terbesar dari salah yang tak termaafkan dari diriku sendiri.Aku tak berdaya, aku malu pada diriku, aku berdosa kepada anakku, Inu. Hanya segelas susu yang layaknya orang tua lain bisa menyediakan untuk anaknya tiap pagi saja,aku tak bisa.Aku hanya bisa membelinya lewat mimpi dan derai air mata.  Dan di tempat inilah aku ingin mengurai mimpi-mimpiku untuk dapat menyajikan segelas susu tiap pagi kepada pangeran kecilku. Benar, itu adalah mimpi yang selalu muncul di setiap kusuapi Inu dan kuminumi segelas air teh. Aku yakin, bahwa mimpi itu takkan pernah terwujud jika tak pernah ada ihtiar untuk menggapainya. Dan di suatu malam,saat kubersujud di istikharohku,ada kekuatan baja,kekuatan Patih Gajah Mada untuk menyatukan bumi nusantara, membisik, membangunkan nuraniku yang selama ini tumpul,setumpul pisau karatan.Mimpi itu harus terwujud.Dan aku tahu mimpiku tak akan pernah hadir  di sepanjang tidur Bu Nani majikanku.  Demi segelas susu itu,aku beranikan diriku menapaki belantara Jakarta yang panas,dunia baru yang sangat asing bagiku.Demi segelas susu itu juga, bibirku bungkam, tidak pernah  menyanyikan lagu Nina Bobok,yang biasa kubisikkan lirih di dekat  telinga Inu, saat bola mata kecilnya hampir tenggelam di balik kelopak mata  yang lucu.Segelas susu itu pula yang kini membentangkan jarak yang sangat jauh...  antara aku dan keluargaku.      
Hari ini adalah  hari yang ke-lima puluh,sejak kereta kelas ekonomi itu membawaku meninggalkan stasiun kecil yang berpagar melati-melati putih ,meninggalkan lambaian tangan Mbak Nani, , meninggalkan tangis pilu Inu,dan meninggalkan Mas Budi yang tergolek di ranjang tua.Menembus kabut pagi,menuju tempat yang menjanjikan delapan lembaran berwarna merah dengan gambar dua proklamator itu. Tadi malam, ketika jarum jam di kamar tamu rumah besar ini,menunjukkan pukul sebelas, aku sempat membentangkan jari-jemariku, kuhitung satu per satu“oh sepuluh hari lagi.” Tak terasa kata itu terucap dengan mantap. Ya ,.. sepuluh hari lagi, tanganku akan menenteng tas yang berisi susu, keluar dari Swalayan, layaknya orang-orang kaya itu.”Ah , itu sih tidak penting”,kubuang sikap sombongku seketika,saat muncul bayangan Inu memegang sebuah gelas berisi susu.
“Boleh, tapi dua bulan sekali,ya!” pinta Bu Nani nyonya rumah tempat aku bekerja itu, mengiyakan, saat aku minta diberi cuti kerja guna pulang kampung.
”Ah, seperti pegawai kantoran saja.” Pikirku,menggelitik.
Berarti sepuluh hari lagi aku akan bangga menyaksikan  buah hatiku terkekeh setelah minum susu yang aku bayar dengan cucuran keringatku. Tak kusadari  bibirku tersungging sedikit senyum, yang  rasanyasenyum itu sudah bertahun-tahun tak terlihat, semenjak penyakit aneh itu memenjara Budi, suamiku.
Kini, karena sms ini senyum itu kembali lenyap tak berbekas. Musnahlah semua warna-warna indah yang sejenak tersapu menghiasi kanvas pikiranku.Lenyap sudah angan-angan untuk menyaksikan kemenanganku dalam mewujudkan mimpi besarku.
Aku tersentak bangun ketika becak yang membawaku dari stasiun kecil itu berhenti, tepat di depan ruang UGD. Aku turun dengan langkah gontai..tanpa sebungkus susu di tanganku. Kubuka dompet, kuintip tinggal beberapa lembar ratusan ribu yang tersisa.
           



Entri yang Diunggulkan

Puisi-Puisiku

  Puisi-Puisiku Oleh: Khatijah   1.        MENDEKAP HARAP Kupatahkan ragu di tiang rapuh Menjaga rasa cita pada setia Di cadas lin...