Jumat, 27 Januari 2023

Air Mata Emak


Foto: Koleksi Pribadi

Air Mata Emak

Oleh: Khatijah

Gerimis belum juga reda. Rinainya justru menjadi lebih kerap dan lebih keras. Emak memandangi langit. Warna abu-abu yang menggantung memenuhi ruangan besar itu menutup warna lazuardi. Degup jantung Emak semakin kencang. Wajah keriputnya berbalur rona cemas tak berkesudahan.

“Kenapa belum juga datang. Sebentar lagi hujan deras,” keluhnya sambil menatap jalan kecil tak beraspal di depan rumahnya yang entah berapa ribu kali dia lakukan.

Wanita berumur itu bernapas panjang. Di telinganya masih terngiang ucapan putri semata wayangnya, Rahmi. Anak perempuannya itu berjanji akan datang hari ini. Katanya dia akan berlibur dari pekerjaannya. Sudah tak terhitung jumlah tahunnya, dia tidak pulang menjenguk ibunya yang sudah renta. Sibuk, tidak mendapatkan izin dari atasan, merupakan alasan yang selalu diucapkan kepada orang tuanya. Berita kedatangannya ke kampung kali ini akan menjadi pengobat rindu Emak.

Emak masih menunggu. Gundahnya kian meriuh. Perasaannya berbicara, jangan-jangan ada sesuatu yang membuat Rahmi belum juga datang. Berkali-kali dia menatap langit yang semakin hitam seraya merapal doa buat keselamatan putrinya.

Dibukanya tudung saji yang menutup makanan hasil memasaknya sejak subuh. Sayur brongkos, tahu dan tempe bacem, serta sambel bajak sudah tersaji di meja makan sederhananya. Terbayang, Rahmi menyantapnya dengan lahap. Buru-buru dia menyingkirkan beberapa ekor semut yang hampir saja mengerubuti makanan kesukaan anak semata wayangnya itu.  

            “Emak, Selamat Hari Ibu ya, Mak.” Sebuah ucapan tiba-tiba mengawali videocall melalui ponsel milik Wanda, anak tetangga sebelah.

            Emak mengusap peluh di keningnya saat mendengar ucapan itu. Sebab dia tidak begitu tahu apa itu Hari Ibu. Sebenarnya bukan ucapan itu yang dia mau. Keinginan terbesarnya hanyalah memandang wajah Rahmi, memeluk, dan membelai rambutnya serupa yang selalu dia lakukan sejak Rahmi masih kecil. Dia ingin meluapkan perasaan rindunya yang tersimpan sejak lama. Kerinduan yang nyaris mengalahkan sebuah ucapan yang baru saja didengarnya. Lebih-lebih saat Rahmi membatalkan janji untuk hadir di pelukannya

            “Jadi, kamu gak jadi pulang, Nduk?” tanya Emak di sela-sela derai air matanya.

            “Maafkan Rahmi, ya Mak! Ternyata Rahmi tidak mendapatkan izin. Ini akhir tahun, Mak. Pekerjaan di kantor sangat membutuhkan Rahmi. Emak tunggu Rahmi, di awal tahun saja, ya!”

Ucapan Rahmi bagai petir menyambar dan memburaikan air mata Emak. Wanita berumur itu, tak bisa berkata-kata. Dia hanya diam membisu sambil memandangi wajah putrinya. Ditumpahkannya rindunya lewat gawai di gemetar tangannya. Ingin sekali dia meraihnya dan tidak akan melepaskan dari dekapannya. Namun, jarak yang membentang menjadi penghalangnya.

“Sudah ya, Mak. Rahmi buru-buru mau ke kantor.” Rahmi mengakhiri panggilan videonya.

Emak hanya mengangguk. Tak mampu bibirnya mengucap kata-kata. Sepenggal doa menggema di dalam hatinya. Dia mohonkan ampun kekeliruan anaknya. Seperti pinta untuk kesehatan dan keselamatan yang selalu menjadi bagian di setiap akhir sujudnya. Meski dia belum juga bisa bertemu dengan jantung hati belahan jiwa, tapi kasih sayangnya tak lekang. Derai air mata membersamai derai hujan yang kian deras.

Sebulan Emak menggantung harapan. Kedatangan putri semata wayangnya tak lepas dari mimpinya. Sehari, dua hari, seminggu, dua minggu, tahun baru tak henti menapaki tangga waktu. Namun, Rahmi tak juga datang. Kesibukan di kota besar tidak memberinya peluang menyemai cinta di hati wanita yang telah mengukir jiwa raganya. Hingga penyesalan datang saat sebuah berita memintanya pulang dan harus pulang. Namun, tangan renta itu tak lagi bisa memeluk dan membelainya.Tumpahan air mata menjadi sia-sia. Hanya kesunyian menyambut. Didekapnya erat-erat sebuah nisan di atas gundukan tanah merah yang masih basah. Sesalnya menjerit, meratapi waktu yang membelenggu. Gerimis yang menyiramnya menjadi pengingat air mata wanita tua, air mata Emak. Di bawah nisan itu, terbaring jasadnya. Tak henti berharap taburan doa. Menanti dan menanti.  

 

Jember, 28 Desember 2022

 

 

 

 

 


Rabu, 25 Januari 2023

Kamar 115

 

Kamar 115

Oleh: Khatijah

                                                                    Foto: Koleksi Pribadi

Kamar 115

Oleh: Khatijah

“Taruh di sini saja tasnya, kita salat magrib dulu,” kataku kepada Lana yang masih memegang ujung kopernya sambil berdiri mematung di teras. Gerimis rintik-rintik mengantarkan warna jingga yang tersisa di pucuk-pucuk pohon cemara di depan bangunan berlantai tiga yang catnya tampak kusam.

Suasana sangat sepi. Hanya tampak dua orang wanita yang asyik mengobrol. Sepertinya mereka sedang menunggu jemputan pulang. Aku enggan menyapanya, tapi Lana menghampiri mereka tanpa persetujuan denganku. Entahlah apa yang Lana tanyakan. Hanya tampak salah seorang dari wanita itu menunjuk lorong yang ada di samping.

Pandanganku menyapu sekeliling lalu berhenti di ujung sebelah kiri bangunan. Tampak sebuah papan bertuliskan “Mushala” dan di bawahnya ada tanda panah. Lampu-lampu sudah dihidupkan. Namun, cahayanya terlalu redup untuk ukuran penginapan atau bolehlah disebut hotel. Letaknya yang berada di tempat agak tinggi membuat hawanya terasa dingin menusuk kulit. Memang letaknya di punggung bukit. Untuk sampai di tempat ini, aku dan Lana harus naik ojek.

 “Sepertinya, tempat ini sudah lama gak digunakan ya, Tri,” ucap Lana yang baru saja membuka bibirnya untuk berbicara.

“Mungkin akibat pandemi kemarin. Atau bisa juga pernah jadi tempat isolasi para penderita covid,” sahutku sekenanya.

“Bisa juga. Ngapain sih pelatihan kok ditaruh tempat sepi seperti ini?” protes Lana, wajahnya memberengut.

“Positif thinking aja! Mungkin panitia ingin agar kita bisa sekalian menikmati pemandangan alam yang masih asri.” Aku terpaksa memberi motivasi agar Lana bersemangat sambil melangkahkan kaki menuju musala.

Tidak seberapa lama, kami berdua sampai di musala. Tanpa bicara aku dan Lana memutar kran yang berada di samping musala untuk berwudu. Dingin air wudu terasa meresap di kulit. Wajahku melongok ke dalam ruangan. Bergegas kami masuk. Tampak dua lelaki sedang berzikir di karpet tebal warna hijau yang terhampar. Aku dan Lana menjalankan salat tiga rekaat sendiri-sendiri.

“Cepat sekali orang-orang tadi ya, Tri. Baru saja selesai salam, mereka sudah gak ada,” celetuk Lana sambil melipat mukenanya.

Aku hanya diam sebab perkataan itu sama benar dengan pertanyaan di dalam pikiranku. Aku juga heran karena tidak lagi melihat dua laki-laki tadi. Namun, aku tidak menjawab komentar Lana. Aku hanya menarik tangannya untuk cepat-cepat meninggalkan tempat itu.

Rupanya aku dan Lana peserta pelatihan yang paling awal datang. Kenyataannya, sampai waktu magrib, tidak satu pun tampak orang-orang yang membawa tas besar seperti kami, datang di tempat ini. Panitia pun belum ada. Memang bukan salah mereka, tapi salah kami sendiri. Aku dan Lana sengaja datang lebih awal karena rumah kami memang sangat jauh. Memerlukan waktu lebih dari empat jam untuk sampai ke tempat ini. Padahal acara baru dibuka besok pagi tepat pukul tujuh. Sangat tidak mungkin kami berangkat malam-malam. Semua ini kami lakukan agar kami tidak terlambat.

Aku mendahului Lana menuju ruang resepsionis. Dua orang meyambut kami.  Aku buru-buru ceck in dengan menambah biaya di luar yang disediakan panitia. Kunci pun diserahkan.

“Kamarnya sebelah kanan Mbak. Masuk saja lorong ini dan cari sesuai nomor yang tertulis di kunci ini,” kata pemuda yang memberikan kunci tanpa mengantarkan kami mencari kamar yang dimaksud.

Dengan buru-buru kugamit lengan Lana dan berjalan ke arah lorong yang tadi ditunjukkan oleh petugas resepsionis. Sepi. Suara roda-roda koper yang kami tarik saja yang menggema memenuhi lorong. Kuamati nomor yang ada di setiap pintu yang berderet dari kiri ke kanan. Sesekali juga melihat pintu-pintu di depannya. Setelah sampai di tengah-tengah tampaklah 115

“Ini kamarnya, Tri,” seru Lana seraya menghentikan langkah.

“Bukan. Kamar kita nomor 74,” sahutku sambil mengamati angka yang ada di kartu kunci.

Aku justru berjalan beberapa langkah karena aku melahat kamar yang kami cari berada di deret sisi kiri. Sedangkan kamar yang ditunjuk Lana berada di deret sebelah kanan. Lalu kami masuk kamar setelah menempelkan kartu di bawah gagang pintu. Baru saja menyelonjorkan kaki di kasur, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Kami berpandangan ketika mendengar suara orang bercakap-cakap. Begitu lega hatiku karena sudah ada peserta lain yang datang.

Aku buru-buru membuka pintu untuk memastikan siapa yang datang. Benar adanya, seorang wanita membawa tas dan memasuki kamar 115 yang agak berhadapan dengan kamar yang kutempati.  

“Sendiri saja, Mbak?” tanya Lana yang mendahului keluar kamar.

Dengan ramah wanita itu menjawab. Dia memang hanya sendirian setelah seorang pemuda yang mengantarnya kembali. Aku membujuknya agar mau tidur bertiga di kamar yang kutempati dengan Lana, tetapi dia tidak berkenan. Barangkali dia merasa canggung karena baru saja berkenalan.

Malam merangkak seiring hujan yang tidak berhenti. Kegelisahan meriuh di antara suasana sepi yang semakin mencekam. Berkali-kali aku mencoba memejamkan mata, tapi tetap tidak bisa terlelap. Iri hatiku menyaksikan Lana yang sejak sore sudah pulas.

Dadaku berdebar kencang ketika tiba-tiba terdengar jeritan seseorang. Sebentar kemudian terdengar orang menggedor-gedor kamarku. Aku tidak berani membuka pintu.Terpaksa kubangunkan Lana untuk mengatasi ketakutan yang menderaku. Beruntung dia cepat bangun. Dengan mata yang masih merah dia membuka pintu. Tanpa persetujuan, teman wanita yang tidur sendirian di kamar seberang menghambur masuk. Wajahnya pucat. Tangannya gemetar. Kami yang menanyainya turut merasakan ketakutan yang begitu hebat.

“Ada yang menggangguku di kamar sana,” ucapnya setengah berbisik.”Aku numpang tidur di sini, ya!”

Ketika pagi tiba kami keluar kamar dan tidak menemui seorang pun peserta yang sudah datang. Padahal Winda temanku yang melarikan diri dari kamar 115 itu, bercerita bahwa semalam mendengar banyak orang di lorong itu bahkan ada yang membawa anak kecil. Dia pun melanjutkan ceritanya bahwa dia terbangun karena ada tangan besar yang menempel di wajahnya.  

 

Bondowoso, 10 Februari 2023

 

 

 




Entri yang Diunggulkan

Puisi-Puisiku

  Puisi-Puisiku Oleh: Khatijah   1.        MENDEKAP HARAP Kupatahkan ragu di tiang rapuh Menjaga rasa cita pada setia Di cadas lin...