Menanti Matahari
Menanti Matahari
Part @4
Oleh: Khatijah
“Ayo,
Anti kita keluar. Lihatlah dari sini pemandangan di senja sangat menakjubkan!”
ajak Andara sambil melongokkan wajahnya ke luar.
Jandela
di kamar yang ditempati Rianti dan Andara memang menghadap kea rah laut lepas. Dari
tempat itu Andara bisa memandang dermaga yang berada agak menyamping ke sebelah
kiri. Meski mata tidak leluasa karena terhalang oleh dahan-dahan cemara udang,
tapi jauh di batas cakrawala masih tampak bola besar berwarna merah darah yang
tinggal separuh tercelup ke dalam air. Bola besar itu menyebarkan warna serupa
di atas permukaan ombak hingga menimbulkan gelombag-gelombang jingga yang
sangat indah. Sejuk angin menerpa wajah Andara mengurai anak-anak rambutnya
nyaris menutup matanya.
Rianti
bermalas-malasan di atas kasur meski pusing kepalanya terasa kian menghilang
setelah beberapa menit dia sempat terlelap. Ajakan Andara menimbulkan penasaran.
Dia pun mencoba bangun. Seribu
kunang-kunang tiba-tiba menyerbu pandangannya sesaat setelah di duduk. Keringat
dingin kembali membasahi wajah dan tubuhnya. Perlahan dia kembali pada posisi
berbaring.
“Andara,
kamu keluar saja sendiri! Aku gak bisa ikut.”
Dengan
ucapan terputus-putus, Rianti memejamkan matanya. Kelopak matanya tampak
cekung, bibirnya memutih. Karena terhipnotis suasana di luar, perhatian Andara
tidak sempat singgah pada kondisi sahabatnya. Dia menganggap Rianti hanya
bermalas-malasan saja. Tanpa menoleh ke arah Rianti, dia buru-buru berlari
keluar kamar. Semangatnya untuk menikmati suasana pantai di saat senja terpicu
juga oleh tiga kawannya, Al, Giano, dan Sheila yang sudah lebih dulu berkejaran
di pantai.
Rianti
menahan rasa sakitnya. Sambil gemetaran, jari-jarinya berselancar di setiap
saku baju dan celannya untuk mencari obat. Namun, usahanya sia-sia sebutir pun
tidak tersisa. Semuanya telah tertelan ombak bersama tas kecil saat perjalanan
menuju pulau ini. Dicobanya memejamkan mata rapat-rapat agar bisa tertidur. Namun
suara derit pintu membuatnya terkejut.
“Andara
kenapa kembali?”
Masih
dalam kondisi terpejam Rianti memastikan jika yang membuka pintu itu Andara. Namun,
orang yang dianggapnya Andara tidak segera menyahut. Suara langkah kaki yang
kian mendekat, memaksa Rianti membuka
matanya. Seketika dia bangun dari posisinya berbaring. Dia biarkan matanya
menyapu ke setiap sudut, tetapi tidak ada Andara, tidak ada juga seorang pun
yang tampak di ruangan itu.
“Andara,
Andara kamu di mana?” teriaknya berulang-ulang.
Anehnya,
suara langkah itu tidak terdengar lagi. Padahal sebelumnya, jelas sekali suara
itu mendekat sama persis dengan langkah kaki manusia. Karena tidak menemukan
Andara, Rianti buru-buru mengambil ponselnya yang tergeletak di atas bantal.
Secepat kilat dia mencari kontak WA Andara dan ditekannya gambar gagang camera
di bagian atas aplikasi itu. Lalu dia menggeser ke atas. Tidak menunggu lama,
Andara pun mengangkat panggilan video dari Rianti.
“Ada
apa Anti? Ayo ke sini. Sudah sembuh kan pusingnya?”
Bukan
main terkejutnya Rianti setelah dia melihat Andara lagi berada di pantai
bersama teman-temannya yang lain. Rianti mengambil kesimpulan bahwa memang
bukan Andara yang baru saja masuk ke dalam kamar. Tiba-tiba pikirannya
mencurigai laki-laki yang bertemu di halman. Yang dipanggil dengan nama Pak
Sofyan baik oleh Giano maupun Andara.
“Andara,
barusan kamu kembali ke kamar, ya?”
“Enggak,
aku ada di sini kok. Kamu saja gak mau. Nih, lihat teman-teman semua di
sini. Asyik sekali, ayo sini!” sahut Andara sambil
mengarahkan camera ke arah Giano, Al, dan Sheila.
Seketika
Andara terkejut bukan main karena dia melihat sekelebat bayangan di belakang
Rianti. Dia pun memekik keras-keras dan tanpa sadar ponselnya terlempar jauh. Teman-temannya
pun berlari mendekat ke arah Andara.
“Kenapa
An? Ada apa?” tanya Sheila seraya memegang tangan Andara yang terus memegangi
dua telinyanya. Sementara El dan Giano hanya terkesima memandangi ekspresi
Andara yang tiba-tiba menggigil ketakutan.
“Di
kamar. Rianti!” teriaknya sambil menunjuk ke arah kamar di mana Rianti berada.
Giano
dan El langsung tanggap atas ekspresi Andra yang menggambarkan ketakutan dan
kengerian. Mereka mengkhawatirkan Rianti. Secepat kilat, Giano mengambil
langkah seribu meninggalkan tempat itu. El yang semula hanya memandang
tertegun, akhirnya mengekor di belakangnya dengan berlari tidak kalah
kencangnya. Sheila dan Andara tidak berdiam diri. Mereka pun mengejar dua
temannya yang sudah lebih dulu membuat tepian laut itu sepi.
Hanya
dalam hitungan menit, Giano sudah sampai di depan kamar Rianti. Dia langsung
mendobrak pintu yang ternyata tidak terkunci. Dengan napas tidak beraturan, dia
sapukan pandangan ke setiap sudut kamar. Namun, matanya tidak menangkap Rianti.
Tidak ada siapa-siapa. Dibukanya kamar mandi dan mencarinya di sana, tetapi
kosong. Dalam was-was yang sempurna dia berpikir keras kemana Rianti berada. Pertanyaan-pertanyaan
meneggelamkan pikiran warasnya. Berbagai praduga muncul tiba-tiba.
“Rianti!”
pekiknya memenuhi ruangan berukuran 5 x 5 meter itu.
Keriuhan
segera terjadi ketika El, Sheilla, dan Andara sampai di kamar itu. Mereka
memanggil Rianti bergantian. Namun, tidak ada satu pun jawaban. Giano berlari
menuju lobi depan melewati lorong yang menghubungkan kamar-kamar dan ruang
tengah. Matanya tidak henti mengamati setiap tempat yang dilewati. Kosong. Lalu
ingatannya berlari pada Mang Sofyan, satu-satunya laki-laki yang berada di
bangunan tepi pantai ini.
“Mang
Sofyan, Mang!”
Bws, 23 Juni 2023