Kamis, 22 Juni 2023

Menanti Matahari


 Menanti Matahari

Part @4

Oleh: Khatijah

“Ayo, Anti kita keluar. Lihatlah dari sini pemandangan di senja sangat menakjubkan!” ajak Andara sambil melongokkan wajahnya ke luar.

Jandela di kamar yang ditempati Rianti dan Andara memang menghadap kea rah laut lepas. Dari tempat itu Andara bisa memandang dermaga yang berada agak menyamping ke sebelah kiri. Meski mata tidak leluasa karena terhalang oleh dahan-dahan cemara udang, tapi jauh di batas cakrawala masih tampak bola besar berwarna merah darah yang tinggal separuh tercelup ke dalam air. Bola besar itu menyebarkan warna serupa di atas permukaan ombak hingga menimbulkan gelombag-gelombang jingga yang sangat indah. Sejuk angin menerpa wajah Andara mengurai anak-anak rambutnya nyaris menutup matanya.

Rianti bermalas-malasan di atas kasur meski pusing kepalanya terasa kian menghilang setelah beberapa menit dia sempat terlelap. Ajakan Andara menimbulkan penasaran. Dia pun  mencoba bangun. Seribu kunang-kunang tiba-tiba menyerbu pandangannya sesaat setelah di duduk. Keringat dingin kembali membasahi wajah dan tubuhnya. Perlahan dia kembali pada posisi berbaring.

“Andara, kamu keluar saja sendiri! Aku gak bisa ikut.”

Dengan ucapan terputus-putus, Rianti memejamkan matanya. Kelopak matanya tampak cekung, bibirnya memutih. Karena terhipnotis suasana di luar, perhatian Andara tidak sempat singgah pada kondisi sahabatnya. Dia menganggap Rianti hanya bermalas-malasan saja. Tanpa menoleh ke arah Rianti, dia buru-buru berlari keluar kamar. Semangatnya untuk menikmati suasana pantai di saat senja terpicu juga oleh tiga kawannya, Al, Giano, dan Sheila yang sudah lebih dulu berkejaran di pantai.

Rianti menahan rasa sakitnya. Sambil gemetaran, jari-jarinya berselancar di setiap saku baju dan celannya untuk mencari obat. Namun, usahanya sia-sia sebutir pun tidak tersisa. Semuanya telah tertelan ombak bersama tas kecil saat perjalanan menuju pulau ini. Dicobanya memejamkan mata rapat-rapat agar bisa tertidur. Namun suara derit pintu membuatnya terkejut.

“Andara kenapa kembali?”

Masih dalam kondisi terpejam Rianti memastikan jika yang membuka pintu itu Andara. Namun, orang yang dianggapnya Andara tidak segera menyahut. Suara langkah kaki yang kian mendekat, memaksa  Rianti membuka matanya. Seketika dia bangun dari posisinya berbaring. Dia biarkan matanya menyapu ke setiap sudut, tetapi tidak ada Andara, tidak ada juga seorang pun yang tampak di ruangan itu.

“Andara, Andara kamu di mana?” teriaknya berulang-ulang.

Anehnya, suara langkah itu tidak terdengar lagi. Padahal sebelumnya, jelas sekali suara itu mendekat sama persis dengan langkah kaki manusia. Karena tidak menemukan Andara, Rianti buru-buru mengambil ponselnya yang tergeletak di atas bantal. Secepat kilat dia mencari kontak WA Andara dan ditekannya gambar gagang camera di bagian atas aplikasi itu. Lalu dia menggeser ke atas. Tidak menunggu lama, Andara pun mengangkat panggilan video dari Rianti.

“Ada apa Anti? Ayo ke sini. Sudah sembuh kan pusingnya?”

Bukan main terkejutnya Rianti setelah dia melihat Andara lagi berada di pantai bersama teman-temannya yang lain. Rianti mengambil kesimpulan bahwa memang bukan Andara yang baru saja masuk ke dalam kamar. Tiba-tiba pikirannya mencurigai laki-laki yang bertemu di halman. Yang dipanggil dengan nama Pak Sofyan baik oleh Giano maupun Andara.

“Andara, barusan kamu kembali ke kamar, ya?”

“Enggak, aku ada di sini kok. Kamu saja gak mau. Nih, lihat teman-teman semua di sini.  Asyik  sekali, ayo sini!” sahut Andara sambil mengarahkan camera ke arah Giano, Al, dan Sheila.

Seketika Andara terkejut bukan main karena dia melihat sekelebat bayangan di belakang Rianti. Dia pun memekik keras-keras dan tanpa sadar ponselnya terlempar jauh. Teman-temannya pun berlari mendekat ke arah Andara.

“Kenapa An? Ada apa?” tanya Sheila seraya memegang tangan Andara yang terus memegangi dua telinyanya. Sementara El dan Giano hanya terkesima memandangi ekspresi Andara yang tiba-tiba menggigil ketakutan.

“Di kamar. Rianti!” teriaknya sambil menunjuk ke arah kamar di mana Rianti berada.

Giano dan El langsung tanggap atas ekspresi Andra yang menggambarkan ketakutan dan kengerian. Mereka mengkhawatirkan Rianti. Secepat kilat, Giano mengambil langkah seribu meninggalkan tempat itu. El yang semula hanya memandang tertegun, akhirnya mengekor di belakangnya dengan berlari tidak kalah kencangnya. Sheila dan Andara tidak berdiam diri. Mereka pun mengejar dua temannya yang sudah lebih dulu membuat tepian laut itu sepi.

Hanya dalam hitungan menit, Giano sudah sampai di depan kamar Rianti. Dia langsung mendobrak pintu yang ternyata tidak terkunci. Dengan napas tidak beraturan, dia sapukan pandangan ke setiap sudut kamar. Namun, matanya tidak menangkap Rianti. Tidak ada siapa-siapa. Dibukanya kamar mandi dan mencarinya di sana, tetapi kosong. Dalam was-was yang sempurna dia berpikir keras kemana Rianti berada. Pertanyaan-pertanyaan meneggelamkan pikiran warasnya. Berbagai praduga muncul tiba-tiba.

“Rianti!” pekiknya memenuhi ruangan berukuran 5 x 5 meter itu.

Keriuhan segera terjadi ketika El, Sheilla, dan Andara sampai di kamar itu. Mereka memanggil Rianti bergantian. Namun, tidak ada satu pun jawaban. Giano berlari menuju lobi depan melewati lorong yang menghubungkan kamar-kamar dan ruang tengah. Matanya tidak henti mengamati setiap tempat yang dilewati. Kosong. Lalu ingatannya berlari pada Mang Sofyan, satu-satunya laki-laki yang berada di bangunan tepi pantai ini.

“Mang Sofyan, Mang!”

Bws, 23 Juni 2023

Selasa, 20 Juni 2023

Serpihan Cinta di Langit Saga

 

                                                Foto: Koleksi Pribadi "Tamansari Yogyakarta"

  Serpihan Cinta di Langit Saga

Part 14

Oleh: Khatijah

Ratih membuka matanya. Dia merasakan tubuhnya remuk. Sendi-sendinya terasa tidak berfungsi. Keringat dingin membasahi baju yang dikenakannya. Dalam kondisi seperti itu, dia kaget bukan main saat menyapukan pandangan ke sekeliling. Tampak dinding tinggi membatasi sebuah ruangan lebar dengan ornament keemasan. Sebuah vas setinggi dada tempat meletakkan bunga-bunga lili warna kuning gading bertengger di pojok ruangan. Sedangkan di dekat jendela kuntum-kuntum bunga mawar putih kecil-kecil tertata indah di sebuah vas yang berukuran sama dengan vas yang berada di pojok. Semerbak wanginya menerpa indra penciuman. Pandangan mata Ratih meluruh ke bawah. Sebuah karpet tebal warna merah saga melapisi lantai.

Perlahan Ratih mencoba bangkit. Kasur empuk dan tebal serupa menggelamkan tubuhnya. Sehingga dia kesulitan untuk menopang tubuhnya. Dia terkejut saat memandang dua perempuan berkebaya yang berdiri di sampingnya.

“Maaf, kalian ini siapa,ya? Aku sedang berada di mana?” Serta-merta Ratih menyapa mereka.

“Kami pelayan yang siap membantu Ndoro,” sahut seorang perempuan yang usianya lebih dari paruh baya.

Sedangkan wanita muda yang berparas cantik hanya mengangguk kecil.

“Tuan Muda telah membawa Tuan Putri ke sini.” Wanita itu melanjutkan penjelasannya.

Sejenak Ratir terbengong. Dia mencoba menggali memorinya. Tidak ada bayangan sama sekali tentang sosok yang telah membawanya ke tempat ini. Yang dia ingat hanyalah Melati si gadis kecil yang mengajaknya berjalan-jalan di dekat danau. Setelah itu, ingatan Ratih tidak lagi menyimpan peristiwa yang dialaminya.

“Di mana Melati?”

Ratih menengok ke kanan dan ke kiri, tetapi tidak dilihatnya anak perempuan yang sebelumnya membersamai dirinya di jalan menuju telaga.

“Melati siapa, Tuan Putri?”

Sambil kebingungan salah seorang yang lebih tua menanggapi pertanyaan Ratih.

“Aku bukan Tuan Putri, namaku Ratih.”

Ratih merasa aneh terhadap sebutan yang diberikan oleh perempuan-perempuan yang berada di depannya. Ucapan-ucapannya begitu halus.  

“Kalau Tuan Putri sudah enakan, dipersilakan untuk membersihkan diri. Mari  saya antarkan ke  tempat pemamdian,” ujar perempuan yang usianya lebih muda, bahkan mungkin hanya beberapa tahun di atas usia Ratih.

Ratih tidak menyahut. Hatinya sangat sedih karena harus berpisah dengan Melati dan kedua orang tuanya. Hatinya juga sangat khawatir kalau Dewanda akan datang dan mencarinya. Dia benar-benar menyesal karena tidak bisa menjaga amanah dari pemuda yang telah melepaskan dirinya dari cengkeraman para penjahat. Dia tidak mematuhinya, tetapi justru mengikuti permintaan anak kecil Melati melihat-lihat pemandangan di luar rumah. Padahal dia paham benar bahwa pesan Dewanda itu untuk menyelamatkan dirinya dari orang-orang tidak baik, termasuk orang yang telah membawanya ke tempat ini.

“Mari, Tuan Putri. Kami siap menemani Tuan Putri mandi!” Wanita lebih dari paruh baya terus mendesak Ratih. Sedangkan perempuan yang lebih muda membawa  setumpuk pakaian yang diperkirakan disediakan untuknya.

Ratih mengerutkan dahinya. Pandangannya melirik pada pakain yang melekat pada tubuhnya. Kusut dan dekil. Malu tiba-tiba menjalari perasaannya. Dia merasa tidak pantas untuk menempat di tempat yang sangat  mewah.  Ddia jadi bingung. Akankah dia mengikuti perintah para wanita itu atau dia akan kabur.

Bondowoso, 21 Juni 2023  

  

 



Entri yang Diunggulkan

Puisi-Puisiku

  Puisi-Puisiku Oleh: Khatijah   1.        MENDEKAP HARAP Kupatahkan ragu di tiang rapuh Menjaga rasa cita pada setia Di cadas lin...