Mendeskripsikan Latar dalam Cerita
Oleh:
Khatijah
Sebuah
peristiwa dalam fiksi, termasuk novel pasti dibalut oleh unsur yang satu ini, yakni latar. Latar
atau setting meliputi tempat (setting lokasi), waktu, dan suasana. Biasanya
ketiganya muncul selalu bersamaan di dalam satu paragraf. Latar tempat merupakan
bagian cerita yang menggambarkan lokasi sebuah adegan atau tempat terjadinya
peristiwa yang dialami oleh tokoh. Setiap adegan di dalam novel selalu berada
di suatu tempat tertentu dan dalam kondisi tertentu.
Pertanyaannya,
apakah latar tempat dalam cerita fiksi harus riil? Jawabannya tidak. Latar
tempat dalam cerita fiksi boleh riil boleh tidak. Jika penulis memilih tempat
yang menjadi latar cerita itu riil, maka syaratnya penulis harus mengadakan
riset terlebih dahulu untuk membangun data yang berupa fakta. Jika latar
tempatnya bersifat imajinatif, penulis hanya perlu menyiapkan data fantasi.
Untuk mendeskripsikan latar tempat
perlu memperhatikan hal-hal berikut:
Mengadakan Riset
1. Jika
tempat yang menjadi latar peristiwa itu nyata, penulis harus mengadakan riset
terhadap tempat tersebut. Hal ini dilakukan untuk menghindari cacat logika.
Untuk memperoleh data-data terhadap tempat tersebut kita bisa melakukan
pengamatan, mewawancarai informan, dan mempelajari hal-hal yang terkait dengan
tempat tersebut. Data-data yang perlu dicatat mulai dari kondisi alam dan
lingkungannya, suasananya, budayanya atau kebiasaan-kebiasaan penduduknya,
makanan khasnya, bahasa sehari-hari penduduknya, dan seterusnya.
Mengadakan
riset tidak harus datang ke tempat tersebut. Kita dapat menggali keterangan
dari membaca buku, artikel, dan video. Internet menjadi sebuah kebutuhan
penting di dalam melakukan riset ini. Melalui google kita dapat menggali banyak
fakta. Bisa juga dari media sosial dan google street view untuk melihat objek
wisata dan jalanan.
Mengapa
harus mengadakan riset? Sebab setiap tempat memiliki kondisi alam yang berbeda,
termasuk budaya, dan kebiasan yang dapat berpengaruh pada karakter tokoh.
Berbeda
jika latar peristiwa di dalam cerita tidak riil hanya berdasarkan imajinasi,
penulis cukup membangun data fantasi tanpa mengesampingkan logika.Meskipun
latar diciptakan oleh penulis novel, tetapi harus dihindari hal-hal yang tidak
masuk akal.
2. Menggunakan
Pancaindra.
Seperti manusia dalam dunia nyata, tokoh dalam cerita juga memiliki
panca indra. Mereka juga dapat melihat, mendengar, meraba, menghirup, dan
merasakan sesuatu. Oleh karena itu, agar deskripsi latar lebih kuat sebaiknya
memasukkan unsur pancaindra.
3. Mendeskripsikan
latar tidak bertele-tele. Penggambaran latar tidak perlu berpanjang lebar
hingga beberapa paragraph. Cukup satu paragraf dengan menyisipkan aktivitas
tokoh.
4. Meskipun
kita memanfaatkan kalimat-kalimat dengan memasukkan unsur pancaindra, tetapi jangan
berlebihan karena akan membuat pembaca jenuh dan tidak respek terhadap cerita
kita. Sedetil apa pun latar yang kita deskripsikan, harus disisipkan aksi tokoh.
Penggambaran latar cerita tanpa menyisipkan aksi tokoh, akan membosankan
pembaca dan menjadi penggambaran tidak bermakna.
5. Menggunakan Teknik Showing.
Pemilihan
kata dalam mendeskrisikan latar hendaknya rinci. Hal ini dilakukan agar pembaca
seolah-olah dapat melihat, mendengar, atau menyaksikan sendiri terhadap latar
yang dibaca. Kekuatan teknik showing adalah memerinci bukan mengatakan (tell). Namun demikian, jika penulis
sudah terjebak dengan penggambaran latar yang bertele-tele, kita dapat
menggunakan teknik tell atau
mengatakan. Jadi, penggunaan antara teknik showing
dan teknik telling dalam pendeskripsian
latar harus proposional.
6. Menggunakan
Berbagai Majas
Majas
merupakan bahasa kias yang dapat memberikan efek menarik dalam pendeskripsian
latar. Berbagai majas bisa digunakan tergantung kebutuhan dan kesesuaian.
Misalnya saja majas personifikasi, majas metafora, dan majas asosiasi.
Bondowoso,
30 April 2024