Foto: Koleksi Pribadi
Kritik terhadap Perusakan Lingkungan dalam Cerpen Cermin Pasir
Oleh: Khatijah
Cerpen berjudul “Cermin Pasir” yang panjangnya tujuh halaman ini ditulis oleh
sastrawan kelahiran Salatiga, Triyanto
Triwikromo. Membaca judulnya saja, sudah dapat dipastikan bahwa cerpen ini bukan
cerpen picisan. Seperti cerpen-cerpennya yang lain, cerpen ini sangat mengasyikkan untuk
dibaca. Selain indah, cerpen ini sarat dengan pesan dan muatan kritik. Pengarang
yang saat itu menjabat sebagai redaktur pelaksana sastra harian umum Suara
Merdeka dan dosen penulisan kreatif Fakultas Sastra Universitas Diponegoro,
Semarang ini, selalu membuat pembaca terhipnotis dengan karya-karyanya. Seperti
cerpennya yang lain, misalnya “Mata Sunyi Perempuan Takroni” dan “Ikan Asing
dari Weipa-Nappranum”.
Kritik
yang diungkap di dalam cerpen ini ditujukan kepada para pengusaha penambangan
pasir bekas letusan Gunung Merapi di Yogyakarta. Mereka hanya mementingkan
kepentingan pribadi tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan dan penderitaan
penduduk. Hal tersebut dapat ditangkap pada paragraf pertama yang sekali gus menjadi
bibit konflik, seperti terdapat pada cuplikan berikut ini.
Tak ada robot di lereng Merapi. Hanya puluhan truk bergerak lamban:
membelah dusun dengan bunyi memekakkan telinga. Kadang-kadang ketika gerimis
mendera, binatang-binatang besi itu melata dan meliuk seperti ular.
Kadang-kadang merayap seperti kadal saat
sarat muatan. Tetapi, tak jarang mereka melesat seperti anjing ketika langit di
atas gunung memerah dan udara kehilangan embun dan kristal-kristal air.Tak ada
yang berani menjelaskan mengapa setiap hari kian banyak truk menyisir setiap
sudut desa. Tak ada yang berani mempertanyakan mengapa bukit-bukit makin
gugruk, berlubang, atau sama sekali hilang. Dan truk-truk terus datang dan
pergi serupa siluman, serupa mambang. Larut malam mereka selalu mengusung
pria-pria kekar---sebagian berseragam, kemudian menghilang setelah beberapa
bagian bukit krowak dan sungai-sungai kian dalam. Selalu ada yang hilang.
Selalu ada yang tak kembali. Batu, koral, pasir, dan puluhan perempuan. Bukan
hanya itu! Bukan hanya itu! Selalu ada yang hilang. Selalu ada yang tak
kembali.
Pada
paragraf pertama tersebut, pembaca disuguhi setting tempat dan suasana di
lereng Merapi Yogyakarta yang porak poranda oleh penambangan pasir. Pasir sisa
letusan Gunung Merapi ini menjadi objek memperkaya diri para pengusaha dengan
mengandalkan laki-laki kekar yang sebagian berseragam. Entahlah, siapa
laki-laki yang dimaksud oleh pengarang. Setting
yang tergambar di cerpen ini benar-benar hidup. Rasa prihatin menyaksikan
kondisi lingkungan yang hancur tanpa ada yang berani melarang para pelaku
perusaknya, membuat pengarang menuangkan protes dan sindiran melalui cerpen ini.
Dalam paragraf pertama ini sudah tertulis bibit konflik. Hal itu nyata ditulis
dalam kalimat: “Selalau ada yang hilang. Selalu ada yang tak kembali. Batu, koral, dan
puluhan perempuan. Bukan hanya itu! Bukan hanya itu!. Dengan repetisi
ini sepertinya pengarang bermaksud memberi penegasan akan konflik yang dibangun
bahwa akibat aksi penambangan pasir itu banyak yang musnah dan tidak kembali. Bukan
hanya batu, koral, dan puluhan perempuan, tapi juga kedua tokoh protagonis yang
hidupnya berakhir tragis.
Ayat
dan Romo Sentanu yang berperan sebagai tokoh protagonis dalam cerpen tersebut
digambarkan menjadi orang-orang yang peduli akan kelestarian lingkungan. Dua
orang itu prihatin melihat bukit-bukit di daerah itu gugrug, berlubang, bahkan
sama sekali hilang. Romo Sentanu prihatin melihat orang-orang miskin,
perempuan-perempuan yang ditinggal mati suaminya karena keganasan Gunung Merapi.
Sebutan ‘Kyai Petruk’ untuk Gunung Merapi yang kerap memuntahkan wedus gembel
atau awan panas itu membuat warga menderita. Sementara sisa-sisa letusan itu
justru dieksploitasi tanpa henti demi kekayaan pengusaha dengan memanfaatkan
orang-orang berseragam.
Keberadaan Romo Sentanu dan Ayat dalam cerpen
tersebut menjadi penghambat bagi pengusaha penambang pasir. Oleh karena itu, berbagai
cara dilakukan untuk memusnahkan Romo Sentanu dan Ayat yang membela rakyat
miskin. Lalu hadir tokoh penari atau penggoda. Munculnya tokoh penari atau
penggoda semakin menambah rumitnya konflik. Dia diperalat untuk memengaruhi dan
menjebak Romo Sentanu, Ayat, dan penduduk
desa. Hal ini dilakukan karena Romo Sentanu dianggap terlalu ikut mencampuri
urusan pengusaha penambang pasir dan penduduk, bahkan sering memimpin demo.
Demikian juga Ayat yang dianggap sering membeberkan kebusukan penambang pasir.
Dia sering berseru bahwa Dewa hanya memakmurkan penambang pasir tanpa menggubris
penderitaan petani miskin. Namun, betapa mudahnya para penduduk diperdaya oleh
para pemilik kepentingan melalui sang penari. Puncak konflik terjadi, ketika di
tengah gelapnya malam mereka menggiring Romo sentanu dan Ayat ke tengah-tengah
dam dan di keriuhan tarian yang chaos untuk menghormati Kyai Petruk (Gunung
Merapi), mereka membabat kaki, kepala, atau menembak lambungnya tanpa suara.
Endingnya
sangat tragis karena sang penari pun juga dihabisi untuk menutup mulut
peristiwa terbunuhnya Romo Sentanu dan Ayat, seperti yang di sebut di paragraf
awal. Ada yang hilang. Ada yang tidak kembali, Romo Sentanu dan Ayat pun tak
akan kembali sama halnya dengan lingkungan yang asri dan puluhan perempuan,
termasuk sang penari.
Membaca
cerpen ini perlu konsentrasi tinggi sebab diksinya sangat rapat dengan simbol-simbol
yang bersifat satire. Penggunaan berbagai majas menjadikan cerpen ini sangat indah
dan bermutu. Majas personifikasi, metafora, dan perumpamaan sangat mendominasi,
Sepert: truk membelah dusun, binatang-binatang besi melata, meliuk seperti
ular. Bak truk yang tersengal-sengal mendaki. Kadang merayap seperti kadal.
Truk-truk serupa siluman, serupa mambang. Gaya repetisi pun menjadi sesuatu
yang istimewa dalam cerpen ini. Misalnya: “Selalau ada yang hilang. Selalu ada yang tak
kembali. Bukan hanya itu. Bukan hanya itu.Kalimat ini sampai diulang
beberapa kali. Pesan yang dapat ditangkap dari cerpen ini, di antaranya betapa
pentingnya melestarikan lingkungan dan berpikir jernih agar tidak mudah
teperdaya. Pada akhir tulisan, pengarang menuliskan kata-kata yang bernomor
sebagai tanda bahwa dia mengambil istilah atau kata yang digunakan penulis
lain.
Meskipun
cerpen ini ditulis dua puluh tahun yang lalu, tapi masih asyik untuk dibaca
karena masih relevan untuk mengkritisi ketimpangan sosial yang terjadi di
masyarakat.
Judul Cerpen: Cermin Pasir
Pengarang: Triyanto Triwikromo
Sumber: Kompas, Edisi 9 Agustus 2002 (Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas Pdf)
Panjang: 7 Halaman
Tema : Pelestarian Lingkungan
Penulis Ulasan: Khatijah
Tidak ada komentar:
Write Comments