Sabtu, 25 Maret 2023

Kritik terhadap Perusakan Lingkungan dalam Cerpen Cermin Pasir

 


                                                

                                            Foto: Koleksi Pribadi



Kritik terhadap Perusakan Lingkungan  dalam Cerpen Cermin Pasir 

Oleh: Khatijah


Cerpen berjudul “Cermin Pasir” yang panjangnya tujuh halaman ini ditulis oleh sastrawan kelahiran Salatiga,  Triyanto Triwikromo. Membaca judulnya saja, sudah dapat dipastikan bahwa cerpen ini bukan cerpen picisan. Seperti cerpen-cerpennya yang  lain, cerpen ini sangat mengasyikkan untuk dibaca. Selain indah, cerpen ini sarat dengan pesan dan muatan kritik. Pengarang yang saat itu menjabat sebagai redaktur pelaksana sastra harian umum Suara Merdeka dan dosen penulisan kreatif Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, Semarang ini, selalu membuat pembaca terhipnotis dengan karya-karyanya. Seperti cerpennya yang lain, misalnya “Mata Sunyi Perempuan Takroni” dan “Ikan Asing dari Weipa-Nappranum”. 

Kritik yang diungkap di dalam cerpen ini ditujukan kepada para pengusaha penambangan pasir bekas letusan Gunung Merapi di Yogyakarta. Mereka hanya mementingkan kepentingan pribadi tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan dan penderitaan penduduk. Hal tersebut dapat ditangkap pada paragraf pertama yang sekali gus menjadi bibit konflik, seperti terdapat pada cuplikan berikut ini.

Tak ada robot di lereng Merapi. Hanya puluhan truk bergerak lamban: membelah dusun dengan bunyi memekakkan telinga. Kadang-kadang ketika gerimis mendera, binatang-binatang besi itu melata dan meliuk seperti ular. Kadang-kadang merayap seperti kadal  saat sarat muatan. Tetapi, tak jarang mereka melesat seperti anjing ketika langit di atas gunung memerah dan udara kehilangan embun dan kristal-kristal air.Tak ada yang berani menjelaskan mengapa setiap hari kian banyak truk menyisir setiap sudut desa. Tak ada yang berani mempertanyakan mengapa bukit-bukit makin gugruk, berlubang, atau sama sekali hilang. Dan truk-truk terus datang dan pergi serupa siluman, serupa mambang. Larut malam mereka selalu mengusung pria-pria kekar---sebagian berseragam, kemudian menghilang setelah beberapa bagian bukit krowak dan sungai-sungai kian dalam. Selalu ada yang hilang. Selalu ada yang tak kembali. Batu, koral, pasir, dan puluhan perempuan. Bukan hanya itu! Bukan hanya itu! Selalu ada yang hilang. Selalu ada yang tak kembali.

Pada paragraf pertama tersebut, pembaca disuguhi setting tempat dan suasana di lereng Merapi Yogyakarta yang porak poranda oleh penambangan pasir. Pasir sisa letusan Gunung Merapi ini menjadi objek memperkaya diri para pengusaha dengan mengandalkan laki-laki kekar yang sebagian berseragam. Entahlah, siapa laki-laki  yang dimaksud oleh pengarang. Setting yang tergambar di cerpen ini benar-benar hidup. Rasa prihatin menyaksikan kondisi lingkungan yang hancur tanpa ada yang berani melarang para pelaku perusaknya, membuat pengarang menuangkan protes dan sindiran melalui cerpen ini. Dalam paragraf pertama ini sudah tertulis bibit konflik. Hal itu nyata ditulis dalam kalimat: “Selalau ada yang hilang. Selalu ada yang tak kembali. Batu, koral, dan puluhan perempuan. Bukan hanya itu! Bukan hanya itu!. Dengan repetisi ini sepertinya pengarang bermaksud memberi penegasan akan konflik yang dibangun bahwa akibat aksi penambangan pasir itu banyak yang musnah dan tidak kembali. Bukan hanya batu, koral, dan puluhan perempuan, tapi juga kedua tokoh protagonis yang hidupnya berakhir tragis.  

Ayat dan Romo Sentanu yang berperan sebagai tokoh protagonis dalam cerpen tersebut digambarkan menjadi orang-orang yang peduli akan kelestarian lingkungan. Dua orang itu prihatin melihat bukit-bukit di daerah itu gugrug, berlubang, bahkan sama sekali hilang. Romo Sentanu prihatin melihat orang-orang miskin, perempuan-perempuan yang ditinggal mati suaminya karena keganasan Gunung Merapi. Sebutan ‘Kyai Petruk’ untuk Gunung Merapi yang kerap memuntahkan wedus gembel atau awan panas itu membuat warga menderita. Sementara sisa-sisa letusan itu justru dieksploitasi tanpa henti demi kekayaan pengusaha dengan memanfaatkan orang-orang berseragam.

 Keberadaan Romo Sentanu dan Ayat dalam cerpen tersebut menjadi penghambat bagi pengusaha penambang pasir. Oleh karena itu, berbagai cara dilakukan untuk memusnahkan Romo Sentanu dan Ayat yang membela rakyat miskin. Lalu hadir tokoh penari atau penggoda. Munculnya tokoh penari atau penggoda semakin menambah rumitnya konflik. Dia diperalat untuk memengaruhi dan menjebak Romo Sentanu, Ayat,  dan penduduk desa. Hal ini dilakukan karena Romo Sentanu dianggap terlalu ikut mencampuri urusan pengusaha penambang pasir dan penduduk, bahkan sering memimpin demo. Demikian juga Ayat yang dianggap sering membeberkan kebusukan penambang pasir. Dia sering berseru bahwa Dewa hanya memakmurkan penambang pasir tanpa menggubris penderitaan petani miskin. Namun, betapa mudahnya para penduduk diperdaya oleh para pemilik kepentingan melalui sang penari. Puncak konflik terjadi, ketika di tengah gelapnya malam mereka menggiring Romo sentanu dan Ayat ke tengah-tengah dam dan di keriuhan tarian yang chaos untuk menghormati Kyai Petruk (Gunung Merapi), mereka membabat kaki, kepala, atau menembak lambungnya tanpa suara.  

Endingnya sangat tragis karena sang penari pun juga dihabisi untuk menutup mulut peristiwa terbunuhnya Romo Sentanu dan Ayat, seperti yang di sebut di paragraf awal. Ada yang hilang. Ada yang tidak kembali, Romo Sentanu dan Ayat pun tak akan kembali sama halnya dengan lingkungan yang asri dan puluhan perempuan, termasuk sang penari.

Membaca cerpen ini perlu konsentrasi tinggi sebab diksinya sangat rapat dengan simbol-simbol yang bersifat satire. Penggunaan berbagai majas menjadikan cerpen ini sangat indah dan bermutu. Majas personifikasi, metafora, dan perumpamaan sangat mendominasi, Sepert: truk membelah dusun, binatang-binatang besi melata, meliuk seperti ular. Bak truk yang tersengal-sengal mendaki. Kadang merayap seperti kadal. Truk-truk serupa siluman, serupa mambang. Gaya repetisi pun menjadi sesuatu yang istimewa dalam cerpen ini. Misalnya: “Selalau ada yang hilang. Selalu ada yang tak kembali. Bukan hanya itu. Bukan hanya itu.Kalimat ini sampai diulang beberapa kali. Pesan yang dapat ditangkap dari cerpen ini, di antaranya betapa pentingnya melestarikan lingkungan dan berpikir jernih agar tidak mudah teperdaya. Pada akhir tulisan, pengarang menuliskan kata-kata yang bernomor sebagai tanda bahwa dia mengambil istilah atau kata yang digunakan penulis lain.  

Meskipun cerpen ini ditulis dua puluh tahun yang lalu, tapi masih asyik untuk dibaca karena masih relevan untuk mengkritisi ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat.


Judul Cerpen: Cermin Pasir                                                 

Pengarang:   Triyanto Triwikromo

Sumber:         Kompas, Edisi 9 Agustus 2002 (Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas Pdf)

Panjang:        7 Halaman

Tema :            Pelestarian Lingkungan

Penulis Ulasan: Khatijah

Tidak ada komentar:
Write Comments



Entri yang Diunggulkan

Puisi-Puisiku

  Puisi-Puisiku Oleh: Khatijah   1.        MENDEKAP HARAP Kupatahkan ragu di tiang rapuh Menjaga rasa cita pada setia Di cadas lin...