Jumat, 12 Mei 2023

Menanti Matahari

 Menanti Matahari @2

Oleh: Khatijah


 “Hore, kita sudah sampai,” teriak Al sambil melambai-lambaikan tangannya. Rona di wajahnya menandakan bahwa dia sangat tidak sabar untuk segera mendarat di pulau yang berhiaskan tanaman cemara udang di sekelilingnya. Perahu yang membawa mereka semakin merapat ke sebuah dermaga kecil. Sementara beberapa meter di  sebelah kanan tampak perahu dengan cat warna putih keabu-abuan terapung-apung. Perahu yang mereka naiki pun segera bersandar.

“Ayo, kita keluar dari perahu! Jangan lupa ransel dan barang bawaan masing-masing!” Giano melompat terlebih dahulu ke bibir dermaga. Hanya  sebuah tas kecil diselempangkan di badan saja yang dia bawanya. Berbeda dengan empat temannya yang sibuk dengan tas dan barang bawaan. Tentu saja Giano tidak perlu repot-repot karena semua keperluan sudah tersedia di vila milik ayahnya yang dia kunjungi hampir setiap Sabtu hingga hari Minggu. Ada pegawai khusus ayahnya yang akan membawakan barang-barang kebutuhannya dari rumah tinggalnya di Jakarta.

 “Al, tolong bantu Andara sama Rianti! Bawakan barang-barangnya!” kata Giano sebelum meninggalkan dermaga.

“Biar Mang Sofyan, yang membantu Aden,” sahut seorang lelaki lima puluhan tahun yang tiba-tiba muncul di dekat Al.

Al sempat terkesima saat lelaki itu menatapnya tajam.Tiba-tiba ada perasaan aneh. Dia beranggapan seolah lelaki itu sudah mengenalnya.Padahal sejatinya baru kali ini dia melihatnya. Dia tersenyum meski hatinya sempat ngeri. Al membaca ada benci tersirat di sorot mata lelaki itu. Namun, Al segera membuang anggapan itu jauh-jauh. Dia kembalikan perasaannya pada posisi semula. Berlibur dan bersenang-senang dengan sahabat-sahabatnya.

“Pelan-pelan Rianti,” ucap Andara yang sudah terlebih dahulu keluar dari perahu.

Diulurkannya tangan kanannya kepada sahabatnya yang tampak ragu-ragu melangkahkan kaki dari perahu ke bibir dermaga. Giano melemparkan pandangannya kepada dua gadis yang sejak lama menjadi sahabatnya itu.

“Wajahmu pucat sekali, Rianti. Kamu masih pusing, ya?” Ucapan Giano membuyarkan konsentrasi Rianti.

“Tinggal sedikit pusingnya Ano, tenang saja. Sebentar lagi buat istirahat pasti sembuh,” sahut Rianti dengan suara lemah.

“Oke, Mang Sofyan sudah membersihkan dan merapikan kamar-kamar untuk kalian. Habis ini kamu bisa beristirahat, Anti.” Giano melirik Rianti yang tidak menampakkan ekspresi ceria sama sekali.

Rianti tetap diam dalam gemulai langkahnya. Tangan kurusnya yang putih bersih dengan jari-jari runcing memegangi tangan Andara. Andara gadis manis sahabatnya yang masih saudara sepupu Giano sesekali melirik ke arah pemuda itu. Dia paham benar bahwa pemuda itu sangat mencemaskan Rianti.

Langkah-langkah kaki menapaki tanah berpasir diringi suara angin yang mengibaskan dahan-dahan cemara udang. Dingin. Daun-daun kelapa menjulur memuncakkan  keinginan  untuk segera menikmati indahnya matahari senja di seputaran pantai. Dua puluh meter dari bibir pantai, tampak sebuah bangungan dengan arsitektur modern. Pohon angsana besar dengan rerimbunan daunnya menaungi teras bagian depan sehingga nuansa adem sudah terasa meski lima anak muda itu belum sampai di tempat itu.

Kaki lemah Rianti terhenti saat Andara membalikkan tubuhnya. Dia memanggil Giano, Al, dan Armando.

“Hei, tolong kalian kasih tahu Mang Sofyan. Barang-barangnya langsung dimasukkan ke dalam kamar saja,” kata Andara sebelum kaki kanannya menapak di beranda depan.

“Sudah. Dara dan Anti langsun saja masuk ke kamar tengah. Di sana kalian bisa lansung mandi dan beristirahat.” Tangan Giano menunjuk arah dalam bangunan mewah itu.

Rianti ragu-ragu. Dipandanginya sekeliling dia berdiri. Ruang besar yang bisa menampung puluhan orang. Desainnya unik. Lukisan-lukisan kuno terpampang di dinding-dindinnya. Dia mencoba mendekat dan mengamati satu per satu, tapi dia tidak mengenalnya.

“Itu, kakek dan nenek ayahku, Anti. Mereka sudah meninggal. Rumah ini memang peninggalan beliau. Dulu, kata ayah hanya kecil dan sederhana. Hanya cukup untuk bertempat tinggal mereka berdua yang berprofesi sebagai nelayan. Lalu ayah membangunnya hingga seperti ini.” Ano menjelaskan meski Rianti tidak bertanya.

Rianti mengangguk kecil tanpa menyahut dengan kata-kata. Dia pun melanjutkan melangkah ke bagian pojok. Pandangannya tidak lepas dari akuarium besar. Airnya bening dengan ikan-ikan kecil berenang dan berkejaran di antara karang-karang yang sengaja ditata oleh tangan-tangan terampil. Artistik. Dua ekor kuda laut mini tampak mengapung-apung menikmati suasana. Rianti serasa menyelam di sebuah lautan bebas. Perasaan adem menyelimuti tubuh dan pikirannya.

“Airnya bening sekali.” Tiba-tiba Rianti berkomentar.

“Itu air laut, Anti,” sahut Andara yang sejak tadi mengikuti di belakangnya.

“Owh,” sahut Rianti sambil terus mengamati binatang-binatang laut yang semua berukuran kecil.

“Non, barang-barang sudah saya letakkan di kamar,” ujar Pak Sofyan sambil menyerahkan kunci kepada Andara.

“Terima kasih, Pak.” Andara menerima kunci lalu memasukkan ke dalam saku t-shirtnya.

Laki-laki itu mengangguk dan meninggalkan dua gadis yang masih asyik di dekat akuarium. Matanya sempat menatap tajam ke arah Rianti. Pandangan aneh menyiratkan makna yang sulit diterjemahkan.Hingga dada Rianti berdebar kencang. Dia merasa ngeri dengan pandangan mata yang tidak biasa itu. Dipegangnya tangan Andara. Keringat dinginnya mendadak membasah di seluruh tubuhnya.

Bondowoso, 13 Mei 2023   

  

    

 

 

Rabu, 10 Mei 2023

Sesal

 

Sesal

Oleh: Khatijah

Pak Darto lebih paham atas perubahan pada diri Fathia. Kematian Wiji sahabatnya, telah mencuri seluruh keceriaan hatinya. Meski begitu dia merasa lebih dari yang dirasakan Fathia. Perasaan kehilangan sekaligus bersalah bahkan merobek-robek nuraninya. Namun, dia hanya bisa menelannya sendiri. Tidak mungkin dia akan menceritakan kesedihan itu pada Fathia, apalagi istrinya.

“Ayah duluan ya, ada pekerjaan yang harus diselesaikan malam ini. Besok harus sudah kelar.” Pak Darto akhirnya meninggalkan Fathia dan ibunya.

Fathia menatap ayahnya. Ada kesunyian menggenang di mata lelaki lebih paroh baya itu. Dia melihatnya sejak berada di makam Wiji. Pertanyaan besar mengganggu jiwa gadis cantik kebanggaan ayah dan ibunya itu. Pergolakan batin tak mampu dia ungkapkan di depan ibunya yang rapuh. Demikian juga bibirnya terasa kelu saat ingin menanyakan langsung kepada ayahnya.

Jika harus bertanya kepada ibunya, jelaslah beban wanita itu akan bertumpuk-tumpuk. Barangkali tanpa ditanya pun nurani Bu Harni sudah bicara. Ketidakmampuan fisiknya membuat dia terbelenggu dengan ketakutan demi ketakutan yang dia ciptakan sendiri. Meski hatinya berontak ingin melepaskan beban deritanya. Tinggallah dia sendiri dalam sepi hati. Tertindih berbagai masalah yang sulit terurai.

“Thia, Ibu tidak tahu apa yang kalian pikirkan. Kenapa gak cerita sama Ibu? Sebenarnya siapa yang telah meninggal dan membuatmu sedih?” Akhirnya Bu Harni membuka ruang tenggorokannya yang sejak tadi terasa tercekik.

Fathia terhenyak. Lagi-lagi dia bingung untuk memberikan jawaban yang sesungguhnya kepada ibunya.  

“Teman SMA, Bu.” Fathia menjawab sekenanya.

“Iya, siapa?” Bu Harni mengejar.

Fathia kian gelagapan. Terbayang saat ibunya tahu bahwa yang meninggal Wiji. Entah akan seperti apa ekspresinya. Apakah puas atau sedih karena aku dan ayah tampak begitu kehilangan. Fathia benar-benar terdesak.

“Wiji, Bu.”

Dada Fathia berdebar kencang. Dia benar-benar keceplosan. Spontan dua telapak tangannya menutup bibirnya. Bu Harni tampak menarik napas panjang. Entahlah apa maknanya.

“Akhirnya, hanya kamu yang jadi pewaris harta ayahmu, Fathia,” ujar Bu Harni datar.

Bersamaan dengan ucapannya, Bu Harni mendorong kursi rodanya meninggalkan ruang makan. Tinggallah Fathia yang terbengong-bengong. Buru-buru dia kejar ibunya dan dibantunya mendorong kursi roda.

“Ibu jangan berbicara seperti itu. Bagaimana pun kita tetap berduka, Bu. Kasihan anak itu. Dia tidak tahu apa-apa. Takdir saja yang membawanya pada lingkaran masalah yang pelik ini.”

“Masih juga kamu membelanya. Tidak sakit hatimu telah dihancurkan. Sama dengan hati Ibu yang berkeping-keping akibat semua ini.”

Kali ini Fathia tidak bisa menahan tangis. Diabaikannya air matanya berdera-derai. Dalam hati, dia membenarkan ucapan ibunya, tapi di sisi lain perasaan kehilangan tak bisa dia urai hanya dengan sekadar mengingat takdir yang mempermainkan keluarganya.

“Sudah, hentikan tangismu! Kamu lebih memilih dia? Mendukung semua kejahatan ibunya? Dan membiarkan Ibu yang sudah hancur ini mati karena kelakuanmu dan kelakuan ayahmu?” ucap Bu Harni dengan suara bergetar.

“Ibu, Fathia sayang Ibu.”

Hanya itu yang bisa terucap dari bibir Fathia. Dipeluknya ibunya erat-erat setelah kursi rodanya berhenti. Ditumpahkannya kasih sayangnya kepada wanita yang telah melahirkannya itu. Namun, Fathia terkejut luar biasa karena tiba-tiba ibunya kejang-kejang lagi.

“Ayah, Bi Siti, tolong!” jerit Fathia sekuat-kuatnya.

Bi Siti yang sednag bersih-bersih di dapur terkejut mendengar teriakan Fathia. Serta-merta, dia berlari menuju kea rah suara. Sementara Pak Darto yang sebenarnya tidak sedang menyelesaikan pekerjaannya di kamar, melompat dan berlari menuju Fathia dan ibunya.

 Bersambung ...


 

      

 

 

 

 

Selasa, 09 Mei 2023

Sesal

 Sesal @ 2

Oleh: Khatijah

Sayup-sayup azan magrib berkumandang.Hamparan nisan di pemakaman semakin samar. Warna jingga di pucuk-pucuk kamboja sudah sirna. Gelap pun segera menjemput. Fathia melepaskan diri dari pelukan ayahnya. Sisa air matanya nyaris mengering.

“Ayah, sudah gelap. Kita pulang!”

Darto pun tersadar. Sekuat tenaga dia berusaha mengembalikan perasaannya pada posisi semula. Kembali pikirannya pada kenyataan bahwa yang dihadapannya bukanlah Wiji, melainkan putri kandungngya sendiri, Fathia.Lalu pandangannya kembali menatap sendu, pusara yang nyaris tertutup oleh kepekatan malam. Belum cukup rasanya merebahkan rindunya pada sisa duka yang kian menenggelamkan.

“Selamat tinggal, Wij,” ucap Darto seraya bangkit dan perlahan melangkahkan kakinya meninggalkan pusara bisu.

Fathia melangkah mendahului ayahnya. Tak seucap kata pun keluar dari bibir mereka. Bapak dan anak itu berada pada pikiran masing-masing. Sesal yang masih setia bediam di hati Fathia masih membuatnya sesak. Demikian juga Darto. Penyesalannya hanya ditelan sendiri. Hingga tidak sadar sampailah mereka di tempat Darto memarkir mobil.

“Biarkan Fathia yang nyetir, Yah!”

Tanpa persetujuan, Fathia langsung membuka pintu mobil dan duduk di belakang kemudi.Dia tahu benar bahwa ayahnya tidak sedang baik-baik saja. Darto hanya mengiyakan dan mengambil posisi di samping Fathia yang segera melajukan mobilnya.

“Kok, sampai malem, Thia,” sapa Bu Harni di atas kursi rodanya, sesaat setelah menjawab salam Fathia dan ayahnya.

“Ya, Bu. Memang berangkatnya kesorean tadi,” sahut Fathia sambil menyerahkan kontak kepada ayahnya.

“Ibu sudah salat Magrib?” Darto bertanya seraya mendekati istrinya.

 “Sudah, Yah. Tadi ambil wudunya dibantu Yu Siti.”

Didorongnya kursi roda Harni ke ruang keluarga. Sementara Fathia bergegas ambil wudu. Lalu dia tenggelam dalam doa setelah salat tiga rekaat itu usai dilaksanakan. Air matanya kembali berderai. Nama Wiji kembali disebut-sebutnya. Bayangan tentang Wiji kian lama kian terang benderang. Serupa memutar ulang film berdurasi panjang, Fathia menatap dalam angannya sendiri. Jerit hatinya belum juga mereda. Tidak henti dia mengutuki dirinya sendiri. Terbayang di mata dan pikirannya saat pengumuman lulusan merenda kegembiraan di hatinya dan hati Wiji.  Dua gadis itu berkeinginan untuk  bersama-sama mendaftar di Perguruan Tinggi yang sama. Wiji dan Fathia takut jika perpisahan di SMA itu membuat jarak di antara mereka benar-benar jauh. Namun, kini tidak hanya jauh, tapi dia tidak akan pernah bertemu sahabatnya itu selama-lamanya.

“Fathia, makan dulu, Nak. Kenapa tidak keluar dari kamar?” Bu Harni memanggil anak gadisnya yang belum juga muncul sejak kepulangan dari makam.

Buru-buru Fathia melipat mukena.Dirapikannya pakaian dan wajahnya. Tak ingin ibunya berprasangka yang tidak-tidak. Dia benar-benar berhati-hati dalam menjaga hati wanita yang sangat disayanginya itu.

“Tadi nyekar di makam siapa sih, Yah?” Bu Harni menelisik suaminya.

Pak Darto agak kebingungan. Namun, buru-buru dia mengambil sikap sebab tidak mungkin dia mengatakan bahwa dia mengantarkan Fathia ke makam Wiji. Dia pura-pura terbatuk. Beruntung, belum sampai menjawab, Fathia datang.

 

Fathia langsung mengambil tempat duduk berhadapan ayah dan ibunya yang sudah menunggu untuk makan bersama-sama.

“Yu Siti masak kesukaanmu Thia, sayang sekali kalau kamu tidak makan.” Bu Harni menunjuk piring saji di depannya.

“Asyik,” ucap Fathia sambil menatap Fuyunghai di piring saji.

Meski tidak berselera, Fathia berusaha memenuhi harapan ibunya. Diambilnya piring dan garpu. Sesendok saja dia mengambil fuyunghai lalu disantapnya pelan-pelan.

Bu Harni menatap penuh tanda tanya. Dia berpikir bahwa ada yang tidak biasa terjadi pada Fathia. Anak gadisnya itu biasanya begitu lahap menyantap fuyunghai. Tidak seperti kali ini.

    Bersambung....


  

Senin, 08 Mei 2023

Sesal

 

Sesal

Oleh: Khatijah

Kepergian Wiji benar-benar menyisakan duka mendalam bagi Fathia. Sahabatnya yang bermata indah itu selalu hadir dalam mimpinya. Perasaan bersalah senantiasa meggerogoti ketenangan batinnya. Seandainya bisa, Fathia akan bersimpuh di kaki gadis itu guna meminta maaf kepadanya. Namun apa daya, semua tak akan mungkin. Sebab malaikat telah menjemput dan membawanya ke alam keabadian. Fathia sadar,  kekhilafannya takkan bisa ditebus dengan air mata.

Tangan Fathia memetik bunga-bunga di halaman. Bunga mawar berwarna putih dan merah menjadi prioritas yang dipilihnya. Satu per satu kuntum-kuntum itu, ditaruh di keranjang kecil yang terbuat dari anyaman bambu. Air matanya jatuh saat teringat bahwa Wiji menyukai bunga itu. Bunga dengan mahkota elok yang menebarkan aroma wangi. Walaupun terlambat, kini dia ingin mempersembahkan buatnya.

“Buat apa bunga-bunga itu kau petik Thia? Biarkan mahkotanya gugur alami sesuai  waktunya,” Bu Harni ibu Fathia menegornya dengan lembut. Fathia terkejut. Buru-buru ujung  jari-jemarinya mengusap air bening yang membasahi pipinya.

“Buat nyekar, Bu,” jawab Fathia gugup.

Nyekar? Nyekar buat siapa?” tanya ibunya keheranan.

Fathia berhenti memetik bunga-bunga itu, lalu melangkah mendekati ibunya yang duduk di kursi roda, tidak jauh darinya.

“Bu, orang yang sudah meninggal itu, apa bisa memaafkan kita, ya?” Pertanyaan Fathia, membuat ibunya terkejut. Dahinya berkerut sejenak sebelum menjawab pertanyaan putrinya yang dirasa aneh itu.

“Ibu pernah dengar, katanya kita hanya bisa mendoakan saja, Nak. Semoga Allah mengampuni segala kekhilafan kita, termasuk kepada orang-orang yang sudah meninggal dunia,” jawab ibunya.

Fathia murung. Dia tidak merespons jawaban ibunya. Pandangannya menerawang jauh. Kembali bulir-bulir bening itu berjatuhan. Hati Bu Harni tiba-tiba hanyut terbawa sedih. Nyesek di dadanya, menyaksikan putrinya berderai air mata. Tak kuasa genangan di matanya jatuh juga. Dia panggil Fathia agar lebih dekat lagi. Fathia pun mengikuti permintaan ibunya. Dipeluknya gadis kesayangannya itu dan berkali-kali jemarinya merapikan anak rambut yang menutupi wajah cantik gadis itu.

“Thia, memangnya siapa yang sedang kaupikirkan, Nak?” tanya Bu Harni sambil pelan-pelan melepas pelukannya.

“Bukan siapa-siapa kok, Bu,” jawab Fathia berbohong. Tak ingin Fathia membangkitkan kembali emosi ibunya yang sudah tertata. Dia juga tidak ingin membuat kondisi ibunya yang sudah semakin sehat, akan terpuruk kembali.

Bu Harni menarik napas panjang, seolah dia mengetahui siapa yang telah menaburkan kesedihan di hati anak perempuannya itu. Diusapnya rambut Fathia. Dipandanginya wajah anak perempuannya yang tampak semakin cantik, seiring dengan bertambah umurnya. Lalu kedua tangannya memeluk erat anak gadis satu-satunya itu.  

Fathia tenggelam dalam haru hatinya. Kedekatannya dengan sang ibu menjadi jembatan perasaannya yang semakin riuh atas kejadian yang dialaminya akhir-akhir ini. Bimbang di hatinya masih saja bersemayam. Berharap wanita yang dikasihinya ini bisa menjadi tempanya bersandar. Namun sayang, tak ada keberanian Fathia untuk sekadar menceritakan penyebab rapuh hatinya. Bukan hanya karena seseorang yang telah meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya, tapi  juga tidak memiliki keberanian untuk menguak hati wanita yang dicintainya itu mengapa begitu membenci Wiji. Meski gadis bermata sayu itu tidak lagi bernyawa.

Dia sadar betul bahwa ibunya tidak menyukai Wiji. Bukan karena Wiji tak berperilaku elok, tapi karena ada alasan tertentu yang membuat Bu Harni selalu berpaling muka jika Fathia berbicara tentang gadis itu. 

“Ayo, jangan melamun Thia, teruskan kamu memetik bunga. Cepat-cepatlah kalau kamu mau nyekar! Waktunya sudah sore. Nanti ke pemakaman minta ditemani ayah saja, ya! Jangan berangkat sendirian ke sana!” ujar Bu Harni ketika Fathia tampak termenung beberapa saat.

“Oh, iya Bu. Biar Thia diantar ayah,” sahut Fathia gugup.

Buru-buru dia menyembunyikan wajahnya agar ibunya tidak membaca sesuatu yang disembunyikannya.

Warna jingga di sebelah barat menjadi pertanda bahwa senja mulai datang. Burung-burung berkelompok-kelompok di langit, terbang melayang-layang menyambut gelap yang sebentar lagi memekat. Saat itulah, ayah dan anak gadisnya, berjalan di antara batu nisan. Pandangan mata keduanya menyapu ke sekian banyak batu nisan yang rata-rata sudah pudar karena terkena sinar matahari dan hujan berulang-ulang.

Fathia membaca raut wajah ayahnya. Tampak Dato, ayah Fathia itu menabur sedih tak terkira. Terlebih saat tinggal beberapa meter tampak sebuah nisan tertanam di atas gundukan tanah merah. Taburan bunga-bunga mawar merah putih dan kelopak kenanga menutup seluruh permukaannya.Laki-laki itu tampak memendam duka mendalam. Namun, dia hanya bisa menyimpannya sendiri. Tak seucap kata keluar dari bibirnya. Tidak ingin seorang pun tahu bahwa duka itu sedang menghimpitnya, termasuk Fathia. Sesekali dia menahan genangan air mata yang nyarisr tumpah. Dadanya kian sesak menyaksikan Fathia yang berburai air mata. Begitu riuh duka yang bermain di perasaan Darto.

Rambut lurusnya sesekali diusapnya dengan tangan kanan sesaat setelah diam-diam memandangi wajah Fathia. Sesekali pula jari-jarinya menyeka sudut matanya. Hanya Fathia yang sempat berpikir. Begitu dalamnya rasa kehilangan ayahnya terhadap Wiji, gadis yang telah lama menjadi sahabat karibnya. Fathia hanya berpikiran  bahwa ayahnya sudah menganggap Wiji seperti anak kandungnya.

 “Di depan itu, Thia,” ucap Darto memecah keheningan. Telunjuknya mengarah pada gundukan tanah yang sejak tadi menjadi pusat perhatian dirinya dan Fathia. Lalu dia berjalan mendahului Fathia.

Tanpa seucap kata, Fathia mengikuti langkah ayahnya. Hanya beberapa langkah saja mereka sudah sampai di makam Wiji. Setumpuk bunga-bunga yang masih segar menghambur di antara dua batu yang bertuliskan “Wiji Andrarini”.

Air mata Fathia kembali menetes. Kali ini disertai isak yang tak bisa ditahan. Dia larungkan kesedihan yang teramat dalam. Sambil menaburkan bunga-bunga mawar di atas pusara, diucapkannya permintaan maaf bertubi-tubi kepada sahabat yang tak  lagi bisa menjawabnya itu. Penyesalan akan kebencian yang telah dia lakukan menyesakkan dadanya. Dia merasa menjadi seorang yang paling berdosa. Terbayang kebaikan Wiji sejak kecil hingga akhir hidupnya. Kebaikan seorang sahabat yang belum pernah dibalasnya. Kini hanya doa dan air mata yang bisa dia persembahkan kepada Wiji.

“Wiji, maafkan aku,” isak Fathia saat memegangi ujung pusara.

“Fathia, kita berdoa dulu, ya!”

Serta-merta Darto membaca doa-doa dengan khusuk. Masih dalam burai air mata Fathia mengaminkan. Suara dua orang di antara pusara itu begitu menyayat. Pilu dalam sedu sedan. Sesudahnya, tangan-tangan mereka menaburkan kelopak-kelopak tiga warna dari keranjang kecil di sampingnya.

“Maafkan Ayah, Fathia!” Tiba-tiba suara Darto mememcah keheningan.

Fathia terperangah. Tidak bisa dia memaknai permintaan maaf ayahnya. Namun, dia tidak bisa melepas pertanyaan dalam hatinya. Keheranan hatinya bertambah-tambah. Dari kesedihan yang terpancar dari roman wajahnya saja sudah terasa di luar kebiasaan. Ditambah kali ini, dia meminta maaf. Fathia bingung memikirkan sikap sang ayah.

“Fathia, ayah minta maaf, ya!” Lagi-lagi Darto mengulang permintaan maafnya kepada Fathia.

Seketika gadis itu menghambur ke dalam pelukan sang ayah. Titik air bening yang sudah mengering kembali meruah. Satu per satu jatuh dari sudut mata laki-laki yang sekian lama memendam kepahitan hidup seorang diri. Sifat pengecutnya telah membutakan mata hatinya dan memisahkan dua sahabat yang saling mengasihi. Perasaan berdosa teramat menusuk. Baru saat ini, cinta Fathia dan ayahnya kepada Wiji, berhambur bersama kelopak mawar yang bertaburan di pusara.

Bersambung...



 

 

 

 

 

 

 

 

 



Entri yang Diunggulkan

Puisi-Puisiku

  Puisi-Puisiku Oleh: Khatijah   1.        MENDEKAP HARAP Kupatahkan ragu di tiang rapuh Menjaga rasa cita pada setia Di cadas lin...