Menanti Matahari
Menanti Matahari @2
Oleh: Khatijah
“Ayo,
kita keluar dari perahu! Jangan lupa ransel dan barang bawaan masing-masing!”
Giano melompat terlebih dahulu ke bibir dermaga. Hanya sebuah tas kecil diselempangkan di badan saja
yang dia bawanya. Berbeda dengan empat temannya yang sibuk dengan tas dan
barang bawaan. Tentu saja Giano tidak perlu repot-repot karena semua keperluan
sudah tersedia di vila milik ayahnya yang dia kunjungi hampir setiap Sabtu hingga
hari Minggu. Ada pegawai khusus ayahnya yang akan membawakan barang-barang
kebutuhannya dari rumah tinggalnya di Jakarta.
“Al, tolong bantu Andara sama Rianti! Bawakan
barang-barangnya!” kata Giano sebelum meninggalkan dermaga.
“Biar
Mang Sofyan, yang membantu Aden,” sahut seorang lelaki lima puluhan tahun yang
tiba-tiba muncul di dekat Al.
Al
sempat terkesima saat lelaki itu menatapnya tajam.Tiba-tiba ada perasaan aneh. Dia
beranggapan seolah lelaki itu sudah mengenalnya.Padahal sejatinya baru kali ini
dia melihatnya. Dia tersenyum meski hatinya sempat ngeri. Al membaca ada benci
tersirat di sorot mata lelaki itu. Namun, Al segera membuang anggapan itu
jauh-jauh. Dia kembalikan perasaannya pada posisi semula. Berlibur dan bersenang-senang
dengan sahabat-sahabatnya.
“Pelan-pelan
Rianti,” ucap Andara yang sudah terlebih dahulu keluar dari perahu.
Diulurkannya
tangan kanannya kepada sahabatnya yang tampak ragu-ragu melangkahkan kaki dari
perahu ke bibir dermaga. Giano melemparkan pandangannya kepada dua gadis yang
sejak lama menjadi sahabatnya itu.
“Wajahmu
pucat sekali, Rianti. Kamu masih pusing, ya?” Ucapan Giano membuyarkan
konsentrasi Rianti.
“Tinggal
sedikit pusingnya Ano, tenang saja. Sebentar lagi buat istirahat pasti sembuh,”
sahut Rianti dengan suara lemah.
“Oke,
Mang Sofyan sudah membersihkan dan merapikan kamar-kamar untuk kalian. Habis
ini kamu bisa beristirahat, Anti.” Giano melirik Rianti yang tidak menampakkan
ekspresi ceria sama sekali.
Rianti
tetap diam dalam gemulai langkahnya. Tangan kurusnya yang putih bersih dengan
jari-jari runcing memegangi tangan Andara. Andara gadis manis sahabatnya yang
masih saudara sepupu Giano sesekali melirik ke arah pemuda itu. Dia paham benar
bahwa pemuda itu sangat mencemaskan Rianti.
Langkah-langkah
kaki menapaki tanah berpasir diringi suara angin yang mengibaskan dahan-dahan
cemara udang. Dingin. Daun-daun kelapa menjulur memuncakkan keinginan
untuk segera menikmati indahnya matahari senja di seputaran pantai. Dua
puluh meter dari bibir pantai, tampak sebuah bangungan dengan arsitektur
modern. Pohon angsana besar dengan rerimbunan daunnya menaungi teras bagian
depan sehingga nuansa adem sudah terasa meski lima anak muda itu belum sampai
di tempat itu.
Kaki
lemah Rianti terhenti saat Andara membalikkan tubuhnya. Dia memanggil Giano,
Al, dan Armando.
“Hei,
tolong kalian kasih tahu Mang Sofyan. Barang-barangnya langsung dimasukkan ke
dalam kamar saja,” kata Andara sebelum kaki kanannya menapak di beranda depan.
“Sudah.
Dara dan Anti langsun saja masuk ke kamar tengah. Di sana kalian bisa lansung
mandi dan beristirahat.” Tangan Giano menunjuk arah dalam bangunan mewah itu.
Rianti
ragu-ragu. Dipandanginya sekeliling dia berdiri. Ruang besar yang bisa
menampung puluhan orang. Desainnya unik. Lukisan-lukisan kuno terpampang di
dinding-dindinnya. Dia mencoba mendekat dan mengamati satu per satu, tapi dia
tidak mengenalnya.
“Itu,
kakek dan nenek ayahku, Anti. Mereka sudah meninggal. Rumah ini memang
peninggalan beliau. Dulu, kata ayah hanya kecil dan sederhana. Hanya cukup
untuk bertempat tinggal mereka berdua yang berprofesi sebagai nelayan. Lalu
ayah membangunnya hingga seperti ini.” Ano menjelaskan meski Rianti tidak
bertanya.
Rianti
mengangguk kecil tanpa menyahut dengan kata-kata. Dia pun melanjutkan melangkah
ke bagian pojok. Pandangannya tidak lepas dari akuarium besar. Airnya bening
dengan ikan-ikan kecil berenang dan berkejaran di antara karang-karang yang
sengaja ditata oleh tangan-tangan terampil. Artistik. Dua ekor kuda laut mini
tampak mengapung-apung menikmati suasana. Rianti serasa menyelam di sebuah
lautan bebas. Perasaan adem menyelimuti tubuh dan pikirannya.
“Airnya
bening sekali.” Tiba-tiba Rianti berkomentar.
“Itu
air laut, Anti,” sahut Andara yang sejak tadi mengikuti di belakangnya.
“Owh,”
sahut Rianti sambil terus mengamati binatang-binatang laut yang semua berukuran
kecil.
“Non,
barang-barang sudah saya letakkan di kamar,” ujar Pak Sofyan sambil menyerahkan
kunci kepada Andara.
“Terima
kasih, Pak.” Andara menerima kunci lalu memasukkan ke dalam saku t-shirtnya.
Laki-laki
itu mengangguk dan meninggalkan dua gadis yang masih asyik di dekat akuarium.
Matanya sempat menatap tajam ke arah Rianti. Pandangan aneh menyiratkan makna
yang sulit diterjemahkan.Hingga dada Rianti berdebar kencang. Dia merasa ngeri
dengan pandangan mata yang tidak biasa itu. Dipegangnya tangan Andara. Keringat
dinginnya mendadak membasah di seluruh tubuhnya.
Bondowoso, 13 Mei 2023