Sesal @ 2
Oleh: Khatijah
Sayup-sayup
azan magrib berkumandang.Hamparan nisan di pemakaman semakin samar. Warna
jingga di pucuk-pucuk kamboja sudah sirna. Gelap pun segera menjemput. Fathia
melepaskan diri dari pelukan ayahnya. Sisa air matanya nyaris mengering.
“Ayah,
sudah gelap. Kita pulang!”
Darto
pun tersadar. Sekuat tenaga dia berusaha mengembalikan perasaannya pada posisi
semula. Kembali pikirannya pada kenyataan bahwa yang dihadapannya bukanlah
Wiji, melainkan putri kandungngya sendiri, Fathia.Lalu pandangannya kembali
menatap sendu, pusara yang nyaris tertutup oleh kepekatan malam. Belum cukup
rasanya merebahkan rindunya pada sisa duka yang kian menenggelamkan.
“Selamat
tinggal, Wij,” ucap Darto seraya bangkit dan perlahan melangkahkan kakinya
meninggalkan pusara bisu.
Fathia
melangkah mendahului ayahnya. Tak seucap kata pun keluar dari bibir mereka.
Bapak dan anak itu berada pada pikiran masing-masing. Sesal yang masih setia
bediam di hati Fathia masih membuatnya sesak. Demikian juga Darto.
Penyesalannya hanya ditelan sendiri. Hingga tidak sadar sampailah mereka di
tempat Darto memarkir mobil.
“Biarkan
Fathia yang nyetir, Yah!”
Tanpa
persetujuan, Fathia langsung membuka pintu mobil dan duduk di belakang kemudi.Dia
tahu benar bahwa ayahnya tidak sedang baik-baik saja. Darto hanya mengiyakan
dan mengambil posisi di samping Fathia yang segera melajukan mobilnya.
“Kok,
sampai malem, Thia,” sapa Bu Harni di atas kursi rodanya, sesaat setelah
menjawab salam Fathia dan ayahnya.
“Ya,
Bu. Memang berangkatnya kesorean tadi,” sahut Fathia sambil menyerahkan kontak kepada
ayahnya.
“Ibu
sudah salat Magrib?” Darto bertanya seraya mendekati istrinya.
“Sudah, Yah. Tadi ambil wudunya dibantu Yu
Siti.”
Didorongnya
kursi roda Harni ke ruang keluarga. Sementara Fathia bergegas ambil wudu. Lalu
dia tenggelam dalam doa setelah salat tiga rekaat itu usai dilaksanakan. Air
matanya kembali berderai. Nama Wiji kembali disebut-sebutnya. Bayangan tentang
Wiji kian lama kian terang benderang. Serupa memutar ulang film berdurasi
panjang, Fathia menatap dalam angannya sendiri. Jerit hatinya belum juga
mereda. Tidak henti dia mengutuki dirinya sendiri. Terbayang di mata dan
pikirannya saat pengumuman lulusan merenda kegembiraan di hatinya dan hati
Wiji. Dua gadis itu berkeinginan
untuk bersama-sama mendaftar di
Perguruan Tinggi yang sama. Wiji dan Fathia takut jika perpisahan di SMA itu
membuat jarak di antara mereka benar-benar jauh. Namun, kini tidak hanya jauh,
tapi dia tidak akan pernah bertemu sahabatnya itu selama-lamanya.
“Fathia,
makan dulu, Nak. Kenapa tidak keluar dari kamar?” Bu Harni memanggil anak
gadisnya yang belum juga muncul sejak kepulangan dari makam.
Buru-buru
Fathia melipat mukena.Dirapikannya pakaian dan wajahnya. Tak ingin ibunya
berprasangka yang tidak-tidak. Dia benar-benar berhati-hati dalam menjaga hati
wanita yang sangat disayanginya itu.
“Tadi
nyekar di makam siapa sih, Yah?” Bu Harni menelisik suaminya.
Pak
Darto agak kebingungan. Namun, buru-buru dia mengambil sikap sebab tidak
mungkin dia mengatakan bahwa dia mengantarkan Fathia ke makam Wiji. Dia
pura-pura terbatuk. Beruntung, belum sampai menjawab, Fathia datang.
Fathia
langsung mengambil tempat duduk berhadapan ayah dan ibunya yang sudah menunggu
untuk makan bersama-sama.
“Yu
Siti masak kesukaanmu Thia, sayang sekali kalau kamu tidak makan.” Bu Harni
menunjuk piring saji di depannya.
“Asyik,”
ucap Fathia sambil menatap Fuyunghai di piring saji.
Meski
tidak berselera, Fathia berusaha memenuhi harapan ibunya. Diambilnya piring dan
garpu. Sesendok saja dia mengambil fuyunghai lalu disantapnya pelan-pelan.
Bu
Harni menatap penuh tanda tanya. Dia berpikir bahwa ada yang tidak biasa
terjadi pada Fathia. Anak gadisnya itu biasanya begitu lahap menyantap
fuyunghai. Tidak seperti kali ini.
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Write Comments