Senin, 08 Mei 2023

Sesal

 

Sesal

Oleh: Khatijah

Kepergian Wiji benar-benar menyisakan duka mendalam bagi Fathia. Sahabatnya yang bermata indah itu selalu hadir dalam mimpinya. Perasaan bersalah senantiasa meggerogoti ketenangan batinnya. Seandainya bisa, Fathia akan bersimpuh di kaki gadis itu guna meminta maaf kepadanya. Namun apa daya, semua tak akan mungkin. Sebab malaikat telah menjemput dan membawanya ke alam keabadian. Fathia sadar,  kekhilafannya takkan bisa ditebus dengan air mata.

Tangan Fathia memetik bunga-bunga di halaman. Bunga mawar berwarna putih dan merah menjadi prioritas yang dipilihnya. Satu per satu kuntum-kuntum itu, ditaruh di keranjang kecil yang terbuat dari anyaman bambu. Air matanya jatuh saat teringat bahwa Wiji menyukai bunga itu. Bunga dengan mahkota elok yang menebarkan aroma wangi. Walaupun terlambat, kini dia ingin mempersembahkan buatnya.

“Buat apa bunga-bunga itu kau petik Thia? Biarkan mahkotanya gugur alami sesuai  waktunya,” Bu Harni ibu Fathia menegornya dengan lembut. Fathia terkejut. Buru-buru ujung  jari-jemarinya mengusap air bening yang membasahi pipinya.

“Buat nyekar, Bu,” jawab Fathia gugup.

Nyekar? Nyekar buat siapa?” tanya ibunya keheranan.

Fathia berhenti memetik bunga-bunga itu, lalu melangkah mendekati ibunya yang duduk di kursi roda, tidak jauh darinya.

“Bu, orang yang sudah meninggal itu, apa bisa memaafkan kita, ya?” Pertanyaan Fathia, membuat ibunya terkejut. Dahinya berkerut sejenak sebelum menjawab pertanyaan putrinya yang dirasa aneh itu.

“Ibu pernah dengar, katanya kita hanya bisa mendoakan saja, Nak. Semoga Allah mengampuni segala kekhilafan kita, termasuk kepada orang-orang yang sudah meninggal dunia,” jawab ibunya.

Fathia murung. Dia tidak merespons jawaban ibunya. Pandangannya menerawang jauh. Kembali bulir-bulir bening itu berjatuhan. Hati Bu Harni tiba-tiba hanyut terbawa sedih. Nyesek di dadanya, menyaksikan putrinya berderai air mata. Tak kuasa genangan di matanya jatuh juga. Dia panggil Fathia agar lebih dekat lagi. Fathia pun mengikuti permintaan ibunya. Dipeluknya gadis kesayangannya itu dan berkali-kali jemarinya merapikan anak rambut yang menutupi wajah cantik gadis itu.

“Thia, memangnya siapa yang sedang kaupikirkan, Nak?” tanya Bu Harni sambil pelan-pelan melepas pelukannya.

“Bukan siapa-siapa kok, Bu,” jawab Fathia berbohong. Tak ingin Fathia membangkitkan kembali emosi ibunya yang sudah tertata. Dia juga tidak ingin membuat kondisi ibunya yang sudah semakin sehat, akan terpuruk kembali.

Bu Harni menarik napas panjang, seolah dia mengetahui siapa yang telah menaburkan kesedihan di hati anak perempuannya itu. Diusapnya rambut Fathia. Dipandanginya wajah anak perempuannya yang tampak semakin cantik, seiring dengan bertambah umurnya. Lalu kedua tangannya memeluk erat anak gadis satu-satunya itu.  

Fathia tenggelam dalam haru hatinya. Kedekatannya dengan sang ibu menjadi jembatan perasaannya yang semakin riuh atas kejadian yang dialaminya akhir-akhir ini. Bimbang di hatinya masih saja bersemayam. Berharap wanita yang dikasihinya ini bisa menjadi tempanya bersandar. Namun sayang, tak ada keberanian Fathia untuk sekadar menceritakan penyebab rapuh hatinya. Bukan hanya karena seseorang yang telah meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya, tapi  juga tidak memiliki keberanian untuk menguak hati wanita yang dicintainya itu mengapa begitu membenci Wiji. Meski gadis bermata sayu itu tidak lagi bernyawa.

Dia sadar betul bahwa ibunya tidak menyukai Wiji. Bukan karena Wiji tak berperilaku elok, tapi karena ada alasan tertentu yang membuat Bu Harni selalu berpaling muka jika Fathia berbicara tentang gadis itu. 

“Ayo, jangan melamun Thia, teruskan kamu memetik bunga. Cepat-cepatlah kalau kamu mau nyekar! Waktunya sudah sore. Nanti ke pemakaman minta ditemani ayah saja, ya! Jangan berangkat sendirian ke sana!” ujar Bu Harni ketika Fathia tampak termenung beberapa saat.

“Oh, iya Bu. Biar Thia diantar ayah,” sahut Fathia gugup.

Buru-buru dia menyembunyikan wajahnya agar ibunya tidak membaca sesuatu yang disembunyikannya.

Warna jingga di sebelah barat menjadi pertanda bahwa senja mulai datang. Burung-burung berkelompok-kelompok di langit, terbang melayang-layang menyambut gelap yang sebentar lagi memekat. Saat itulah, ayah dan anak gadisnya, berjalan di antara batu nisan. Pandangan mata keduanya menyapu ke sekian banyak batu nisan yang rata-rata sudah pudar karena terkena sinar matahari dan hujan berulang-ulang.

Fathia membaca raut wajah ayahnya. Tampak Dato, ayah Fathia itu menabur sedih tak terkira. Terlebih saat tinggal beberapa meter tampak sebuah nisan tertanam di atas gundukan tanah merah. Taburan bunga-bunga mawar merah putih dan kelopak kenanga menutup seluruh permukaannya.Laki-laki itu tampak memendam duka mendalam. Namun, dia hanya bisa menyimpannya sendiri. Tak seucap kata keluar dari bibirnya. Tidak ingin seorang pun tahu bahwa duka itu sedang menghimpitnya, termasuk Fathia. Sesekali dia menahan genangan air mata yang nyarisr tumpah. Dadanya kian sesak menyaksikan Fathia yang berburai air mata. Begitu riuh duka yang bermain di perasaan Darto.

Rambut lurusnya sesekali diusapnya dengan tangan kanan sesaat setelah diam-diam memandangi wajah Fathia. Sesekali pula jari-jarinya menyeka sudut matanya. Hanya Fathia yang sempat berpikir. Begitu dalamnya rasa kehilangan ayahnya terhadap Wiji, gadis yang telah lama menjadi sahabat karibnya. Fathia hanya berpikiran  bahwa ayahnya sudah menganggap Wiji seperti anak kandungnya.

 “Di depan itu, Thia,” ucap Darto memecah keheningan. Telunjuknya mengarah pada gundukan tanah yang sejak tadi menjadi pusat perhatian dirinya dan Fathia. Lalu dia berjalan mendahului Fathia.

Tanpa seucap kata, Fathia mengikuti langkah ayahnya. Hanya beberapa langkah saja mereka sudah sampai di makam Wiji. Setumpuk bunga-bunga yang masih segar menghambur di antara dua batu yang bertuliskan “Wiji Andrarini”.

Air mata Fathia kembali menetes. Kali ini disertai isak yang tak bisa ditahan. Dia larungkan kesedihan yang teramat dalam. Sambil menaburkan bunga-bunga mawar di atas pusara, diucapkannya permintaan maaf bertubi-tubi kepada sahabat yang tak  lagi bisa menjawabnya itu. Penyesalan akan kebencian yang telah dia lakukan menyesakkan dadanya. Dia merasa menjadi seorang yang paling berdosa. Terbayang kebaikan Wiji sejak kecil hingga akhir hidupnya. Kebaikan seorang sahabat yang belum pernah dibalasnya. Kini hanya doa dan air mata yang bisa dia persembahkan kepada Wiji.

“Wiji, maafkan aku,” isak Fathia saat memegangi ujung pusara.

“Fathia, kita berdoa dulu, ya!”

Serta-merta Darto membaca doa-doa dengan khusuk. Masih dalam burai air mata Fathia mengaminkan. Suara dua orang di antara pusara itu begitu menyayat. Pilu dalam sedu sedan. Sesudahnya, tangan-tangan mereka menaburkan kelopak-kelopak tiga warna dari keranjang kecil di sampingnya.

“Maafkan Ayah, Fathia!” Tiba-tiba suara Darto mememcah keheningan.

Fathia terperangah. Tidak bisa dia memaknai permintaan maaf ayahnya. Namun, dia tidak bisa melepas pertanyaan dalam hatinya. Keheranan hatinya bertambah-tambah. Dari kesedihan yang terpancar dari roman wajahnya saja sudah terasa di luar kebiasaan. Ditambah kali ini, dia meminta maaf. Fathia bingung memikirkan sikap sang ayah.

“Fathia, ayah minta maaf, ya!” Lagi-lagi Darto mengulang permintaan maafnya kepada Fathia.

Seketika gadis itu menghambur ke dalam pelukan sang ayah. Titik air bening yang sudah mengering kembali meruah. Satu per satu jatuh dari sudut mata laki-laki yang sekian lama memendam kepahitan hidup seorang diri. Sifat pengecutnya telah membutakan mata hatinya dan memisahkan dua sahabat yang saling mengasihi. Perasaan berdosa teramat menusuk. Baru saat ini, cinta Fathia dan ayahnya kepada Wiji, berhambur bersama kelopak mawar yang bertaburan di pusara.

Bersambung...



 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:
Write Comments



Entri yang Diunggulkan

Puisi-Puisiku

  Puisi-Puisiku Oleh: Khatijah   1.        MENDEKAP HARAP Kupatahkan ragu di tiang rapuh Menjaga rasa cita pada setia Di cadas lin...