Sesal
Oleh: Khatijah
Pak
Darto lebih paham atas perubahan pada diri Fathia. Kematian Wiji sahabatnya,
telah mencuri seluruh keceriaan hatinya. Meski begitu dia merasa lebih dari
yang dirasakan Fathia. Perasaan kehilangan sekaligus bersalah bahkan
merobek-robek nuraninya. Namun, dia hanya bisa menelannya sendiri. Tidak
mungkin dia akan menceritakan kesedihan itu pada Fathia, apalagi istrinya.
“Ayah
duluan ya, ada pekerjaan yang harus diselesaikan malam ini. Besok harus sudah
kelar.” Pak Darto akhirnya meninggalkan Fathia dan ibunya.
Fathia
menatap ayahnya. Ada kesunyian menggenang di mata lelaki lebih paroh baya itu. Dia
melihatnya sejak berada di makam Wiji. Pertanyaan besar mengganggu jiwa gadis cantik
kebanggaan ayah dan ibunya itu. Pergolakan batin tak mampu dia ungkapkan di
depan ibunya yang rapuh. Demikian juga bibirnya terasa kelu saat ingin
menanyakan langsung kepada ayahnya.
Jika
harus bertanya kepada ibunya, jelaslah beban wanita itu akan bertumpuk-tumpuk.
Barangkali tanpa ditanya pun nurani Bu Harni sudah bicara. Ketidakmampuan
fisiknya membuat dia terbelenggu dengan ketakutan demi ketakutan yang dia
ciptakan sendiri. Meski hatinya berontak ingin melepaskan beban deritanya. Tinggallah
dia sendiri dalam sepi hati. Tertindih berbagai masalah yang sulit terurai.
“Thia,
Ibu tidak tahu apa yang kalian pikirkan. Kenapa gak cerita sama Ibu? Sebenarnya
siapa yang telah meninggal dan membuatmu sedih?” Akhirnya Bu Harni membuka
ruang tenggorokannya yang sejak tadi terasa tercekik.
Fathia
terhenyak. Lagi-lagi dia bingung untuk memberikan jawaban yang sesungguhnya
kepada ibunya.
“Teman
SMA, Bu.” Fathia menjawab sekenanya.
“Iya,
siapa?” Bu Harni mengejar.
Fathia
kian gelagapan. Terbayang saat ibunya tahu bahwa yang meninggal Wiji. Entah
akan seperti apa ekspresinya. Apakah puas atau sedih karena aku dan ayah tampak
begitu kehilangan. Fathia benar-benar terdesak.
“Wiji,
Bu.”
Dada
Fathia berdebar kencang. Dia benar-benar keceplosan. Spontan dua telapak
tangannya menutup bibirnya. Bu Harni tampak menarik napas panjang. Entahlah apa
maknanya.
“Akhirnya,
hanya kamu yang jadi pewaris harta ayahmu, Fathia,” ujar Bu Harni datar.
Bersamaan
dengan ucapannya, Bu Harni mendorong kursi rodanya meninggalkan ruang makan.
Tinggallah Fathia yang terbengong-bengong. Buru-buru dia kejar ibunya dan
dibantunya mendorong kursi roda.
“Ibu
jangan berbicara seperti itu. Bagaimana pun kita tetap berduka, Bu. Kasihan
anak itu. Dia tidak tahu apa-apa. Takdir saja yang membawanya pada lingkaran
masalah yang pelik ini.”
“Masih
juga kamu membelanya. Tidak sakit hatimu telah dihancurkan. Sama dengan hati
Ibu yang berkeping-keping akibat semua ini.”
Kali
ini Fathia tidak bisa menahan tangis. Diabaikannya air matanya berdera-derai. Dalam
hati, dia membenarkan ucapan ibunya, tapi di sisi lain perasaan kehilangan tak
bisa dia urai hanya dengan sekadar mengingat takdir yang mempermainkan
keluarganya.
“Sudah,
hentikan tangismu! Kamu lebih memilih dia? Mendukung semua kejahatan ibunya?
Dan membiarkan Ibu yang sudah hancur ini mati karena kelakuanmu dan kelakuan ayahmu?”
ucap Bu Harni dengan suara bergetar.
“Ibu,
Fathia sayang Ibu.”
Hanya
itu yang bisa terucap dari bibir Fathia. Dipeluknya ibunya erat-erat setelah kursi
rodanya berhenti. Ditumpahkannya kasih sayangnya kepada wanita yang telah melahirkannya
itu. Namun, Fathia terkejut luar biasa karena tiba-tiba ibunya kejang-kejang lagi.
“Ayah,
Bi Siti, tolong!” jerit Fathia sekuat-kuatnya.
Bi
Siti yang sednag bersih-bersih di dapur terkejut mendengar teriakan Fathia. Serta-merta,
dia berlari menuju kea rah suara. Sementara Pak Darto yang sebenarnya tidak sedang
menyelesaikan pekerjaannya di kamar, melompat dan berlari menuju Fathia dan ibunya.
Bersambung ...
Tidak ada komentar:
Write Comments