Rabu, 10 Mei 2023

Sesal

 

Sesal

Oleh: Khatijah

Pak Darto lebih paham atas perubahan pada diri Fathia. Kematian Wiji sahabatnya, telah mencuri seluruh keceriaan hatinya. Meski begitu dia merasa lebih dari yang dirasakan Fathia. Perasaan kehilangan sekaligus bersalah bahkan merobek-robek nuraninya. Namun, dia hanya bisa menelannya sendiri. Tidak mungkin dia akan menceritakan kesedihan itu pada Fathia, apalagi istrinya.

“Ayah duluan ya, ada pekerjaan yang harus diselesaikan malam ini. Besok harus sudah kelar.” Pak Darto akhirnya meninggalkan Fathia dan ibunya.

Fathia menatap ayahnya. Ada kesunyian menggenang di mata lelaki lebih paroh baya itu. Dia melihatnya sejak berada di makam Wiji. Pertanyaan besar mengganggu jiwa gadis cantik kebanggaan ayah dan ibunya itu. Pergolakan batin tak mampu dia ungkapkan di depan ibunya yang rapuh. Demikian juga bibirnya terasa kelu saat ingin menanyakan langsung kepada ayahnya.

Jika harus bertanya kepada ibunya, jelaslah beban wanita itu akan bertumpuk-tumpuk. Barangkali tanpa ditanya pun nurani Bu Harni sudah bicara. Ketidakmampuan fisiknya membuat dia terbelenggu dengan ketakutan demi ketakutan yang dia ciptakan sendiri. Meski hatinya berontak ingin melepaskan beban deritanya. Tinggallah dia sendiri dalam sepi hati. Tertindih berbagai masalah yang sulit terurai.

“Thia, Ibu tidak tahu apa yang kalian pikirkan. Kenapa gak cerita sama Ibu? Sebenarnya siapa yang telah meninggal dan membuatmu sedih?” Akhirnya Bu Harni membuka ruang tenggorokannya yang sejak tadi terasa tercekik.

Fathia terhenyak. Lagi-lagi dia bingung untuk memberikan jawaban yang sesungguhnya kepada ibunya.  

“Teman SMA, Bu.” Fathia menjawab sekenanya.

“Iya, siapa?” Bu Harni mengejar.

Fathia kian gelagapan. Terbayang saat ibunya tahu bahwa yang meninggal Wiji. Entah akan seperti apa ekspresinya. Apakah puas atau sedih karena aku dan ayah tampak begitu kehilangan. Fathia benar-benar terdesak.

“Wiji, Bu.”

Dada Fathia berdebar kencang. Dia benar-benar keceplosan. Spontan dua telapak tangannya menutup bibirnya. Bu Harni tampak menarik napas panjang. Entahlah apa maknanya.

“Akhirnya, hanya kamu yang jadi pewaris harta ayahmu, Fathia,” ujar Bu Harni datar.

Bersamaan dengan ucapannya, Bu Harni mendorong kursi rodanya meninggalkan ruang makan. Tinggallah Fathia yang terbengong-bengong. Buru-buru dia kejar ibunya dan dibantunya mendorong kursi roda.

“Ibu jangan berbicara seperti itu. Bagaimana pun kita tetap berduka, Bu. Kasihan anak itu. Dia tidak tahu apa-apa. Takdir saja yang membawanya pada lingkaran masalah yang pelik ini.”

“Masih juga kamu membelanya. Tidak sakit hatimu telah dihancurkan. Sama dengan hati Ibu yang berkeping-keping akibat semua ini.”

Kali ini Fathia tidak bisa menahan tangis. Diabaikannya air matanya berdera-derai. Dalam hati, dia membenarkan ucapan ibunya, tapi di sisi lain perasaan kehilangan tak bisa dia urai hanya dengan sekadar mengingat takdir yang mempermainkan keluarganya.

“Sudah, hentikan tangismu! Kamu lebih memilih dia? Mendukung semua kejahatan ibunya? Dan membiarkan Ibu yang sudah hancur ini mati karena kelakuanmu dan kelakuan ayahmu?” ucap Bu Harni dengan suara bergetar.

“Ibu, Fathia sayang Ibu.”

Hanya itu yang bisa terucap dari bibir Fathia. Dipeluknya ibunya erat-erat setelah kursi rodanya berhenti. Ditumpahkannya kasih sayangnya kepada wanita yang telah melahirkannya itu. Namun, Fathia terkejut luar biasa karena tiba-tiba ibunya kejang-kejang lagi.

“Ayah, Bi Siti, tolong!” jerit Fathia sekuat-kuatnya.

Bi Siti yang sednag bersih-bersih di dapur terkejut mendengar teriakan Fathia. Serta-merta, dia berlari menuju kea rah suara. Sementara Pak Darto yang sebenarnya tidak sedang menyelesaikan pekerjaannya di kamar, melompat dan berlari menuju Fathia dan ibunya.

 Bersambung ...


 

      

 

 

 

 

Tidak ada komentar:
Write Comments



Entri yang Diunggulkan

Puisi-Puisiku

  Puisi-Puisiku Oleh: Khatijah   1.        MENDEKAP HARAP Kupatahkan ragu di tiang rapuh Menjaga rasa cita pada setia Di cadas lin...