Sesal
Oleh: Khatijah
“Ibu,
kenapa Bu?” Pak Darto menggoyang-goyangkan tubuh istrinya.
“Cepat
telepon ambulans, Mbak Pak,” seru Bi Siti tergopoh-gopoh.
Pak
Darto tidak mengindahkan Bi Siti. Dia berpikir bahwa membawanya sendiri akan
lebih efektik. Cepat-cepat Pak Darto mencari kunci kontak. Kepanikan membuat
dia terlupa menaruhnya. Berkali-kali dicarinya di meja depan TV, tetapi tidak
ditemukan. Lalu berlari ke ruang tamu. Di sana pun dia tidak menemukan barang
yang dicari. “Thia, di mana kunci kontaknya?” teriak Pak Darto.
Fathia
tidak menjawab. Dia lebih fokus menolong ibunya. Ditepuk-tepuknya pipinya
pelan-pelan dan dibisikkan panggilan.Namun, Bu kondisi Bu Harni tidak ada
perubahan. Bi Siti yang tidak kalah panik turut memijit-mijit tangan wanita
itu.
Terus
saja Pak Darto mondar-mandir hingga kembali ke ruang makan.Tiba-tiba dia
melihat kontak itu tergeletak di meja. Dengan tergesa-gesa dia menuju ke
halaman. Beruntung mobilnya belum dimasukkan di garasi.
Beberapa
menit kemudian, terdengar suara mesin mobil. Dengan dibantu Bi Siti, Fathia
mendorong kursi roda ibunya ke luar rumah.
“Hati-hati,
Thia! Pegang kursi rodanya,” ucap ayahnya seraya menggendong tubuh istrinya ke
dalam mobil.
Udara
malam menemani ayah dan anak dalam kepanikan. Lampu-lampu jalan yang
berderet-deret serupa berlari kencang meninggalkan mobil yang dikemudikan Pak
Darto. Fathia merasa mobil itu terlalu lambat. Resah hatinya mendesak-desak. Ingin
segera tertuntaskan perjalanan menuju rumah sakit agar ibunya segera
tertangani. Berulang-ulang Fathia memandang wajah ibunya yang pucat. Meski
wanita itu tidak lagi kejang-kejang, tapi was-was di hati Fathia belum juga
berkurang. Dia terus membisiki ibunya agar tetap bertahan.
“Kenapa
berhenti, Yah? Ayo, jalan saja!” teriak Fathia ketika lampu merah mengharuskan
ayahnya menghentikan mobil.
“Tidak
bisa begitu, Fathia. Nanti terjadi kecelakaan, malah tambah masalah.” Pak Darto
tidak mengindahkan anak gadisnya.
Fathia
melongokkan wajahnya ke luar. Tampak mobil-mobil berderet panjang. Dia
menggeleng-gelengkan kepala dengan bibir terus melafalkan doa. Hatinya gemas, ketika lampu berubah menjadi hijau, tetapi mobil
di depannya tidak cepat-cepat berjalan. Akibatnya mobil Pak Darto harus
tertahan karena lampu sudah kembali merah. Mau tidak mau harus menunggu lampu
hijau berikutnya. Sementara napas Bu Harni semakin sesak. Fathia kian panik. Doanya
terus dipanjatkan agar ibunya masih bisa bertahan.
“Duh,
gimana sih? Kenapa gak cepet-cepet?” Fathia menggerutu sambil terus melihat
mobil yang ada di depannya.
Ketika
lampu kembali hijau, Pak Darto membunyikan klakson keras-keras. Dia tidak lagi
berpikir bagaiman reaksi pengendara mobil lain. Cepat-cepat dia mengegas
mobilnya saat berhasil menyalip mobil di depannya. Fathia melepaskan
kedongkolannya dengan menghirup udara dari hidung dalam-dalam dan
mengeluarkannya pelan-pelan dari mulutnya.
Tidak lama kemudian, mobil Pak Darto memasuki halaman rumah sakit. Langsung dia menuju pintu Instalasi Gawat Darurat. Dua pemuda berbaju seragam kehijauan segera membawa tandu menuju pintu mobil Pak Darto. Dengan cekatan, mereka mengangkat tubuh Bu Harni dan membawanya masuk. Fathia terus mengikuti dari belakang. Dia berharap ibunya masih bisa diselamatkan.
Bersambung...