Menanti Matahari@3
Oleh: Khatijah
“Andara,
Aku takut.” Tanpa sadar Rianti mengucap kalimat itu.
Andara
menoleh. Dipandanginya wajah Rianti. Kerut keningnya mengisyaratkan keheranan.
Dia benar-benar tidak mengerti kondisi Rianti yang tiba-tiba berubah. Tangannya
menjadi dingin. Pucat wajahnya dan bibirnya bergetar.
“Kamu
ini kenapa Anti?”
Rianti
yang ditanya tidak menjawab. Sorot matanya terus mengikuti laki-laki yang tadi
menatapnya dengan tatapan menakutkan. Andara mencoba mengikuti arah pandangan
mata Rianti, tapi dia tidak melihat
siapa-siapa.
“Kenapa
kita berada di tempat ini, An? Kita pulang, ya! Jangan lama-lama di sini!”
“Kita
baru nyampai, Anti. Ada-ada saja kamu ini. Kita ke sini kan niatnya liburan. Kita
habiskna liburan di sini,” gerutu Andara sambil terus melangkah menuju kamar
yang sudah disiapkan.
Rianti
ragu-ragu. Serasa ada yang menahan kakinya untuk mengikuti Andara.
Dipalingkannya wajahnya ke kiri dan ke kanan. Sepi. Embusan angin semakin
kencang. Bajunya putih ke abu-abuan yang dipakainya itu berkibar-kibar seolah akan
membawanya terbang.
“Ayo,
Anti. Cepetan!” teriak Andara masih menunggu sahabatnya yang belum juga
melangkah.
“Tunggu,
Andara!”
Dengan
tertatih Rianti berjalan menuju ke tempat Andara berdiri. Sepanjang perjalanan
tak henti matanya melirik ke kiri dan ke kanan. Suara-suara daun kelapa di luar
yang diterpa angin serupa benar dengan suara langkah orang yang mengejarnya. Rianti
terus mengerahkan tenaganya agar segera mencapai tempat Andara.
“Kok
lama banget, sih?” Andara bersungut-sungut.
“Andara,
aku ingin pulang.”
Andara
tidak menyahut. Dia justru berjalan meninggalkan Rianti. Tidak ada pilihan lain
bagi Rianti selain mengikuti Andara. Langkahnya dipercepat. Dadanya berdebar
kencang. Sampailah mereka di depan pintu kamar. Masih dalam diam, Andara membuka
pintu.
“Ayo,
masuk!” Andara memberi jalan kepada Rianti.
Dengan
ragu-ragu Rianti memasuki kamar. Sepontan pandangannya menyapu pada setiap
sudut. Lalu matanya berhenti pada double bed dengan sprei putih bersih dan
sebuah bantal. Tiba-tiba rasa kantuknya terpanggil. Ingin sekali dia rebahkan
tubuhnya yang terasa lemas. AC yang terlalu dingin menusuk pori-pori, membuat
dia meraba kulit lengannya.
“Kamu
mandi saja dulu. Baru beristirahat sebentar. Setelah itu kita akan ke sana.”
Andara yang berdiri di dekat jendela mengarahkan telunjukknya ke luar.
“Aku
tiduran dulu ya, An. Andara aja yang mandi.Badanku terasa meriang.”
“Oke,”
sahut Andara singkat.
Rianti
tidak tertarik dengan pemandangan luar yang ditawarkan Andara. Dia memilih
memejamkan mata untuk mengurangi pening kepalanya sejak dipermainkan ombak
tadi. Meski begitu, jiwanya tidak bisa terlelap. Pikirannya terombang-ambing
oleh peristiwa yang dialami. Mulai dari HP dan obat-obatan yang turut tenggelam
bersama tasnya, juga lelaki yang tiba-tiba menabur sikap antipati kepadanya.
Khekhawatiran itu begitu mengganggu. Tak henti-henti bayangan wajah orang
tuanya bermain di depan mata. Tentu mereka sangat mengkhawatirkan dirinya yang
tadi tidak mendapatkan izin sepenuh hati. Apalagi dia tidak bisa menghubungi
mereka saat sudah sampai di tempat. Belum juga obat yang seharusnya dihabiskan
sesuai resep dokter.
Bondowoso,
17 Mei 2023
Tidak ada komentar:
Write Comments