Kamis, 18 Mei 2023

Sesal



Sesal

Oleh: Khatijah


“Ibu, kenapa Bu?” Pak Darto menggoyang-goyangkan tubuh istrinya.

“Cepat telepon ambulans, Mbak Pak,” seru Bi Siti tergopoh-gopoh.

Pak Darto tidak mengindahkan Bi Siti. Dia berpikir bahwa membawanya sendiri akan lebih efektik. Cepat-cepat Pak Darto mencari kunci kontak. Kepanikan membuat dia terlupa menaruhnya. Berkali-kali dicarinya di meja depan TV, tetapi tidak ditemukan. Lalu berlari ke ruang tamu. Di sana pun dia tidak menemukan barang yang dicari. “Thia, di mana kunci kontaknya?” teriak Pak Darto.

Fathia tidak menjawab. Dia lebih fokus menolong ibunya. Ditepuk-tepuknya pipinya pelan-pelan dan dibisikkan panggilan.Namun, Bu kondisi Bu Harni tidak ada perubahan. Bi Siti yang tidak kalah panik turut memijit-mijit tangan wanita itu.

Terus saja Pak Darto mondar-mandir hingga kembali ke ruang makan.Tiba-tiba dia melihat kontak itu tergeletak di meja. Dengan tergesa-gesa dia menuju ke halaman. Beruntung mobilnya belum dimasukkan di garasi.

Beberapa menit kemudian, terdengar suara mesin mobil. Dengan dibantu Bi Siti, Fathia mendorong kursi roda ibunya ke luar rumah.

“Hati-hati, Thia! Pegang kursi rodanya,” ucap ayahnya seraya menggendong tubuh istrinya ke dalam mobil.

Udara malam menemani ayah dan anak dalam kepanikan. Lampu-lampu jalan yang berderet-deret serupa berlari kencang meninggalkan mobil yang dikemudikan Pak Darto. Fathia merasa mobil itu terlalu lambat. Resah hatinya mendesak-desak. Ingin segera tertuntaskan perjalanan menuju rumah sakit agar ibunya segera tertangani. Berulang-ulang Fathia memandang wajah ibunya yang pucat. Meski wanita itu tidak lagi kejang-kejang, tapi was-was di hati Fathia belum juga berkurang. Dia terus membisiki ibunya agar tetap bertahan.

“Kenapa berhenti, Yah? Ayo, jalan saja!” teriak Fathia ketika lampu merah mengharuskan ayahnya menghentikan mobil.

“Tidak bisa begitu, Fathia. Nanti terjadi kecelakaan, malah tambah masalah.” Pak Darto tidak mengindahkan anak gadisnya.

Fathia melongokkan wajahnya ke luar. Tampak mobil-mobil berderet panjang. Dia menggeleng-gelengkan kepala dengan bibir terus melafalkan doa. Hatinya gemas,  ketika lampu berubah menjadi hijau, tetapi mobil di depannya tidak cepat-cepat berjalan. Akibatnya mobil Pak Darto harus tertahan karena lampu sudah kembali merah. Mau tidak mau harus menunggu lampu hijau berikutnya. Sementara napas Bu Harni semakin sesak. Fathia kian panik. Doanya terus dipanjatkan agar ibunya masih bisa bertahan.

“Duh, gimana sih? Kenapa gak cepet-cepet?” Fathia menggerutu sambil terus melihat mobil yang ada di depannya.

Ketika lampu kembali hijau, Pak Darto membunyikan klakson keras-keras. Dia tidak lagi berpikir bagaiman reaksi pengendara mobil lain. Cepat-cepat dia mengegas mobilnya saat berhasil menyalip mobil di depannya. Fathia melepaskan kedongkolannya dengan menghirup udara dari hidung dalam-dalam dan mengeluarkannya pelan-pelan dari mulutnya.

Tidak lama kemudian, mobil Pak Darto memasuki halaman rumah sakit. Langsung dia menuju pintu Instalasi Gawat Darurat. Dua pemuda berbaju seragam kehijauan segera membawa tandu menuju pintu mobil Pak Darto. Dengan cekatan, mereka mengangkat tubuh Bu Harni dan membawanya masuk. Fathia terus mengikuti dari belakang. Dia berharap ibunya masih bisa diselamatkan. 

Bersambung... 

     

 

 

 

      

 

 

Tidak ada komentar:
Write Comments



Entri yang Diunggulkan

Puisi-Puisiku

  Puisi-Puisiku Oleh: Khatijah   1.        MENDEKAP HARAP Kupatahkan ragu di tiang rapuh Menjaga rasa cita pada setia Di cadas lin...