Kamis, 09 Maret 2023

Kekuatan Cinta Antara Anak dan Bapak dalam Miracle In Cell No. 7

Kekuatan Cinta Antara Anak dan Bapak dalam Miracle In Cell No. 7

Oleh: Khatijah


Foto: Diambil dari Gogle

 

Bagi Anda yang hobi menonton film drama, Miracle In Cell No. 7 versi Indonesia ini sangat sayang untuk dilewatkan. Banyak adegan yang menguras air mata. Namun, suatu ketika juga dituntut tertawa terbahak-bahak karena melihat kelucuan para tokoh seperti Indro Warkop, Tora Sudiro, dan kawan-kawannya, yang berperan sebagai narapidana di dalam penjara. Bukan hanya itu, esensi film ini mampu membangun karakter bagi penonton yang benar-benar menghayatinya. Begitu piawainya Hanung Bramantyo sebagai sutradara dalam penggarapan film ini sehingga film ini berahasil menyedot 4,9 penonton. Seperti film bergenre drama lainnya yang disutradarai Hanung Bramantyo, film ini mampu mengharu biru bagi para penikmatnya. Film ini tidak kalah menariknya dengan film drama “Bumi Manusia” yang diangkat dari novel karya Pramoedya Ananta Toer dalam judul yang sama. Meskipun film Miracle In Cell No.7 belum sesukses film “Ayat-Ayat Cinta” yang diangkat dari novel karya Habiburrahman El Shirazy, tapi film ini layak untuk ditonton semua kalangan.   

Cerita dalam Film Miracle In Cell No.7 diadopsi dari film Korea Selatan (2013). Diambil dari kisah nyata yang dialami oleh seorang pria Korea yang bernama Jeong Won Seop, seorang disabilitas intelektual. Dalam versi Indonesia, film ini menceritakan seorang disabilitas intelektual bernama Dodo Rozak, diperankan oleh Vino G. Bastian. Dodo Rozak hidup berbahagia bersama putri cantiknya yang bernama Kartika (Ika). Sebagai seorang yang mengalami keterbelakangan mental, Dodo Rozak berperilaku seperti anak kecil. Itulah yang menyebabkan antara Kartika dan Dodo Rozak seperti teman sepermainan, padahal mereka merupakan ayah dan anak.

Cinta dan tanggung jawab Dodo Rozak kepada Kartika sangatlah besar. Begitu juga cinta Kartika kepada ayahnya. Dia tidak malu dengan keberadaan ayahnya. Kebahagiaan mereka tampak pada wajah dan perilaku mereka yang senantiasa ceria saat di rumah maupun saat antar jemput Kartika yang masih bersekolah di Sekolah Dasar. Dodo Rozak juga sangat berbahagia dengan profesinya sebagai penjual balon. Hingga suatu saat kebahagian keduanya terenggut.

Konfliknya berawal ketika Dodo rozak menemukan gadis kecil (diperankan oleh Makayla Rose) yang terapung-apung di sebuah kolam. Sebagai seorang yang berkarakter baik, dia tidak tega. Tanpa pikir panjang, dia menolongnya. Namun, ternyata gadis kecil itu sudah meninggal. Dia tidak pernah menduga bahwa maksud baiknya itu justru membuatnya dituduh sebagai pembunuh sekaligus pemerkosa. Dengan segenap keterbatasan mentalnya, Dodo Rozak menolak tuduhan itu. Sayang, orang-orang tidak memercayai alasannya sedikit pun. Peristiwa ini menjadi awal mula kesedihan antara ayah dan anak itu.

Konflik semakin meningkat saat terjadi perpisahan antara Dodo Rozak dengan anaknya, Kartika. Semula Kartika resah ketika menunggu sang ayah tidak segera menjemputnya di sekolah. Dia tidak pernah menyangka bahwa ayahnya ditangkap dan dipaksa dimasukkan ke dalam tahanan. Hal yang tidak terduga itu membuat Ika (panggilan untuk Kartika) sangat sedih. Begitu juga Dodo Rozak sang ayah yang tidak rela meninggalkan Kartika di rumah. Ketika berada di sel tahanan, dia selalu menangis dan meminta agar bisa dipertemukan dengan Kartika (Ika). Dia sangat memikirkan anaknya itu karena selain dia tidak bisa berpisah dengannya, Kartika sudah tidak punya ibu.

Permintaan Dodo Rozak itu, tidak dikabulkan oleh pihak lapas. Namun, teman-temannya di sel nomor 7, Japra (Hendro Warkop), Zaki (Tora Sudiro), Asrul ( Bryan Domani), dll, berusaha keras agar Kartika bisa diselundupkan ke dalam sel. Itu disebabkan rasa simpati yang sangat besar kepada Dodo Rozak, seorang disabilitas yang baik perilakunya dan sering menolong para narapidana, termasuk kepala sipir Hendro Sanusi (Deni Sumargo).   

Perjuangan untuk menyelundupkan Kartika ke dalam sel pun berhasil. Walaupun banyak mengalami rintangan. Di dalam sel ini, Kartika dan Dodo Rozak menemukan kebahagiaannya kembali. Kebahagiaan antara ayah dan anak itu menjalari seluruh penghuni sel. Kelucuan-kelucuan pun sering terjadi. Meskipun Dodo Rozak seorang disabilitas, dia punya tanggung jawab dan kasih sayang yang sangat besar kepada anaknya. Inilah pelajaran yang bisa dipetik. Seorang disabilitas saja bisa bertindak seperti itu kepada anaknya apalagi lelaki yang diberikan kesempurnaan. Hal ini bisa menjadi contoh para orang tua khususnya seorang ayah. Demikian juga kasih sayang seorang anak kepada ayahnya yang tidak pernah berakhir meskipun ayahnya seorang laki-laki berketerbelakangan mental. Seperti cinta Kartika kepada ayahnya Dodo Rozak. Oleh karenanya, banyak narapidana yang bersimpati kepadanya, termasuk Hendro, sang kepala penjara.

Kecintaan sahabat-sahabatnya di dalam lapas tidak berhenti di situ. Bahkan teman-temannya juga membantu Dodo Rozak mengusahakan agar dia terbebas dari tuduhan. Berbagai upaya dilakukan. Mereka juga membantu agar dia menghafalkan kalimat yang akan digunakan di persidangan untuk menyangkal tuduhannya sebagai pembunuh dan pemerkosa yang memang tidak dilakukannya.

Klimaks film ini terjadi saat kejujuran Dodo Rozak dipertaruhkan. Keterbatasannya untuk membela diri bahwa dia tidak melakukan seperti yang dituduhkan, ternyata gagal. Dia kalah di pengadialan dan divonis hukuman mati. Eksekusinya akan dilaksanakan di Nusakambangan. Mendengar putusan pengadilan itu, teman-temannya di dalam tahanan sangat sedih. Maka dari itu mereka ingin membantu Dodo Rozak dan putrinya melarikan diri dari tahanan dengan menggunakan balon udara. Namun, usaha mereka tidak berhasil karena balon udara yang dinaiki Dodo Rozak dan Kartika, tersangkut.

Perasaan haru biru penonton tidak tertahan saat menyaksikan perpisahan antara Dodo Rozak dan Kartika Kecil. Lagu soundtracx yang berjudul “Andaikan Kau Datang Kembali” yang dibawakan oleh Anmash Kamaleng menambah derasnya air mata yang tumpah. Dengan tangisan menyayat hati, Kartika kecil harus menyaksikan ayahnya dibawa petugas untuk dipindahkan ke Nusakambangan. Dia terus memanggil-manggil ayahnya. Demikian juga Dodo Rozak tidak berhenti menangis dan ingin bersama Kartika, tapi tidak bisa. Mereka hanya bisa saling melambaikan tangan dalam tangis yang sangat pilu.

Hendro (Deni Sumargo) sang kepala lapas pun tidak bisa menahan kesedihan. Demikian juga para narapidana lain. Akhirnya Kartika pun diminta untuk tinggal bersama keluarga Hendro. Di keluarga itu, anak perempuan ini tumbuh menjadi seorang gadis yang kemudian dikuliahkan agar bisa membela ayahnya.

Film ditutup setelah adegan di sebuah pengadilan. Kartika yang saat itu sudah dewasa (Mawar De Jongh) berperan sebagai pengacara ayahnya, Dodo Rozak. Dia memohon kepada pengadilan agar nama ayahnya dibersihkan dari tuduhan sebagai pembunuh dan pemerkosa meskipun ayahnya sudah tidak ada karena telah dihukum mati.

Film yang mulai tayang di bioskop sejak September 2022 ini, banyak memberikan pelajaran berharga yang bisa dipetik oleh penonton. Pertama, bahwa keadilan itu milik semua orang, termasuk orang yang mengalami keterbelakangan mental. Jadi, hendaknya tidak memanfaatkan kekurangan seseorang demi kepentingan tertentu. Dia harus mendapatkan perlakuan yang adil seperti halnya orang-orang normal. Bahkan seharusnya dia disayangi dan dihormati sesuai dengan haknya.

Perilaku baik dari tokoh Dodo Rozak bisa menjadi contoh setiap orang. Ternyata kekurangan pada laki-laki itu, tidak menghalangi ketulusan hatinya untuk selalu berbuat baik kepada orang lain, seperti memberikan pertolongan dan membela kebenaran. Bukan hanya itu, kasih sayang dan tanggung jawabnya sebagai seorang ayah patut diteladani. Di balik keterbatasan yang dimiliki, ada jiwa besar untuk selalu merawat dan melindungi anaknya dengan sepenuh kasih sayang. Meski akhirnya mereka dipisahkan oleh ketidakadilan.

Selain itu, film ini juga mengajarkan kepada penonton untuk saling mengasihi dan menyayangi antara orang tua dan anak. Maka dari itu, usia penontonnya tidak dibatasi. Justru anak-anak bisa diajak menonton film ini agar perasaan sayang dan cinta kepada ayah atau orang tuanya, tumbuh menjadi lebih kuat. Anak-anak akan takut kehilangan ayahnya seperti halnya Kartika. Bahkan akan membela nama baik orang tuanya meskipun orang tua sudah tidak ada di dunia ini. Dengan menonton film ini seorang anak diharapkan tidak akan menjadi anak durhaka seperti yang sering terjadi di berita-berita yang disaksikan di televisi.

Itulah kelebihan-kelebihan film Miracle In Cell No.7. Waktu 145 menit selama pemutaran film, terasa sangat singkat. Ini disebabkan oleh bagusnya film tersebut. Siapkan tisu yang banyak jika anda ingin menonton film tersebut. Sebab emosi akan terus dipermainkan selama menonton film yang bisa ditonton oleh semua umur ini. Bukan hanya segi isinya saja yang bagus, tapi perpaduan antara cerita, musik, pencahayaan, dan berbagai unsur film yang lain, sangat mendukung. Hampir tidak ditemui kekurangan di dalam film Miracle In Cell No. 7 versi Indonesia yang saya tonton.

Identitas Film

Judul Film: Miracle In Cell No.7 (Versi Indonesia)

Sutradara: Hanung Bramantyo

Film Produksi: Falcon Pictures

Produser: Frederica

Penulis Skenario: Alim Sudio

Penulis Cerita Asli: Lee Hwan Kyu

Soundtrakcx Lagu: Andaikan Kau Datang (Dibawakan kembali oleh Anmesh Kamaleng)

Pemeran:

Vino G. Bastian: Dodo Rozak

Graciella Abigael: Kartika (Ika)

Indro Warkop: Japra (narapidana)

Deni Sumargo: Hendro Sanusi (kepala lapas)

Marsha Timothy: Juwita

Makayla Rose: Melati (gadis kecil yang meninggal)

Tora Sudiro: Narapidana

Bryan Domani: Narapidana

Tayang di Bioskop: Sejak September 2022

Durasi: 145 menit

 

 

 

Peresensi

 

 

 


Khatijah dilahirkan di Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Bondowoso Jawa Timur  menjadi kota tempat tinggal sejak menjadi guru di SMPN 1 Tapen. Ada 8 Buku karya tunggalnya: Sekeping Rindu (Kumpulan Cerpen: 2020), Selendang Merah Jambu (Novel: 2020), Rinduku di Antara Bunga Ilalang (Novel: 2020), Sejingga Rembulan (Novel: 2021), Puspa Indah Telaga Rindu (Kumpulan Cerpen: 2021), Anyelir Merah Darah (Novel: 2022), Seikat Mawar Ungu (Kumpulan Cerpen: 2022). Elegi di Kaki Bukit (Novel: 2023)  Dia pernah meraih predikat pemenang kedua penulis buku fiksi terbaik pada Lomba Temu Nasional Guru Penulis MediaGuru tahun 2022 di Jakarta. Dia juga berkontribusi 37 buku Karya Antologi. 



Entri yang Diunggulkan

Puisi-Puisiku

  Puisi-Puisiku Oleh: Khatijah   1.        MENDEKAP HARAP Kupatahkan ragu di tiang rapuh Menjaga rasa cita pada setia Di cadas lin...