Serpihan Cinta di Langit Saga Part 13
Foto: Koleksi Pribadi
Serpihan Cinta di Langit Saga
Part
13
Oleh: Khatijah
“Besok-besok saja ya, Dik. Mbak Ratih masih
kurang enak badan,” sahut Ratih seraya meraba kedua pipinya yang terasa hangat.
Roman wajah gadis kecil itu berubah seketika.
Kecewa begitu tergambar dari ekspesinya. Di luar dugaan, dia menarik tangan
Ratih hingga Ratih kehilangan keseimbangan. Terhuyung dan nyaris jatuh.
“Melati, gak boleh memaksa seperti itu!”
teriak ibunya saat tiba-tiba muncul di antara mereka.
“Ayo, dah gak apa-apa.” Akhirnya Ratih tidak
tega menolak ajakan Melati.
Ratih tidak mampu mengucap kata selain itu.
Gadis kecil itu terlalu bersemangat untuk mengajaknya jalan-jalan. Oleh
karenanya, dia harus mampu meluluhkan egonya. Tidak bisa dia tetap tinggal
diam. Perlahan dia melangkah. Pusing di kepalanya yang kian hilang membuatnya
lupa akan pesan Dewanda.
Setengah berlari Melati mendahului langkah
Ratih. Kakinya melompat-lompat menyusuri jalan setapak. Sesekali dia menengok
ke belakang. Tampak senyumnya yang manis dalam rona berbunga-bunga. Ratih tidak
mampu berjalan secepat Melati. Hingga Melati berhenti untuk menunggunya. Sebuah telaga dengan kecil berlapis kabut di atas permukaannya sudah begitu dekat. Ingin sekali Melati bersuka ria menikmati indahnya bersama Ratih.
Jalan yang tersiram hujan semalam masih
menyisakan licin. Ratih harus super hati-hati. Berbeda dengan Melati yang berlari-lari
sambil bernyanyi-nyanyi. Ratih tidak mampu mengikutinya. Pandangannya yang
kadang seperti terhalang ribuan kunang-kunang membuat langkahnya terhenti.
Sementara Melati sudah meninggalkannya jauh di depan.
“Mbak Ratih, ayo cepat!” Melati berteriak
memanggil-manggil.
Ratih terjatuh. Seketika tidak ingat apa-apa.
Dari jauh Melati melihat kejadian itu. Dia pun berlari kembali ke arah Ratih.
Dilihatnya gadis yang dipanggilnya Kakak itu terkulai dengan mata terpejam.
Melati panik. Dia berteriak-teriak keras sekali hingga suaranya menggema di
antara bebukitan di sekelilingnya.
“Tolong!” teriak melati berkali-kali.
Tanpa dia tahu dari mana arahnya tiba-tiba
dia mendengar derap kaki kuda. Dia menggigil karena pemuda tinggi besar itu turun
dari pelana dan meraih tubuh Ratih. Tanpa meninggalkan satu pesan apa pun dia
pergi bersama kudanya yang sebelumnya dilecut keras-keras. Mata Melati terus
memandangi jalan yang dilewati pemuda berkuda yang mebawa Ratih. Dia hanya bengong sebab secepat kilat pemuda
itu pergi. Tidak sempat dia memandang wajahnya. Dalam hatinya bertanya-tanya
mungkinkah pemuda itu Dewanda.
Badan Melati belum berhenti menggigil,
bibirnya bergetar keras, wajahnya memutih pucat. Gadis kecil itu berjalan
tertatih sambil memanggil-panggil nama Ratih.
“Mbak Ratih!”
Tidak seorang pun mendengarnya. Di ujung
penyesalannya, dia terus berjalan ingin mengadukan peristiwa itu kepada
ayahnya. Menyesal karena telah mengajak Ratih jalan-jalan di padang yang sepi. Belum
sampai di halaman, Pak Haji melihat Melati yang tampak sedang tidak baik-baik
saja. Dia pun bergegas menemui anak gadisnya itu.
“Ada apa Melati? Mana Ratih?” Pak Haji
menghujani Melati dengan pertanyaan.
Melati tidak bisa menyampaikan peristiwa yang
baru saja terjadi. Bibirnya serasa terkunci. Perasaan bersalah menghantui
dirinya. Dia memastikan ayahnya akan marah besar. Belum juga dia kepikiran akan
keadaan Ratih yang dibawa laki-laki berkuda yang tidak dikenal.
Bondowoso,
10 Juni 2023