Selasa, 05 Juli 2022

Tembang di Kaki Bukit Part 103

 


Tembang di Kaki Bukit

Part 103

                                                                Oleh: Khatijah

            Kening Bu Kades mengernyit hingga garis-garisnya tampak nyata. Bola matanya menajam. Suaranya melengking. Tergambar kepongahan menguasai jiwanya. Rasanya dia ingin bicara bahwa tak ada lagi orang yang berkuasa di rumah ini.

            “Kata Bu Marni itu benar. Ibuku yang sekarang juga berada di rumah ini adalah pemilik resmi rumah yang bertahun-tahun Bu Kades tinggali. Bu Kades coba pikir, ayah kan menikahi ibuku sebelum bertemu Bu Kades. Hanya karena nasib saja ibuku harus berpisah dengan ayah. Ketika kakek dan nenekku meninggal hanya Bu Marni yang ada di sini karena ibuku harus ikut suaminya dan dalam kondisi jiwanya tergoncang. Maka Bu Marni meminta ayah turut menjaga rumah ini sampai saya dewasa. Begitu kan Bu Marni?” Aku mencoba memberikan penjelasan seperti yang pernah disampaikan oleh Bu Marni dan ayah kepadaku beberapa bulan yang lalu.

            “Hebat, kamu anak manis! Pandai sekali kamu mengarang cerita. Jadi, menurutmu ini milik kakek nenekmu, makanya ibumu juga enak-enakan di sini.” Bu Kades menyahut dengan cepat seraya berdiri dan melangkahkan kakinya ke ruang dalam. Sementara, menantunya sempoyongan dan mengikuti di belakang. Buru-buru aku mendahului mereka. Kedua tanganku kurentangkan sebagai usaha untuk mencegah mereka masuk ke kamar ibu. Tak bisa kubayangkan apa yang akan terjadi pada ibu jika dua wanita itu menemukannya. Bu Marni hanya bisa berteriak-teriak di belakang mereka. Dia mencoba menghalangi dengan ucapan-ucapannya. Namun, pendengaran Bu Kades dan menantunya seolah sudah tertutup rapat. Mereka terus menerobos. Tubuhnya yang berbalut emosi meledak, berhasil menyingkirkan aku.

            Tahu benar bahwa hanya ada satu kamar utama yang biasa dia tempati. Ke tempat itu dia melanjutkan langkahnya. Tanpa permisi dia langsung membuka pintu dengan kasar. Aku berusaha mendorongnya agar tidak bisa masuk, tapi kekuatan fisik tak berimbang. Meski dia telah berumur, tapi dia lebih kuat untuk balik mendorongku hingga aku tersungkur.

            Aku merasakan sakit luar biasa di dada kiriku. Sebuah kursi kayu yang berada di dalam kamar tertimpa tubuhku. Aku meringis kesakitan. Namun, semua kutahan saat Bu Kades mamaksa ibu dengan menyeretnya ke luar kamar. Secepat kilat kusambar tubuh ibu dan kupeluk erat. Bu Marni hanya terpana menyaksikan keberingasan Bu Kades.

            “Jangan Bu, tolong jangan perlakukan Jeng Suni seperti ini. Kasihan dia,” tangis Bu Marni sambil berusaha menghalanginya.

            Bu Kades tak memedulikan. Terus saja dia membuka almari dan mengambil baju-baju ibu dan bajuku. Entah kekuatan apa yang membuatnya jadi beringas. Baju-baju itu dibawanya keluar dan sebagian kocar-kacir di lantai sepanjang dia lewat. Bibirnya tidak berhenti berbicara. Tak jelas apa yang dibicarakan. Sedangkan wanita muda yang bernama Thalia tidak turut serta membuang baju-baju itu ke luar. Barangkali dia sudah capai membawa perutnya, dia hanya mengawasi aku dan ibuku yang mencari tempat aman.

            Dengan air mata yang terus berderai, Bu Marni membantu memapah ibu. Wanita ini mengajak ibu menuju ke kamar belakang. Namun, belum sampai masuk ke dalam kamar, Bu Kades mendorong kami. Lagi-lagi aku jatuh tersungkur karena aku tetap menahan tubuh ibu agar tidak jatuh. Bersyukur Bu Marni bisa mengelak sebelum tangan-tangan kokoh Bu Kades beraksi.

            Aku mengambil keputusan sendiri. Tak ingin ibuku makin goyah pikirannya, kutelepon Wisnu. Sahabat sekaligus sepupuku dari bapak dan ibu yang mengasuh dan membesarkanku di desa.

            “Wis, aku bisa minta tolong? Datanglah kemari! Kalau bisa sewakan mobil! Bolehkan aku membawa ibu ke rumah nenekmu?”

            “Memangnya ada apa Seruni?” tanyanya terdengar khawatir.

            “Sudahlah, nanti kamu akan tahu. Yang penting cepat sewakan mobil ya!” pintaku tak sabar.

            Bu Marni menolak mengikuti aku dan ibu. Meski dia sangat shock. Dia bilang tidak berani meninggalkan rumah itu karena dia memegang amanah. Aku membenarkan dia. Bahkan Bu Marni rela jika Bu Kades akan marah kepadanya gara-gara membela aku dan ibu.

            Bu Kades masih belum berhenti bicara saat sebuah mobil memasuki halaman. Sebentar kemudian mobil diparkir di dekat pohon beringin. Wisnu segera turun dan menemui aku. Sedangkan sopirnya tampak berbicara dengan sopir Bu Kades yang sejak tadi tiduran di kursi panjang di bawah pohon itu.

            “Wis, tolong aku!” pintaku sebelum Wisnu sampai di depanku.

Wisnu mempercepat langkahnya. Agaknya dia tahu kode-kodek agar dia membantu memapah ibu ke mobil yang dibawanya. Aku bersalaman dengan Bu Marni yang sesenggukan sambil mengelus punggung ibu. Aku bersyukur ibu tampak semakin sehat fisik dan pikirannya. Dia sempat berpamitan kepada Bu Marni. Matanya berkaca-kaca. Sepertinya dia paham benar akan semua yang terjadi.

            “Ma, kita naik mobil itu ya,” bisikku lirih sambil menunjuk ke arah mobil yang diparkir.

            Dia mengangguk pelan. Diusapnya sisa air mata yang masih membasah di pipiku. Lalu kakinya tampak semakin kuat ketika harus melewati hamparan rumput menghijau. Meski begitu, aku dan Bu Marni tetap memapahnya sampai dia duduk di jok mobil. Dia memilih di bagian tengah. Kutatap mata sayunya sambil kukembangkan senyum padanya.Kusembunyikan gejolak hati karena emosi telah mempermainkan.Tak kupedulikan baju-bajuku dan baju ibu yang tetap berserak di halaman menutup sebagian taman rumput yang berada di dekat pintu. Bu Marni melangkah keluar dari mobil saat sang sopir menghidupkan mesin. Dia harus kembali ke rumah itu dengan menanggung segala risiko. Menghadapi dua wanita cantik yang lenyap kecantikannya karena tak punya hati.

            “Bu, saya sama Ibu pamit ya. Bu Marni baik-baik di sini. Jangan pikirkan kami. Bu Marni, kami akan lebih tenang di rumah nenek Wisnu,” kataku kubisikkan di dekat telinganya saat aku memeluknya erat. “Terima kasih, atas semua kebaikan Bu Marni.”

            Sekuat apa pun aku menahan genangan air mata, ternyata tumpah juga  ketika Bu Marni tidak mau melepas pelukanku. Sedunya membuat badannya terguncang. Semakin erat saja kedua tangan rentanya memelukku.

            “Sudah Bu, kasihan Ibu. Biarlah dia segera istirahat di rumah kos. Nenek Wisnu juga baik. Insyaallah, dia akan menerima ibu sepenuh hati.”

            Perlahan kami melepas pelukan. Lalu Bu Marni mengelus tangan ibuku. Air matanya semakin tumpah-ruah. Setelah itu, dia mundur dan berdiri di dekat rerimbunan bunga bungur. Kulepas wanita yang seumur hidupnya mengadikan diri di rumah besar ini serupa melepas mahkota-mahkota berwarna ungu yang berserak menutup tanah di bawah pohon bungur. Ikhlas, tapi tetap kupikirkan keberadaannya.

                                               

                                                                        Bondowoso, 6 Juli 2022

 

 



Entri yang Diunggulkan

Puisi-Puisiku

  Puisi-Puisiku Oleh: Khatijah   1.        MENDEKAP HARAP Kupatahkan ragu di tiang rapuh Menjaga rasa cita pada setia Di cadas lin...