Tembang di Kaki Bukit Part 103
Tembang di Kaki Bukit
Part 103
Oleh: Khatijah
Kening
Bu Kades mengernyit hingga garis-garisnya tampak nyata. Bola matanya menajam.
Suaranya melengking. Tergambar kepongahan menguasai jiwanya. Rasanya dia ingin
bicara bahwa tak ada lagi orang yang berkuasa di rumah ini.
“Kata
Bu Marni itu benar. Ibuku yang sekarang juga berada di rumah ini adalah pemilik
resmi rumah yang bertahun-tahun Bu Kades tinggali. Bu Kades coba pikir, ayah
kan menikahi ibuku sebelum bertemu Bu Kades. Hanya karena nasib saja ibuku
harus berpisah dengan ayah. Ketika kakek dan nenekku meninggal hanya Bu Marni
yang ada di sini karena ibuku harus ikut suaminya dan dalam kondisi jiwanya
tergoncang. Maka Bu Marni meminta ayah turut menjaga rumah ini sampai saya
dewasa. Begitu kan Bu Marni?” Aku mencoba memberikan penjelasan seperti yang
pernah disampaikan oleh Bu Marni dan ayah kepadaku beberapa bulan yang lalu.
“Hebat,
kamu anak manis! Pandai sekali kamu mengarang cerita. Jadi, menurutmu ini milik
kakek nenekmu, makanya ibumu juga enak-enakan di sini.” Bu Kades menyahut
dengan cepat seraya berdiri dan melangkahkan kakinya ke ruang dalam. Sementara,
menantunya sempoyongan dan mengikuti di belakang. Buru-buru aku mendahului
mereka. Kedua tanganku kurentangkan sebagai usaha untuk mencegah mereka masuk
ke kamar ibu. Tak bisa kubayangkan apa yang akan terjadi pada ibu jika dua
wanita itu menemukannya. Bu Marni hanya bisa berteriak-teriak di belakang
mereka. Dia mencoba menghalangi dengan ucapan-ucapannya. Namun, pendengaran Bu
Kades dan menantunya seolah sudah tertutup rapat. Mereka terus menerobos. Tubuhnya
yang berbalut emosi meledak, berhasil menyingkirkan aku.
Tahu
benar bahwa hanya ada satu kamar utama yang biasa dia tempati. Ke tempat itu
dia melanjutkan langkahnya. Tanpa permisi dia langsung membuka pintu dengan
kasar. Aku berusaha mendorongnya agar tidak bisa masuk, tapi kekuatan fisik tak
berimbang. Meski dia telah berumur, tapi dia lebih kuat untuk balik mendorongku
hingga aku tersungkur.
Aku
merasakan sakit luar biasa di dada kiriku. Sebuah kursi kayu yang berada di
dalam kamar tertimpa tubuhku. Aku meringis kesakitan. Namun, semua kutahan saat
Bu Kades mamaksa ibu dengan menyeretnya ke luar kamar. Secepat kilat kusambar
tubuh ibu dan kupeluk erat. Bu Marni hanya terpana menyaksikan keberingasan Bu
Kades.
“Jangan
Bu, tolong jangan perlakukan Jeng Suni seperti ini. Kasihan dia,” tangis Bu
Marni sambil berusaha menghalanginya.
Bu
Kades tak memedulikan. Terus saja dia membuka almari dan mengambil baju-baju
ibu dan bajuku. Entah kekuatan apa yang membuatnya jadi beringas. Baju-baju itu
dibawanya keluar dan sebagian kocar-kacir di lantai sepanjang dia lewat.
Bibirnya tidak berhenti berbicara. Tak jelas apa yang dibicarakan. Sedangkan
wanita muda yang bernama Thalia tidak turut serta membuang baju-baju itu ke
luar. Barangkali dia sudah capai membawa perutnya, dia hanya mengawasi aku dan
ibuku yang mencari tempat aman.
Dengan
air mata yang terus berderai, Bu Marni membantu memapah ibu. Wanita ini
mengajak ibu menuju ke kamar belakang. Namun, belum sampai masuk ke dalam
kamar, Bu Kades mendorong kami. Lagi-lagi aku jatuh tersungkur karena aku tetap
menahan tubuh ibu agar tidak jatuh. Bersyukur Bu Marni bisa mengelak sebelum
tangan-tangan kokoh Bu Kades beraksi.
Aku
mengambil keputusan sendiri. Tak ingin ibuku makin goyah pikirannya, kutelepon
Wisnu. Sahabat sekaligus sepupuku dari bapak dan ibu yang mengasuh dan
membesarkanku di desa.
“Wis,
aku bisa minta tolong? Datanglah kemari! Kalau bisa sewakan mobil! Bolehkan aku
membawa ibu ke rumah nenekmu?”
“Memangnya
ada apa Seruni?” tanyanya terdengar khawatir.
“Sudahlah,
nanti kamu akan tahu. Yang penting cepat sewakan mobil ya!” pintaku tak sabar.
Bu
Marni menolak mengikuti aku dan ibu. Meski dia sangat shock. Dia bilang tidak berani meninggalkan rumah itu karena dia
memegang amanah. Aku membenarkan dia. Bahkan Bu Marni rela jika Bu Kades akan
marah kepadanya gara-gara membela aku dan ibu.
Bu
Kades masih belum berhenti bicara saat sebuah mobil memasuki halaman. Sebentar
kemudian mobil diparkir di dekat pohon beringin. Wisnu segera turun dan menemui
aku. Sedangkan sopirnya tampak berbicara dengan sopir Bu Kades yang sejak tadi
tiduran di kursi panjang di bawah pohon itu.
“Wis,
tolong aku!” pintaku sebelum Wisnu sampai di depanku.
Wisnu mempercepat langkahnya. Agaknya dia tahu kode-kodek
agar dia membantu memapah ibu ke mobil yang dibawanya. Aku bersalaman dengan Bu
Marni yang sesenggukan sambil mengelus punggung ibu. Aku bersyukur ibu tampak
semakin sehat fisik dan pikirannya. Dia sempat berpamitan kepada Bu Marni.
Matanya berkaca-kaca. Sepertinya dia paham benar akan semua yang terjadi.
“Ma,
kita naik mobil itu ya,” bisikku lirih sambil menunjuk ke arah mobil yang
diparkir.
Dia
mengangguk pelan. Diusapnya sisa air mata yang masih membasah di pipiku. Lalu
kakinya tampak semakin kuat ketika harus melewati hamparan rumput menghijau.
Meski begitu, aku dan Bu Marni tetap memapahnya sampai dia duduk di jok mobil.
Dia memilih di bagian tengah. Kutatap mata sayunya sambil kukembangkan senyum
padanya.Kusembunyikan gejolak hati karena emosi telah mempermainkan.Tak
kupedulikan baju-bajuku dan baju ibu yang tetap berserak di halaman menutup
sebagian taman rumput yang berada di dekat pintu. Bu Marni melangkah keluar
dari mobil saat sang sopir menghidupkan mesin. Dia harus kembali ke rumah itu
dengan menanggung segala risiko. Menghadapi dua wanita cantik yang lenyap
kecantikannya karena tak punya hati.
“Bu,
saya sama Ibu pamit ya. Bu Marni baik-baik di sini. Jangan pikirkan kami. Bu
Marni, kami akan lebih tenang di rumah nenek Wisnu,” kataku kubisikkan di dekat
telinganya saat aku memeluknya erat. “Terima kasih, atas semua kebaikan Bu
Marni.”
Sekuat
apa pun aku menahan genangan air mata, ternyata tumpah juga ketika Bu Marni tidak mau melepas pelukanku.
Sedunya membuat badannya terguncang. Semakin erat saja kedua tangan rentanya
memelukku.
“Sudah
Bu, kasihan Ibu. Biarlah dia segera istirahat di rumah kos. Nenek Wisnu juga
baik. Insyaallah, dia akan menerima ibu sepenuh hati.”
Perlahan
kami melepas pelukan. Lalu Bu Marni mengelus tangan ibuku. Air matanya semakin
tumpah-ruah. Setelah itu, dia mundur dan berdiri di dekat rerimbunan bunga
bungur. Kulepas wanita yang seumur hidupnya mengadikan diri di rumah besar ini
serupa melepas mahkota-mahkota berwarna ungu yang berserak menutup tanah di bawah
pohon bungur. Ikhlas, tapi tetap kupikirkan keberadaannya.
Bondowoso,
6 Juli 2022