Kamar 115 Part 2
Kamar
115
Part
@2
Oleh:
Khatijah
Udara
dingin menelusup ke dalam pori-pori. Aku menyilangkan dua tangan di dada untuk
sekadar mengurangi gigil yang terasa. Perlahan kabut putih yang beberapa menit
menutup pandangan, mulai menipis. Mataku jauh memandang ke atas pucuk bukit di
kejauhan. Sinar lembut matahari yang baru saja muncul, menyelimuti kerucutnya menjadi
kian jelas. Pikiranku masih tidak beranjak dari kejadian semalam. Aku belum
bisa memberikan kesimpulan, apakah yang dialami Winda merupakan mimpi atau
sebuah halusinasi? Atau memang benar-benar ada jin yang mengganggunya?
Batinku
menilai Winda. Sepertinya gadis cantik itu tidak berbohong. Pikiranku mulai
memercayai apa yang diceritakannya. Lagi pula kalau tidak mengalami kejadian sesungguhnya,
tidak mungkin wajahnya akan sepucat itu. Tangannya tidak mungkin akan bergetar keras.
Peluhnya tidak akan bercucuran, di saat tengah malam yang diguyur hujan. Lalu
aku meraba tengkuk yang tiba-tiba merinding.
“Tri,
ngapain di situ?”
Dadaku
berdebar kencang. Aku tekejut. Kucari arah suara. Legalah hatiku. Tampak di
bawah, dua temanku Lana dan Winda. Mereka melambaikan tangan ke arahku yang
berdiri di posisi lebih tinggi dari hotel tempat kami menginap.
“Ke
sini! Pemandangannya bagus,” panggilku sambil menunjuk ke arah deretan bukit-bukit
yang memanjang dari timur ke barat.
“Capek.”
Terdengan suara Lana menyahut.
Kuabaikan
mereka yang tidak mau melanjutkan perjalanan sampai ke tempatku berada. Kumaklumi
saja. Memang untuk mencapai tempat ini, memerlukan energi lebih. Jalan sempit yang
aspalnya sudah rusak berat ini hanya cukup dilewati satu mobil. Di samping itu,
kondisinya begitu menanjak. Bagi yang jarang berolahraga, kupastikan napasnya
akan ngos-ngosan. Entahlah, apa yang membawaku sampai di sini. Aku juga heran. Semula
aku hanya ingin jalan-jalan pagi sambil mencari sinyal. Sebab sinyal di tempat
ini sangat buruk. Semenit muncul, beberapa jam tenggelam.
Telingaku
sempat menangkap suara banyak orang. Aku yakin mereka itu peserta pelatihan
yang mau jalan-jalan pagi sambil menunggu matahari terbit. Jadi, kupaksakan
diriku yang masih kedinginan untuk mengikuti mereka. Aku pun keluar kamar. Sementara
Winda dan Lana masih antre ke kamar mandi. Namun, sampai sejauh ini kakiku
melangkah, tak satu pun kutemui seorang pun. Yang ada hanya sunyi melengang di
antara vila-vila kosong yang nyaris tenggelam oleh rerumputan menjulang.
“Tri,
turun! Waktunya sarapan!” Terdengar suara Winda memanggil.
Kulirik
jam di ponselku. Memang benar, sudah pukul enam pagi. Belum mandi dan sarapan.
Padahal acara akan dimulai pukul tujuh. Aku pun bergegas akan meninggalkan
tempat itu.Pelan-pelan kakiku melangkah menuruni jalanan berbatu karena aspalnya
sudah rusak dilibas air saat musim penghujan.
“Tunggu!”
teriakku sambil terus menapakkan kaki dengan hati-hati.
Mereka
tidak menjawab, tapi tampaknya menungguku. Oleh karenanya, aku berusaha
berjalan agak cepat. Anehnya, aku sudah mengerahkan seluruh tenaga, tapi
jalanku sangat lambat. Serasa ada yang menahan kakiku agar tidak melangkah. Aku
menengok ke kiri dan ke kanan. Tidak ada siapa-siapa. Hanya desir angin lewat
di belakang telinga, dingin dan membuat bulu kudukku lagi-lagi meremang.
Aku
mencoba mencari celah di antara rerimbunan semak-semak untuk melihat keberadaan
Lana dan Winda. Namun, mereka tidak tampak. Selain posisinya masih jauh di
bawah, pohon-pohon perdu di sepanjang kanan kiri jalan menghalangi pandangan.
Setelah
sampai di jalan yang lumayan bagus dan tempatnya agak datar, aku buru-buru
berlari agar segera mencapai Lana dan Winda. Aku ingat mereka tadi berada tidak
jauh dari tempat ini. Tandanya ada pohon dadap yang bunganya merah merona.
“Winda!
Lana!” teriakku berulang-ulang.
Tidak
satu pun dari mereka yang menyahut. Mereka tentu tidak sabar dan sudah
meninggalkan tempat ini, pikirku. Aku mempercepat langkah. Beberapa menit
kemudian, sampailah aku di depan kamar yang kami tempati. Tanpa mengetuk pintu,
aku pun masuk. Alangkah kagetnya aku karena Winda dan Lana sudah berselimut
sambil bermain HP.
“Loh,
kalian kok cepet banget sih?” tanyaku keheranan.
“Maksudmu
apa Tri, cepet apanya? Sejak selesai salat subuh aku dan Winda gak ke
mana-mana. Cuma tiduran gini,” jawab Lana sambil terus melihat layar ponselnya.
“Jadi?”
Bondowoso, 17 Februari 2023