Foto: Koleksi Pribadi
Air
Mata Emak
Oleh:
Khatijah
Gerimis
belum juga reda. Rinainya justru menjadi lebih kerap dan lebih keras. Emak memandangi
langit. Warna abu-abu yang menggantung memenuhi ruangan besar itu menutup warna
lazuardi. Degup jantung Emak semakin kencang. Wajah keriputnya berbalur rona
cemas tak berkesudahan.
“Kenapa
belum juga datang. Sebentar lagi hujan deras,” keluhnya sambil menatap jalan
kecil tak beraspal di depan rumahnya yang entah berapa ribu kali dia lakukan.
Wanita
berumur itu bernapas panjang. Di telinganya masih terngiang ucapan putri semata
wayangnya, Rahmi. Anak perempuannya itu berjanji akan datang hari ini. Katanya
dia akan berlibur dari pekerjaannya. Sudah tak terhitung jumlah tahunnya, dia
tidak pulang menjenguk ibunya yang sudah renta. Sibuk, tidak mendapatkan izin
dari atasan, merupakan alasan yang selalu diucapkan kepada orang tuanya. Berita
kedatangannya ke kampung kali ini akan menjadi pengobat rindu Emak.
Emak
masih menunggu. Gundahnya kian meriuh. Perasaannya berbicara, jangan-jangan ada
sesuatu yang membuat Rahmi belum juga datang. Berkali-kali dia menatap langit
yang semakin hitam seraya merapal doa buat keselamatan putrinya.
Dibukanya
tudung saji yang menutup makanan hasil memasaknya sejak subuh. Sayur brongkos,
tahu dan tempe bacem, serta sambel bajak sudah tersaji di meja makan sederhananya.
Terbayang, Rahmi menyantapnya dengan lahap. Buru-buru dia menyingkirkan beberapa
ekor semut yang hampir saja mengerubuti makanan kesukaan anak semata wayangnya
itu.
“Emak, Selamat Hari Ibu ya, Mak.” Sebuah ucapan tiba-tiba
mengawali videocall melalui ponsel
milik Wanda, anak tetangga sebelah.
Emak mengusap peluh di keningnya saat mendengar ucapan
itu. Sebab dia tidak begitu tahu apa itu Hari Ibu. Sebenarnya bukan ucapan itu
yang dia mau. Keinginan terbesarnya hanyalah memandang wajah Rahmi, memeluk,
dan membelai rambutnya serupa yang selalu dia lakukan sejak Rahmi masih kecil.
Dia ingin meluapkan perasaan rindunya yang tersimpan sejak lama. Kerinduan yang
nyaris mengalahkan sebuah ucapan yang baru saja didengarnya. Lebih-lebih saat
Rahmi membatalkan janji untuk hadir di pelukannya
“Jadi, kamu gak jadi pulang, Nduk?” tanya Emak di sela-sela derai air matanya.
“Maafkan Rahmi, ya Mak! Ternyata Rahmi tidak mendapatkan
izin. Ini akhir tahun, Mak. Pekerjaan di kantor sangat membutuhkan Rahmi. Emak
tunggu Rahmi, di awal tahun saja, ya!”
Ucapan
Rahmi bagai petir menyambar dan memburaikan air mata Emak. Wanita berumur itu,
tak bisa berkata-kata. Dia hanya diam membisu sambil memandangi wajah putrinya.
Ditumpahkannya rindunya lewat gawai di gemetar tangannya. Ingin sekali dia
meraihnya dan tidak akan melepaskan dari dekapannya. Namun, jarak yang
membentang menjadi penghalangnya.
“Sudah
ya, Mak. Rahmi buru-buru mau ke kantor.” Rahmi mengakhiri panggilan videonya.
Emak
hanya mengangguk. Tak mampu bibirnya mengucap kata-kata. Sepenggal doa menggema
di dalam hatinya. Dia mohonkan ampun kekeliruan anaknya. Seperti pinta untuk kesehatan
dan keselamatan yang selalu menjadi bagian di setiap akhir sujudnya. Meski dia
belum juga bisa bertemu dengan jantung hati belahan jiwa, tapi kasih sayangnya
tak lekang. Derai air mata membersamai derai hujan yang kian deras.
Sebulan
Emak menggantung harapan. Kedatangan putri semata wayangnya tak lepas dari
mimpinya. Sehari, dua hari, seminggu, dua minggu, tahun baru tak henti menapaki
tangga waktu. Namun, Rahmi tak juga datang. Kesibukan di kota besar tidak
memberinya peluang menyemai cinta di hati wanita yang telah mengukir jiwa
raganya. Hingga penyesalan datang saat sebuah berita memintanya pulang dan
harus pulang. Namun, tangan renta itu tak lagi bisa memeluk dan membelainya.Tumpahan
air mata menjadi sia-sia. Hanya kesunyian menyambut. Didekapnya erat-erat
sebuah nisan di atas gundukan tanah merah yang masih basah. Sesalnya menjerit,
meratapi waktu yang membelenggu. Gerimis yang menyiramnya menjadi pengingat air
mata wanita tua, air mata Emak. Di bawah nisan itu, terbaring jasadnya. Tak
henti berharap taburan doa. Menanti dan menanti.
Jember,
28 Desember 2022
Rahmi ini kerja di kantor apa ya. Kok terkesan begitu sulitnya utk bisa pulang kampung menengok Emaknya. Itu penting utk menjustifikasi ketidakpulangan Rahmi.
BalasHapusTerima kasih atas komentarnya, Bapak. Siap belajar dan terus belajar.
HapusWoouw keren bu
BalasHapusTerima kasih supportnya ya..
HapusSaya berpikir positif saja, mungkin bisa saja pulang, hanya, jeda waktu antara datang dan keharusannya bekerja membuat Rahmi memutuskan untuk tidak pulang. Saya kira ucapan Rahmi mewakili tanpa harus dirinci. Tidak mengapa, Bu. Konfliknya sudah dapat. Hanya, ending sudah sangat biasa. Maaf.
BalasHapusTerima kasih Bapak.. Masukan yang sangat bermanfaat..
HapusCerita mantap! Terimakasih mengingatkan saya. Selagi Emah masih ada, mo bener-bener sayang ah, bismillah.
BalasHapusTerima kasih apresiasinya, Ibu
HapusBu khatidjah jos tenan
BalasHapusTerima kasih supportnya, Bapak
HapusJudulnya sama dengan cerpen saya... Sama2 punya emak. Cuman belum lolos di media online. Hehehe
BalasHapusLanjooot...
O begitu... Terima kasih hadir dan komennya ya..
HapusSedih sekali membacanya.. Rahmi pasti terpukul, merasa bersalah, mestinya mengutamakan ibunya daripada aktifitas kantornya.. namun apa boleh buat, nasi sudah jadi bubur. Berharap saja semoga tulisan ini jadi pelajaran.orang tua is the best.
BalasHapusTerima kasih atas komentarnya... menjadi support bagi saya untuk terus menulis..
Hapus