Minggu, 29 Januari 2023

Buah Manis Sebuah Perjuangan (Resensi Buku)

 





Buah Manis Sebuah Perjuangan

(Resensi Buku)

Oleh: Khatijah

 

Judul Buku: Ranah 3 Warna

Jenis Buku: Novel

Pengarang: A. Fuadi

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Kompas Gramedia

Cetakan: Ketiga belas, Oktober 2021

ISBN: 978-979-22-6325-1

Tebal: 469 halaman

            Nama Ahmad Fuadi terasa tidak asing bagi penggemar novel tanah air. Laki-laki yang lahir di Bayur, kampung kecil di pinggir Danau Maninjau, Sumatera Barat tahun 1972 ini, terkenal dengan buku pertamanya yang berjudul Negeri 5 Menara, dengan mengusung kalimat bahasa Arab “man jadda wa jada”. Sebagai seorang alumni Pondok Modern Gontor, “mantra” yang diperoleh dari gurunya itu menjadi pegangan setiap dia melangkah. Rupanya kalimat yang artinya ”Barang siapa yang bersungguh-sungguh, pasti berhasil”, benar-benar membawanya menjadi orang yang sukses. Menjadi wartawan majalah tempo adalah hal yang digeluti setelah lulus kuliah Hubungan Internasional, UNPAD. Tahun 1999 dia mendapat beasiswa untuk kuliah S-2 di School of Media and Public Affairs, George Washington University, USA. Hebatnya, dia adalah orang yang selalu bersemangat melanjutkan sekolah dengan mencari beasiswa. Hingga akhirnya 8 beasiswa untuk belajar ke luar negeri diraihnya.  Man jadda wa jada” benar-benar menjadikan dia sukses meraih impiannya.  Kesuksesan itu juga dapat dilihat dari  novel pertamanya “Negeri 5 Menara’ dan disusul novel kedua yang berjudul “Ranah 3 Warna”. Bahkan kedua buku ini sukses difilmkan, selain laris manis di pasaran dalam bentuk buku cetak dan digital.

            Membaca novel “Ranah 3 Warna” sama halnya dengan  menyaksikan film berdurasi panjang tentang perjalanan kehidupan seorang pemuda bernama Alif Fikri yang penuh mimpi dan cita-cita. Sabar adalah senjata yang dipegang dalam menggapai mimpinya. Hingga akhirnya pemuda asal Maninjau Sumatera Barat ini, bisa berkelana ke Bandung, Amman, dan Saint Raymond di Provinsi Quebec, Kanada dalam ranah yang berbeda. Inilah yang menjadi gambaran makna judul Ranah Tiga Warna.  Semangat juang dan kesabaran merupakan dua hal yang tidak pernah ditinggalkan dalam setiap langkah hidupnya. Digambarkan dalam novel ini bahwa sebuah impian harus benar-benar dikejar dan diperjuangkan. Tidak gampang menyerah dan harus dilakukan dengan segenap kesungguhan. Menuai kesuksesan itu tidak serta-merta, tetapi perlu proses yang penuh dengan halangan dan rintangan. Semangat dan perjuangan berdarah-darah perlu dilakukan untuk menyingkirkan hambatan tersebut.

             “Ranah 3 Warna” merupakan novel yang berisi kisah lanjutan tokoh Alif Fikri dalam novel “Negeri 5 Menara”. Diceritakan pada bagian awal novel ini bahwa selepas dari pondok, Alif masih tetap bermimpi menjadi seperti Habibie, berkuliah bahkan sampai ke luar negeri. Hinaan dan cemoohan pun datang bertubi-tubi. Randai seorang temannya, menyangsikan keberhasilan Alif. Cibiran selalu dilontarkan bahwa Alif  tidak mungkin bisa lulus UMPTN. Namun, cemoohan itu justru menjadi cambuk. Tentu saja tidak mudah bagi seorang Alif yang bukan lulusan SMA untuk mengejar ketinggalannya. Padahal, setiap perjalanan panjang selalu dimulai dengan langkah pertama.

Tidak ada yang tidak mungkin. Berkat pertolongan ayahnya dia bisa mengikuti ujian persamaan SMA.Tidak cukup dengan itu, tapi belajar keras untuk mempersiapkan diri mengikuti UMPTN dilakukan  dengan tidak biasa-biasa saja. Dia yakin bahwa usaha yang melebihi rata-rata seperti yang ditanamkan oleh gurunya di Pondok Madani, akan membuatnya sukses. Gelora semangat yang dibarengi dengan kegigihan usahanya, akhirnya mewujudkan impian pertamanya tercapai, lulus UMPTN.          

Konflik-kinflik yang dibangun dalam novel ini begitu rapat dan kompleks. Impian demi impian muncul begitu deras di pikiran Alif ketika dia sudah memasuki dunia kuliah di salah satu perguruan tinggi di Bandung. Impian-impian itu berjalan seiring hadirnya masalah-masalah baru yang mengiringi. Keinginan menjadi seorang penulis merupakan salah satu konflik batin yang dialami oleh tokoh ini. Betapa dia kecewa dengan hasil tulisannya yang selalu ditolak oleh media. Namun, dia tidak patah semangat dengan berkali-kali gagal, berkali-kali pula dia berusaha menakhklukan rintangan.

            Kegagalan dan kesuksesan silih berganti. Banyak rona-rona yang menghambat sebuah mimpi. Kondisi eknomi dalam titik terendah tidak jarang dialami oleh seseorang. Dalam novel ini rupanya Ahmad Fuadi ingin memberikan motivasi bahwa kondisi seburuk apa pun, dapat dilewati, asalkan tertanam kesabaran dalam diri. Tentu saja harus melalui berbagai cara sebagai bentuk perjuangan seperti yang digambarkan melalui tokoh ceritanya, Alif. Keterpurukan itu dialami oleh Alif ketika ayahnya meninggal dunia sedangkan ibunya masih harus membiayai kuliah Alif dan dua adiknya di kampung. Banyak usaha yang dijalani Alif demi menyambung hidup di perantauan dan tidak gagal kuliahnya. Mulai dari berjualan dagangan orang yang ditawarkan dari pintu ke pintu, sampai malang melintang berusaha sukses pada dunia menulis. Itu semua dilakukan agar dia bisa mandiri dan tidak memberatkan ibunya.

Tangguh, ulet, dan tidak mudah menyerah, itulah Alif. Usaha yang dilakukan dengan sepenuh hati dan sanggup bersabar mampu meluluskan ujian yang begitu berat. Begitulah, pengarang buku ini menanamkan “mantra” keduanya “man shabara zhafira”. Sebuah kalimat yang mampu memotivasi bahwa orang yang sabar maka dia yang beruntung.

Konflik pedih juga dialami Alif ketika dia hampir lolos mengikuti ujian pertukaran pemuda dengan luar negeri. Luar negeri yang menjadi mimpinya sejak lama. Namun, tidak mudah mewujudkan impian itu. Ada satu ujian praktik tentang seni yang membuatnya nyaris gagal meskipun ujian tulis sudah lulus. Kemampuannya di bidang menari dan menyanyi memang sangat lemah, tidak sama dengan temannya Randai dan Raisa. Meskipun dia berlatih sekuat tenaga, tapi hasilnya tetap mengecewakan. Lalu dia teringat akan ajaran Kiai Rais di Pondok Madani tentang filosofi dua golok yang satu tajam mengkilat sedangkan golok satunya tumpul dan karatan. Keduanya sama-sama digunakan untuk memotong sebuah tongkat kayu. Ketika sang kiai mengayunkan golok tajamnya ke arah kayu itu, tanpa melihat dengan fokus dan dengan tenaga sekadarnya, tidak serius dan tidak sepenuh hati, hasilnya golok meleset dan tongkat tidak putus. Selanjutnya dia mengambil golok yang karatan. Kali ini wajah Kiai Rais sangat serius. Dengan segenap perasaan dan kecepatan tinggi diarahkan golok itu ke arah tongkat kayu. Hasilnya pun sama, tidak putus. Lalu dia mengangkat tangannya lagi dan menghajar bertubi-tubi dengan sekuat tenaga, tapi belum juga putus. Dengan kesabaran Kiai Rais terus mengayunkan tangannya menghajar tongkat berkali-kali dengan tekun, barulah berhasil mematahkan tongkat itu. (Halaman 195)

Dapatlah diambil makna dari peristiwa dua golok itu, bahwa orang yang dikaruniai bakat hebat dan kecerdasan, tanpa diikuti dengan usaha keras, ketekunan sepenuh tenaga, dan niat maka mimpinya tidak akan tercapai. Berbeda dengan orang yang memiliki bakat biasa-bisa saja dan otak tidak cemerlang, tapi kalau mau bekerja keras, tidak pernah lelah memperjuangkan kesuksesan, mau mengulang dan mengulang dengan serius, akhirnya keberhasilan akan menyertai. Itulah yan menjadi dasar Alif untuk memperjuangkan mimpinya yang tinggal seujung jari. Meski penampilannya menari dan menyanyi gagal, dia tidak pantang menyerah. Dia mencoba menjual keahlian yang tidak dimiliki peserta lain, yaitu menulis. Dia sodorkan setumpuk kliping tulisan-tulisannya yang pernah dimuat oleh media. Dengan jalan itu, akhirnya dia sukses menjadi salah satu pemuda Indonesia yang terpilih ke luar negeri.  

            Perasaan cinta terhadap orang tua, tanah kelahiran, dan negaranya tampak benar digambarkan ketika Alif menjadi duta bangsa di Quebeck Kanada. Bahwa sesukses apa pun, di mana pun dia berada, tetap saja bangga dengan tanah airnya, Indonesia. Kebanggaan terhadap tanah airnya diwujudkan dengan berperilaku baik, bekerja keras, dan berusaha berprestasi mengalahkan pemuda negara lain. Bahkan rasa cinta terhadap budaya tetap melekat di hatinya sekalipun dia berada di luar negeri yang menjadi impiannya.

            Kepiawaian pengarang dalam mendiskripsikan setting, membuat saya seakan-akan turut berpetualang di Danau Maninjau yang elok, Kota Bandung yang sejuk, Kota Amman di Jordania, dan Saint Raymond di Provinsi Quebeck, Kanada. Keindahan salju yang datang saat musim dingin tiba seolah ikut kurasakan. Demikian juga dengan musim gugur dan musim semi. Tidak hanya itu, kehebatan seorang Ahmad Fuadi sebagai pengarang novel ini sangat pandai dalam membangun konflik-konflik  dan  menggambarkan karakter tokoh.

Novel bermuatan multi pesan inilah yang membuat saya ingin terus membuka lembar demi lembar untuk menuntaskan membaca hingga akhir cerita. Semangat yang tertanam di dalam jiwa pengarang melalui tokoh utamanya Alif ini seolah mengalir juga di aliran darah saya.  Hal ini tidak terlepas dari latar belakang pengarang. Dengan POV orang pertama tampak benar bahwa banyak peristiwa dalam novel ini yang terinspirasi dari pengalaman pengarang.

            Kesuksesan, mimpi, dan harapan memang sudah diraih Alif, tapi bukan berarti tidak ada yang gagal. Cinta yang merupakan masalah universal, belum bisa diraihnya. Di situlah kekalahan Alif. Dia terlalu berhati-hati merawat rasa buat temannya, Raisa. Rencana yang sudah tertulis di selembar kertas harus gagal disampaikan karena Randai terlebih dahulu melamarnya.

            Ada sebuah pesan menarik yang perlu menjadi bahan renungan bahwa hidup itu masalah penyerahan diri. Siapa pun yang yang mewakilkan urusannya kepada Tuhan, maka Dia akan mencukupkan semua kebutuhan kita. (Halaman 35)

            Begitu sarat nilai-nilai yang dapat kita petik dari novel yang ditulis dengan bahasa yang mengalir deras dengan diksi-diksi yang indah ini. Nilai moral, budaya, sosial, agama, dan cinta tanah air melingkupi novel ini. Membaca novel ini, tidak hanya membuat saya terhibur, tapi menumbuhkan semangat luar biasa. Liku-liku perjalanan yang dimulai dari sebuah mimpi dan akhirnya mimpi itu berhasil diraih, sangat menginspirasi. Man shabara zhafira, kesabaran merupakan senjata yang pantas ditanamkan di jiwa ini. Lebih tepat lagi jika novel ini dibaca oleh anak-anak muda yang masa depannya masih panjang. Mereka bisa mencontoh hebatnya perjuangan seorang Alif sebagai tokoh di dalam novel ini. Pemuda yang tangguh, penuh semangat, dan tidak mudah menyerah dalam menggapai impiannya. Impian yang diperoleh tahap demi tahap dengan mengalahkan berbagai tantangan. Itulah kehebatan novel ini. Sedangkan kekurangannya hampir tidak ditemukan dalam novel ini.

                                                              

                                                                   Peresensi

                                                                  Khatijah

 


Khatijah dilahirkan di Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Bondowoso Jawa Timur  menjadi tempat tinggal sejak menjadi guru di SMPN 1 Tapen. Ada 10 buku karya tunggalnya: Sekeping Rindu (Kumpulan Cerpen: 2020), Selendang Merah Jambu (Novel: 2020), Rinduku di Antara Bunga Ilalang (Novel: 2020), Sejingga Rembulan (Novel: 2021), Puspa Indah Telaga Rindu (Kumpulan Cerpen: 2021), Anyelir Merah Darah (Novel: 2022), Seikat Mawar Ungu (Kumpulan Cerpen: 2022). Elegi di Kaki Bukit (Novel: 2023), Aneilese (Novel:2023), Pusi dan Kupu-Kupu (Cernak: 2023).Penulis pernah meraih predikat pemenang kedua penulis buku fiksi terbaik pada Lomba Temu Nasional Guru Penulis MediaGuru tahun 2022 di Jakarta. Dia juga berkontribusi 38 buku Karya Antologi.

 

4 komentar:
Write Comments



Entri yang Diunggulkan

Puisi-Puisiku

  Puisi-Puisiku Oleh: Khatijah   1.        MENDEKAP HARAP Kupatahkan ragu di tiang rapuh Menjaga rasa cita pada setia Di cadas lin...