Berpayung
Meniti Hujan
Oleh:
Khatijah
Tatap
mata itu kian tidak kulupa, kala sepuisi hujan menebar rintik di antara
melati-melati putih bermekaran. Seirama cepatnya detak jantung, kian deras
butiran air menciptakan genangan-genangan lalu menjeladri. Mengharuskan aku
terhenti menapaki jalanan sunyi. Duduk berteduh di sebuah halte tua tanpa sapa
denganmu yang punya alasan sama. Hanya pandang mata yang menyirat rasa tidak
tentu arti.
Aku
melirikmu saat kau petik melati putih yang basah oleh siraman hujan. Lalu kau
mainkan di halus jari tanganmu yang pucat karena dingin telah menyergap. Iba hati
saat tahu kau makin pupus berharap bisa melanjutkan perjalanan. Kukemas hatiku
agar berani bertegur sapa sebatas ingin tahu siapa dirimu. Meski perasaan melarang
sebab kau selalu merunduk, serasa takut menatap ke arahku.
Aku
tidak berpanjang kata. Kutawarkan jasa mengantarmu saat hujan semakin deras di
antara waktu yang terus berlalu. Gelap kian pekat. Sesekali tampak tali api
membelah langit diriringi gemuruh dan petir menyambar. Menebar gundah saat hati tidak kuasa menimang semerbaknya, menebarkan
rasa yang merutuki jiwa. Meski tidak sempat meraihnya seketika, tapi alam
menempatkan dirinya sebagai saksi akan bergejolaknya hati pada rasa yang
tiba-tiba menjelma.Senyummu menjadi pertanda bahwa kau menerima tawaranku.
Berdebar kencang jantungku saat mengembangkan payung dan mendekatimu. Di bawah payung aku dan kamu
menikmatinya diam yang penuh gejolak. Hingga sebuah rumah besar memisahkan. Kamu
harus masuk rumah itu. Aku pun melangkah
hendak meninggalkanmu ketika sebuah motor berhenti dan mengajakku bersamanya.
Secepat kilat aku menoleh ke arah rumahmu, tapi alangkah ganjilnya karena tidak
ada satu pun rumah di sana. Yang ada hanyalah batu-batu nisan yang terserak.
Bondowoso,
23 Agustus 2023
Tidak ada komentar:
Write Comments