Selasa, 20 Juni 2023

Serpihan Cinta di Langit Saga

 

                                                Foto: Koleksi Pribadi "Tamansari Yogyakarta"

  Serpihan Cinta di Langit Saga

Part 14

Oleh: Khatijah

Ratih membuka matanya. Dia merasakan tubuhnya remuk. Sendi-sendinya terasa tidak berfungsi. Keringat dingin membasahi baju yang dikenakannya. Dalam kondisi seperti itu, dia kaget bukan main saat menyapukan pandangan ke sekeliling. Tampak dinding tinggi membatasi sebuah ruangan lebar dengan ornament keemasan. Sebuah vas setinggi dada tempat meletakkan bunga-bunga lili warna kuning gading bertengger di pojok ruangan. Sedangkan di dekat jendela kuntum-kuntum bunga mawar putih kecil-kecil tertata indah di sebuah vas yang berukuran sama dengan vas yang berada di pojok. Semerbak wanginya menerpa indra penciuman. Pandangan mata Ratih meluruh ke bawah. Sebuah karpet tebal warna merah saga melapisi lantai.

Perlahan Ratih mencoba bangkit. Kasur empuk dan tebal serupa menggelamkan tubuhnya. Sehingga dia kesulitan untuk menopang tubuhnya. Dia terkejut saat memandang dua perempuan berkebaya yang berdiri di sampingnya.

“Maaf, kalian ini siapa,ya? Aku sedang berada di mana?” Serta-merta Ratih menyapa mereka.

“Kami pelayan yang siap membantu Ndoro,” sahut seorang perempuan yang usianya lebih dari paruh baya.

Sedangkan wanita muda yang berparas cantik hanya mengangguk kecil.

“Tuan Muda telah membawa Tuan Putri ke sini.” Wanita itu melanjutkan penjelasannya.

Sejenak Ratir terbengong. Dia mencoba menggali memorinya. Tidak ada bayangan sama sekali tentang sosok yang telah membawanya ke tempat ini. Yang dia ingat hanyalah Melati si gadis kecil yang mengajaknya berjalan-jalan di dekat danau. Setelah itu, ingatan Ratih tidak lagi menyimpan peristiwa yang dialaminya.

“Di mana Melati?”

Ratih menengok ke kanan dan ke kiri, tetapi tidak dilihatnya anak perempuan yang sebelumnya membersamai dirinya di jalan menuju telaga.

“Melati siapa, Tuan Putri?”

Sambil kebingungan salah seorang yang lebih tua menanggapi pertanyaan Ratih.

“Aku bukan Tuan Putri, namaku Ratih.”

Ratih merasa aneh terhadap sebutan yang diberikan oleh perempuan-perempuan yang berada di depannya. Ucapan-ucapannya begitu halus.  

“Kalau Tuan Putri sudah enakan, dipersilakan untuk membersihkan diri. Mari  saya antarkan ke  tempat pemamdian,” ujar perempuan yang usianya lebih muda, bahkan mungkin hanya beberapa tahun di atas usia Ratih.

Ratih tidak menyahut. Hatinya sangat sedih karena harus berpisah dengan Melati dan kedua orang tuanya. Hatinya juga sangat khawatir kalau Dewanda akan datang dan mencarinya. Dia benar-benar menyesal karena tidak bisa menjaga amanah dari pemuda yang telah melepaskan dirinya dari cengkeraman para penjahat. Dia tidak mematuhinya, tetapi justru mengikuti permintaan anak kecil Melati melihat-lihat pemandangan di luar rumah. Padahal dia paham benar bahwa pesan Dewanda itu untuk menyelamatkan dirinya dari orang-orang tidak baik, termasuk orang yang telah membawanya ke tempat ini.

“Mari, Tuan Putri. Kami siap menemani Tuan Putri mandi!” Wanita lebih dari paruh baya terus mendesak Ratih. Sedangkan perempuan yang lebih muda membawa  setumpuk pakaian yang diperkirakan disediakan untuknya.

Ratih mengerutkan dahinya. Pandangannya melirik pada pakain yang melekat pada tubuhnya. Kusut dan dekil. Malu tiba-tiba menjalari perasaannya. Dia merasa tidak pantas untuk menempat di tempat yang sangat  mewah.  Ddia jadi bingung. Akankah dia mengikuti perintah para wanita itu atau dia akan kabur.

Bondowoso, 21 Juni 2023  

  

 

Tidak ada komentar:
Write Comments



Entri yang Diunggulkan

Puisi-Puisiku

  Puisi-Puisiku Oleh: Khatijah   1.        MENDEKAP HARAP Kupatahkan ragu di tiang rapuh Menjaga rasa cita pada setia Di cadas lin...