Foto: Koleksi Pribadi "Tamansari Yogyakarta"
Serpihan Cinta di Langit Saga
Part
14
Oleh: Khatijah
Ratih membuka matanya. Dia merasakan tubuhnya
remuk. Sendi-sendinya terasa tidak berfungsi. Keringat dingin membasahi baju
yang dikenakannya. Dalam kondisi seperti itu, dia kaget bukan main saat
menyapukan pandangan ke sekeliling. Tampak dinding tinggi membatasi sebuah
ruangan lebar dengan ornament keemasan. Sebuah vas setinggi dada tempat
meletakkan bunga-bunga lili warna kuning gading bertengger di pojok ruangan. Sedangkan
di dekat jendela kuntum-kuntum bunga mawar putih kecil-kecil tertata indah di
sebuah vas yang berukuran sama dengan vas yang berada di pojok. Semerbak wanginya
menerpa indra penciuman. Pandangan mata Ratih meluruh ke bawah. Sebuah karpet
tebal warna merah saga melapisi lantai.
Perlahan Ratih mencoba bangkit. Kasur empuk
dan tebal serupa menggelamkan tubuhnya. Sehingga dia kesulitan untuk menopang
tubuhnya. Dia terkejut saat memandang dua perempuan berkebaya yang berdiri di
sampingnya.
“Maaf, kalian ini siapa,ya? Aku sedang berada
di mana?” Serta-merta Ratih menyapa mereka.
“Kami pelayan yang siap membantu Ndoro,”
sahut seorang perempuan yang usianya lebih dari paruh baya.
Sedangkan wanita muda yang berparas cantik hanya
mengangguk kecil.
“Tuan Muda telah membawa Tuan Putri ke sini.”
Wanita itu melanjutkan penjelasannya.
Sejenak Ratir terbengong. Dia mencoba menggali
memorinya. Tidak ada bayangan sama sekali tentang sosok yang telah membawanya
ke tempat ini. Yang dia ingat hanyalah Melati si gadis kecil yang mengajaknya
berjalan-jalan di dekat danau. Setelah itu, ingatan Ratih tidak lagi menyimpan
peristiwa yang dialaminya.
“Di mana Melati?”
Ratih menengok ke kanan dan ke kiri, tetapi
tidak dilihatnya anak perempuan yang sebelumnya membersamai dirinya di jalan
menuju telaga.
“Melati siapa, Tuan Putri?”
Sambil kebingungan salah seorang yang lebih
tua menanggapi pertanyaan Ratih.
“Aku bukan Tuan Putri, namaku Ratih.”
Ratih merasa aneh terhadap sebutan yang
diberikan oleh perempuan-perempuan yang berada di depannya. Ucapan-ucapannya
begitu halus.
“Kalau Tuan Putri sudah enakan, dipersilakan
untuk membersihkan diri. Mari saya
antarkan ke tempat pemamdian,” ujar perempuan
yang usianya lebih muda, bahkan mungkin hanya beberapa tahun di atas usia
Ratih.
Ratih tidak menyahut. Hatinya sangat sedih
karena harus berpisah dengan Melati dan kedua orang tuanya. Hatinya juga sangat
khawatir kalau Dewanda akan datang dan mencarinya. Dia benar-benar menyesal
karena tidak bisa menjaga amanah dari pemuda yang telah melepaskan dirinya dari
cengkeraman para penjahat. Dia tidak mematuhinya, tetapi justru mengikuti
permintaan anak kecil Melati melihat-lihat pemandangan di luar rumah. Padahal
dia paham benar bahwa pesan Dewanda itu untuk menyelamatkan dirinya dari
orang-orang tidak baik, termasuk orang yang telah membawanya ke tempat ini.
“Mari, Tuan Putri. Kami siap menemani Tuan
Putri mandi!” Wanita lebih dari paruh baya terus mendesak Ratih. Sedangkan perempuan yang
lebih muda membawa setumpuk pakaian yang
diperkirakan disediakan untuknya.
Ratih mengerutkan dahinya. Pandangannya
melirik pada pakain yang melekat pada tubuhnya. Kusut dan dekil. Malu
tiba-tiba menjalari perasaannya. Dia merasa tidak pantas untuk menempat di
tempat yang sangat mewah. Ddia jadi bingung. Akankah dia mengikuti perintah para wanita itu atau dia akan
kabur.
Bondowoso, 21 Juni 2023
Tidak ada komentar:
Write Comments