SEGELAS SUSU
Oleh:
Khatijah,S.Pd
Guru SMPN 1
Tapen Bondowoso
Handuk kecil itu
tiba-tiba jatuh...
Kupungut, dari bawah
tempat jemuran yang airnya masih menetes. Kuseka butiran-butiran bening yang
meleleh membasah di keningku. Bahkan butiran-butiran itu juga terasa mengalir perlahan di balik daster lusuh yang
sejak pagi belum sempat kuganti. Jerit bocah-bocah kecil di mulut gang sempit belakang
rumah itu mengurai lamunanku.Kuangkat kakiku yang terasa ada beban berat yang membelenggu,
tertatih menuju meja kecil bertaplak batik warna biru, yang sengaja diletakkan
di teras belakang. HP NOKIA tipe 7210
yang sering eror itu, masih tergeletak tanpa pembungkus. Kuraih dengan tanganku yang gemetaran.Kuamati
dan kubaca sekali lagi huruf-huruf kecil dengan kata yang disingkat-singkat .”Tik, plg, Inu krtis.”
Aku hafal betul,bahwa itu nomor HP Mbak Narti, kakak perempuan satu-satunya,
yang kutitipi sementara untuk mengasuh Inu, anakku.
Gemetaran
jari-jariku semakin menjadi, seolah tak mampu menggenggam benda sekecil HP .Ingatanku
terfokus pada sosok Inu. Bocah kecil yang lahir dari rahimku tiga tahun yang
lalu itu mendera hati dan jiwaku . Masih segar diingatanku, ketika bocah itu
merengek-rengek minta susu, sama seperti yang diminum anak-anak tetangga
sebelah yang seusia dengannya. Terasa ada belati tajam menghunjam
keras,mengiris-iris hati dalam dadaku. Karena aku tak kuasa menghentikan tangis
Inu dengan memberinya segelas susu.
Hari demi hari, minggu
demi minggu terus bergerak, luka di dadaku semakin menganga,saat Inu tak berhenti
menunjuk-nunjuk sebuah gelas yang berisi
susu milik Resa teman bermainnya. Kembali,
sembilu merobek-robek hati dan pikiranku. Lagi-lagi aku gagal memenuhi
permintaannya.Kuputar otakku, guna memecahkan batu karang yang menjadi penyebab
naluri keibuanku terluka.Ya, terluka atas kesalahan terbesar dari salah yang
tak termaafkan dari diriku sendiri.Aku tak berdaya, aku malu pada diriku, aku
berdosa kepada anakku, Inu. Hanya segelas susu yang layaknya orang tua lain
bisa menyediakan untuk anaknya tiap pagi saja,aku tak bisa.Aku hanya bisa membelinya
lewat mimpi dan derai air mata. Dan di
tempat inilah aku ingin mengurai mimpi-mimpiku untuk dapat menyajikan segelas
susu tiap pagi kepada pangeran kecilku. Benar, itu adalah mimpi yang selalu
muncul di setiap kusuapi Inu dan kuminumi segelas air teh. Aku yakin, bahwa
mimpi itu takkan pernah terwujud jika tak pernah ada ihtiar untuk menggapainya.
Dan di suatu malam,saat kubersujud di istikharohku,ada kekuatan baja,kekuatan
Patih Gajah Mada untuk menyatukan bumi nusantara, membisik, membangunkan
nuraniku yang selama ini tumpul,setumpul pisau karatan.Mimpi itu harus
terwujud.Dan aku tahu mimpiku tak akan pernah hadir di sepanjang tidur Bu Nani majikanku. Demi segelas susu itu,aku beranikan diriku
menapaki belantara Jakarta yang panas,dunia baru yang sangat asing bagiku.Demi
segelas susu itu juga, bibirku bungkam, tidak pernah menyanyikan lagu Nina Bobok,yang biasa
kubisikkan lirih di dekat telinga Inu,
saat bola mata kecilnya hampir tenggelam di balik kelopak mata yang lucu.Segelas susu itu pula yang kini
membentangkan jarak yang sangat jauh... antara aku dan keluargaku.
Hari ini adalah hari yang ke-lima puluh,sejak kereta kelas
ekonomi itu membawaku meninggalkan stasiun kecil yang berpagar melati-melati
putih ,meninggalkan lambaian tangan Mbak Nani, , meninggalkan tangis pilu
Inu,dan meninggalkan Mas Budi yang tergolek di ranjang tua.Menembus kabut
pagi,menuju tempat yang menjanjikan delapan lembaran berwarna merah dengan
gambar dua proklamator itu. Tadi malam, ketika jarum jam di kamar tamu rumah
besar ini,menunjukkan pukul sebelas, aku sempat membentangkan jari-jemariku, kuhitung
satu per satu“oh sepuluh hari lagi.” Tak terasa kata itu terucap dengan mantap.
Ya ,.. sepuluh hari lagi, tanganku akan menenteng tas yang berisi susu, keluar
dari Swalayan, layaknya orang-orang kaya itu.”Ah , itu sih tidak penting”,kubuang
sikap sombongku seketika,saat muncul bayangan Inu memegang sebuah gelas berisi
susu.
“Boleh, tapi dua bulan
sekali,ya!” pinta Bu Nani nyonya rumah tempat aku bekerja itu, mengiyakan, saat
aku minta diberi cuti kerja guna pulang kampung.
”Ah, seperti pegawai
kantoran saja.” Pikirku,menggelitik.
Berarti sepuluh hari lagi
aku akan bangga menyaksikan buah hatiku
terkekeh setelah minum susu yang aku bayar dengan cucuran keringatku. Tak
kusadari bibirku tersungging sedikit
senyum, yang rasanyasenyum itu sudah
bertahun-tahun tak terlihat, semenjak penyakit aneh itu memenjara Budi,
suamiku.
Kini, karena sms ini
senyum itu kembali lenyap tak berbekas. Musnahlah semua warna-warna indah yang sejenak
tersapu menghiasi kanvas pikiranku.Lenyap sudah angan-angan untuk menyaksikan
kemenanganku dalam mewujudkan mimpi besarku.
Aku tersentak bangun
ketika becak yang membawaku dari stasiun kecil itu berhenti, tepat di depan
ruang UGD. Aku turun dengan langkah gontai..tanpa sebungkus susu di tanganku.
Kubuka dompet, kuintip tinggal beberapa lembar ratusan ribu yang tersisa.
Tidak ada komentar:
Write Comments