Rumah Mewah
Oleh : Khatijah
@cermin
Mendung
yang bergelayut diiringi angin kencang, membuatku mempercepat langkah. Semburat
warna merah di ufuk barat menjadi tanda bahwa sebentar lagi suasana akan
berubah menjadi gelap. Pandangnku lurus kedepan. Kakiku terus kuayun agar cepat
sampai di tempat yang kutuju. Gerimis sudah berjatuhan satu-satu. Jika aku
berjalan santai tentu nanti akan terguyur air hujan.
Tidak
sampai lima menit, pohon sawo besar yang menjadi tanda rumah yang akan kusewa
itu sudah terlihat. Aku memasuki halamannya yang luas. Sepi. Rimbun daun pohon sawo
membuat halaman menjadi terasa adem. Tanah yang kupijak terasa lembab.
Barangkali pohon besar ini mampu menyimpan air di dalam tanah. Angin yang tiba-tiba bertiup kencang
menerbangkan daun-daunnya yang kering hingga bertebaran hampir memenuhi
halaman.
“Mari
masuk!” Seorang wanita berperawakan tinggi memanggilku. Rambutnya panjang
sebahu dengan warna hitam legam dengan potongan model bob. Dres panjang warna
hijau muda membalut tubuhnya yang ramping. Hanya itu yang bisa kulihat tentang wanita itu. Sebab setelah bicara padaku dia
langsung berbalik arah dan masuk ke dalam rumah.
“Ini
pasti anak gadis pemilik rumah ini,” pikirku. Sebab menurut penjelasan Pak
Rano, pemilik rumah yanga akan dikontrakkan itu, sudah tua. Mereka diboyong
oleh anaknya ke kota lain.
Aku
tidak menyahut karena wanita itu tidak memberikan kesempatan padaku. Karena
sudah disuruh masuk, aku pun mengikuti. Dua daun pintu lebar sudah terbuka.
Ragu-ragu kakiku akan melangkah melewati pintu itu. Namun, tak ada pilihan
lain, aku pun masuk. Satu stel kursi tamu mewah, yang terbuat dari ukiran kayu
jati cantik tergerai di ruang tamu. Seperti ada magnet di kursi itu yang
menarikku untuk segera duduk. Tanpa disuruh aku memilih satu kursi yang
menghadap ke arah ruang dalam. Byar.
Suasana yang tadi sudah gelap berubah terang benderang. Lampu kristal mewah yang tergantung tepat di atas kepalaku,
tiba-tiba menyala.
“Pasti
perempuan tadi yang menyalakannya,” kataku dalam hati.
Dari
situ mataku leluasa memandang suasana ruangan besar yang mirip dengan ruang
keluarga. Lampu-lampu hias mewah tampak menerangi ruang itu. Berbeda dengan
ruang tamu, di tempat itu banyak orang. Anehnya, semua wanita muda, cantik
cantik pula. Mereka berdandan ala wanita India lengkap dengan kain sari dan
gemerlap perhiasan di tangan dan lehernya. Aku tidak tahu persis kegiatan apa
yang sedang mereka lakukan. Mungkin saja mereka sedang berpesta.
Pandanganku
segera menyapu ke arah meja yang penuh dengan makanan. Kue-kue dan minuman
dingin sudah tersaji di situ.
“Kapan
wanita itu menyediakan makanan sebanyak itu?” tanyaku dalam hati.
“Mari
silakan minum, Mas.” Suara lembut yang berasal dari ruang dalam tiba-tiba mengagetkanku.
Dia menyilakanku untuk menikmati sajian di depanku. Sayangnya, wanita itu tidak
mau menemuiku. Dibiarkannya aku duduk sendiri di ruang tamu yang megah ini.
Terdorong
oleh lapar dan dahaga karena perjalanan jauh, tanganku segera menyentuh gelas
antik yang berisi minuman. Dingin. Aku pun mulai minum seteguk. Rasanya
melegakan tenggorokan. Segar, kayak ada manis-manisnya gitu. Namun aneh. Sesaat
setelah minum, rasa kantukku datang. Tak lama kemudian, aku pun tertidur pulas.
“Mas
bangun! Kok tidur di sini?” Suara lembut wanita itu terdengar membangunkanku.
Berkali-kali
aku mengusap kedua mataku. Tak seorang pun berada di situ. Kucari sorot lampu
kristal mewah yang tadi menerangi ruang tamu. Tidak ada. Ruangan yang dipenuhi wanita cantik yang
sedang berpesta, juga tidak ada. Yang ada hanya berpuluh-puluh nisan yang
disinari oleh cahaya matahari pagi.
“Astagfirullahalazim,” jeritku, seraya berlari
pontang panting meninggalkan pemakaman yang sunyi itu.
Bondowoso,
9 September 2021
Tidak ada komentar:
Write Comments