Kamar 115
Kamar 115
Oleh:
Khatijah
Kamar
115
Oleh:
Khatijah
“Taruh
di sini saja tasnya, kita salat magrib dulu,” kataku kepada Lana yang masih
memegang ujung kopernya sambil berdiri mematung di teras. Gerimis rintik-rintik
mengantarkan warna jingga yang tersisa di pucuk-pucuk pohon cemara di depan
bangunan berlantai tiga yang catnya tampak kusam.
Suasana
sangat sepi. Hanya tampak dua orang wanita yang asyik mengobrol. Sepertinya
mereka sedang menunggu jemputan pulang. Aku enggan menyapanya, tapi Lana
menghampiri mereka tanpa persetujuan denganku. Entahlah apa yang Lana tanyakan.
Hanya tampak salah seorang dari wanita itu menunjuk lorong yang ada di samping.
Pandanganku
menyapu sekeliling lalu berhenti di ujung sebelah kiri bangunan. Tampak sebuah
papan bertuliskan “Mushala” dan di bawahnya ada tanda panah. Lampu-lampu sudah
dihidupkan. Namun, cahayanya terlalu redup untuk ukuran penginapan atau
bolehlah disebut hotel. Letaknya yang berada di tempat agak tinggi membuat
hawanya terasa dingin menusuk kulit. Memang letaknya di punggung bukit. Untuk
sampai di tempat ini, aku dan Lana harus naik ojek.
“Sepertinya, tempat ini sudah lama gak
digunakan ya, Tri,” ucap Lana yang baru saja membuka bibirnya untuk berbicara.
“Mungkin
akibat pandemi kemarin. Atau bisa juga pernah jadi tempat isolasi para
penderita covid,” sahutku sekenanya.
“Bisa
juga. Ngapain sih pelatihan kok ditaruh tempat sepi seperti ini?” protes Lana,
wajahnya memberengut.
“Positif
thinking aja! Mungkin panitia ingin agar kita bisa sekalian menikmati
pemandangan alam yang masih asri.” Aku terpaksa memberi motivasi agar Lana
bersemangat sambil melangkahkan kaki menuju musala.
Tidak
seberapa lama, kami berdua sampai di musala. Tanpa bicara aku dan Lana memutar
kran yang berada di samping musala untuk berwudu. Dingin air wudu terasa
meresap di kulit. Wajahku melongok ke dalam ruangan. Bergegas kami masuk. Tampak
dua lelaki sedang berzikir di karpet tebal warna hijau yang terhampar. Aku dan
Lana menjalankan salat tiga rekaat sendiri-sendiri.
“Cepat
sekali orang-orang tadi ya, Tri. Baru saja selesai salam, mereka sudah gak ada,”
celetuk Lana sambil melipat mukenanya.
Aku
hanya diam sebab perkataan itu sama benar dengan pertanyaan di dalam pikiranku.
Aku juga heran karena tidak lagi melihat dua laki-laki tadi. Namun, aku tidak
menjawab komentar Lana. Aku hanya menarik tangannya untuk cepat-cepat
meninggalkan tempat itu.
Rupanya
aku dan Lana peserta pelatihan yang paling awal datang. Kenyataannya, sampai
waktu magrib, tidak satu pun tampak orang-orang yang membawa tas besar seperti
kami, datang di tempat ini. Panitia pun belum ada. Memang bukan salah mereka,
tapi salah kami sendiri. Aku dan Lana sengaja datang lebih awal karena rumah
kami memang sangat jauh. Memerlukan waktu lebih dari empat jam untuk sampai ke
tempat ini. Padahal acara baru dibuka besok pagi tepat pukul tujuh. Sangat
tidak mungkin kami berangkat malam-malam. Semua ini kami lakukan agar kami
tidak terlambat.
Aku
mendahului Lana menuju ruang resepsionis. Dua orang meyambut kami. Aku buru-buru ceck in dengan menambah biaya di
luar yang disediakan panitia. Kunci pun diserahkan.
“Kamarnya
sebelah kanan Mbak. Masuk saja lorong ini dan cari sesuai nomor yang tertulis
di kunci ini,” kata pemuda yang memberikan kunci tanpa mengantarkan kami
mencari kamar yang dimaksud.
Dengan
buru-buru kugamit lengan Lana dan berjalan ke arah lorong yang tadi ditunjukkan
oleh petugas resepsionis. Sepi. Suara roda-roda koper yang kami tarik saja yang
menggema memenuhi lorong. Kuamati nomor yang ada di setiap pintu yang berderet
dari kiri ke kanan. Sesekali juga melihat pintu-pintu di depannya. Setelah
sampai di tengah-tengah tampaklah 115
“Ini
kamarnya, Tri,” seru Lana seraya menghentikan langkah.
“Bukan.
Kamar kita nomor 74,” sahutku sambil mengamati angka yang ada di kartu kunci.
Aku
justru berjalan beberapa langkah karena aku melahat kamar yang kami cari berada
di deret sisi kiri. Sedangkan kamar yang ditunjuk Lana berada di deret sebelah
kanan. Lalu kami masuk kamar setelah menempelkan kartu di bawah gagang pintu. Baru
saja menyelonjorkan kaki di kasur, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Kami
berpandangan ketika mendengar suara orang bercakap-cakap. Begitu lega hatiku
karena sudah ada peserta lain yang datang.
Aku
buru-buru membuka pintu untuk memastikan siapa yang datang. Benar adanya,
seorang wanita membawa tas dan memasuki kamar 115 yang agak berhadapan dengan
kamar yang kutempati.
“Sendiri
saja, Mbak?” tanya Lana yang mendahului keluar kamar.
Dengan
ramah wanita itu menjawab. Dia memang hanya sendirian setelah seorang pemuda
yang mengantarnya kembali. Aku membujuknya agar mau tidur bertiga di kamar yang
kutempati dengan Lana, tetapi dia tidak berkenan. Barangkali dia merasa canggung
karena baru saja berkenalan.
Malam
merangkak seiring hujan yang tidak berhenti. Kegelisahan meriuh di antara
suasana sepi yang semakin mencekam. Berkali-kali aku mencoba memejamkan mata,
tapi tetap tidak bisa terlelap. Iri hatiku menyaksikan Lana yang sejak sore
sudah pulas.
Dadaku
berdebar kencang ketika tiba-tiba terdengar jeritan seseorang. Sebentar
kemudian terdengar orang menggedor-gedor kamarku. Aku tidak berani membuka
pintu.Terpaksa kubangunkan Lana untuk mengatasi ketakutan yang menderaku. Beruntung
dia cepat bangun. Dengan mata yang masih merah dia membuka pintu. Tanpa persetujuan,
teman wanita yang tidur sendirian di kamar seberang menghambur masuk. Wajahnya
pucat. Tangannya gemetar. Kami yang menanyainya turut merasakan ketakutan yang
begitu hebat.
“Ada
yang menggangguku di kamar sana,” ucapnya setengah berbisik.”Aku numpang tidur
di sini, ya!”
Ketika
pagi tiba kami keluar kamar dan tidak menemui seorang pun peserta yang sudah
datang. Padahal Winda temanku yang melarikan diri dari kamar 115 itu, bercerita
bahwa semalam mendengar banyak orang di lorong itu bahkan ada yang membawa anak
kecil. Dia pun melanjutkan ceritanya bahwa dia terbangun karena ada tangan
besar yang menempel di wajahnya.
Bondowoso, 10 Februari 2023