Senin, 31 Maret 2014

Cerpenku..



Warti
Oleh: Khatijah, S.Pd

Mata  Warti belum juga terpejam, saat dentang jarum jam tetangga sebelah berbunyi dua belas kali. Sudah dua jam berlalu ia berbaring di atas dipan kayu, beralaskan kasur tipis, tanpa sprei. Lolong anjing dan deru angin musim kemarau membuat Warti bergidik ngeri. Ditutupnya telinganya dengan kedua telapak tangannya. Mata dan pikiranya terbang melayang jauh menjelajah entah ke mana. Sesekali matanya melirik ke arah dinding yang setengah bagian bawah, tembok yang berwarna putih pucat, dan setengah bagian atas terbuat dari anyaman  bambu, yang warnanya tampak kusam kehitaman. Angin  menyelusup di lubang-lubangnya, terasa merobek pori-pori Warti. Gemerutuk gigi menahan hawa dingin dan segala yang menekan jiwanya. Warti mencoba berbalik arah, karena lehernya terasa pegal. Sesekali ia pun telentang. Didongakkan mukanya ke atas. Genting kaca yang biasanya memancarkan sinar bulan, kini terlihat hitam pekat. Hanya terlihat satu kerlip bintang muncul di sela-sela gegelapan genting kaca itu. Pandangan matanya berubah tertuju ke sebelah kiri. Tampak gadis kecil terbaring tertidur pulas. Reflek,diraihnya selimut doreng yang garisnya tidak terlihat jelas itu sebagai  penutup tubuh mungil Nani. Demikian juga Yanto,Si sulung itu juga sudah mendengkur. Diliriknya TV kecil 15 inc yang ada di pojok depan masih menyala. Tiba-tiba pikiran warti menerawang jauh dan jauh...  
“Dik, ini aku bawakan oleh-oleh, ayo tebak, apa ini?”,Parto menggoda istrinya.
“Oleh-oleh apa to ,Mas.mbok jangan guyon!”
Hati Warti jadi penasaran ingin tahu,apa sebenarnya yang dibawa Parto suaminya, itu. Warti heran dan tidak percaya akan kata-kata suaminya tadi.Walaupun dalam hati Warti terbersit rasa gembira mendengar kata ‘oleh-oleh’ yang keluar dari mulut suaminya itu.Baru kali ini, Warti menyaksikan wajah Parto berseri-seri. Biasanya ia datang dengan wajah muram, karena ia hanya bisa memberikan uang hasil kerjanya yang tidak cukup untuk makan besok pagi. Itu kalau ia tidak mendapatkan kerja bangunan di proyek. Ia mencari ikan di waduk Gajah Mungkur yang jaraknya kurang lebih satu kilo meter dari rumahnya. Dengan peralatan sederhana saja tak akan ia mendapatkan ikan banyak. Maka tak heran kalau hasil menangkap ikan itu tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Tapi, warti tidak pernah menuntut suaminya. Dulu di mata Warti, Parto adalah satu-satunya laki-laki yang sempurna. Kulitnya hitam manis, hidung sedikit mbangir, tinggi badan tidak kurang dari 175 Cm, lumayanlah untuk ukuran orang Indonesia, dan rambut hitam lurus,serta senyumnya itu, yang selalu menggoda Warti sejak ia berjumpa pertama kali Lima belas tahun yang lalu. Lebih dari itu Parto adalah laki-laki yang baik, tanggung jawab, pengertian, dan sayang kepada keluarga.
Tidak sabar Warti mendekati kardus itu. Dirabanya kardus itu dan diamat-amatinya tulisan yang tertera di samping kardus itu. Dari tulisan di samping kardus itu Warti tahu, benda yang ada di dalamnya. “Benarkah ini...?” gumamnya.
“Buka saja..!” kata Parto.
“TIVI .....?” teriak Warti. Dipeluknya suaminya erat-erat,”terima kasih, Mas...Terima kasih, ya...” Berkali-kali warti mencium tangan suaminya.
Malam itu mereka berempat tidur beralaskan tikar di depan TV. Seolah-olah mereka merayakan keberhasilan  perjuangan sang ayah dalam mewujudkan impian mereka. Betapa tidak, untuk bisa membeli TV, Parto harus tidak bertemu dengan keluarga selama tiga bulan. Ia bekerja sebagai buruh bangunan di kota Solo. Sehari-harinya ia hanya makan satu kali, itu pun jauh dari kategori sederhana. Nasi bungkus, dengan seiris tempe dan tahu bacem sebagai lauknya. Bagi dia,itu merupakan nikmat yang tak terhingga, yang selalu disyukuri dalam setiap doanya. Dan ketika kantuk tiba di malam yang gelap gulita, ia pun rela tidur berselimutkan hawa dingin di dalam tenda yang di sediakan proyek. Saat itu, Parto punya prinsip bahwa seluruh hidupnya untuk Warti dan anak-anaknya.  
Sudah lama Warti bermipi untuk memiliki TV sendiri. Ia merasa tidak enak dengan Bu Sastro tetangga sebelah, karena kedua anaknya, Yanto dan Nani selalu menonton TV di rumahnya. Masih segar diingatan warti ketika suatu hari Nani ingin menonton TV di rumah Bu Sastro, tapi mendadak ia menangis pulang.
” Ibu...kapan Bu, kita punya TV?”, Isak Nani terasa mengiris hati warti.
“Besok pasti Bapak bisa beli TV, Nak...,tapi harus rajin menabung dulu ya...sekarang nonton saja di rumah Bu Sastro.”
“Tidak Bu, Nani gak mau.”
“Memangnya kenapa, Nak”
“Tidak Bu...”, ucap Nani terbata-bata.
“Ya , sudah...kalau gak mau lihat TV, ya jangan menangis!”,bujuk warti. Tapi Nani terus sesenggukan, menambah iba hati warti. Tak terasa air mata bening membasahi pipi warti.
“Bu...tolong anaknya diajari yang bener ya!”,tiba-tiba Bu Sastro berteriak-teriak sambil menuding-nuding ke arah Nani. “Dasar kere...  pencuri..”, kalimat yang kedua itu bak belati menghunjam di dada Warti.
“Sebentar Bu,  memangnya ada apa ya Bu dengan anak saya?”
“ Jangan pura-pura ya ..., kan Bu Warti yang menyuruh Nani mencuri uang saya?” desak  Bu Sastro ketus.
“Demi Allah Bu, tidak, kami tidak pernah mengajari anak saya mencuri, kami memang orang tidak punya, Bu, tapi, tidak... kami tidak pernah  mencuri, apalagi mengajarkan mencuri kepada anak-anak. Mencuri itu perbuatan dosa, Bu...” Warti memberi penjelasan kepada Bu Sastro sambil sesekali mengusap air matanya yang berjatuhan.
“Siapa lagi yang mencuri uang saya kalau bukan Nani, hanya dia yang keluar masuk rumah saya.” Tuduh Bu Sastro makin ketus saja.
Berkali-kali warti mendesak Nani dengan pertanyaan lembut,tentang tuduhan Bu Sastro itu. Nani menggeleng dan terus sesenggukan. Hati kecil Warti meyakini bahwa pengakuan gadis kecilnya itu benar. Karena ia tahu betul perilaku Nani.
Pembelaan warti terhadap tuduhan Bu Sastro itu sia-sia. Hal itu, terbukti dengan perubahan sikap Bu sastro terhadap keluarga Warti, termasuk kepada anak-anak warti, Nani dan Yanto. Tidak hanya itu, tetapi tetangga yang lain jadi ikut-ikutan membenci Warti dan keluarganya. Warti hanya pasrah menerima fitnah yang menyakitkan hatinya itu. Ia tak pernah lepas berdoa dan berdzikir kepada Allah di setiap penghujung sholatnya, agar ia terhindar dari segala fitnah yang keji itu, dan ditunjukkan bahwa yang benar itu benar.
Sejak itu, Yanto dan Nani tidak lagi menonton TV milik Bu Sastro. Walaupun mereka ingin sekali seperti anak-anak lain yang bisa bercerita tentang kisah-kisah film kartoon, tetapi mereka tetap menahan diri.
Sendiri, warti  menyaksikan film yang seolah diputar kembali , muncul bermain-main di depan matanya. Disekanya butiran air mata bening yang mengalir perlahan. Sayup-sayup suara satwa malam singgah di telinga Warti.  Lalu ia beranjak mematikan TV.
“ Bu, mau pipis.” , tampak Yanto bangun dan pergi ke belakang.
“ Ya, mosok takut Yan?”, tanya warti.
“ Tidak, Bu.”
Tidak lama kemudian terdengar Yanto sudah kembali ke kamarnya. Dengan hitungan menit saja, Yanto sudah mendengkur lagi. Tapi, mata Warti belum juga mau terpejam. Samar-samar terdengar suara tiang listrik yang dipukul oleh Bapak-bapak yang sedang melaksanakan siskamling. Entah, sudah berapa kali Warti mencoba memejamkan matanya, tapi hati dan pikirannya tidak mau. Ia pun memutuskan untuk pergi ke kamar mandi, Warti ambil wudhu dan sholat malam. Tak henti-hentinya bibir Warti mengucap dzikir dan doa.
****
            Kabut pagi menyapu lereng-lereng perbukitan yang berjajar rapi bak hiasan alam, kokok unggas bersautan mengiringi perempuan-perempuan desa yang berangsur bangun dari peraduannya. Di sebelah timur mata memandang, tampak merona sapuan warna sang raja pagi,yang dengan senyum ramahnya menyapa dedaunan yang  tampak mulai mengering. Kilau keemasan genangan air waduk yang surutnya sudah hampir seperempat, menyebarkan semangat bagi para lelaki nelayan. Petani-petani mulai beranjak meninggalkan selimut mereka sebelum lalu lalang menuju ladang-ladang mereka yang hampir kekeringan.
Sebuah rumah berukuran tidak lebih dari lima kali sepuluh meter, berdinding bambu, berlantai plester, dan berpagar pohon beluntas tampak bersih dan rapi. Tanaman bunga budgenvil dengan warna ungu, putih, orange, merah dan kuning kecoklatan, menjulur-julur ke bagian bawah atap genting.Pasti rumah itu selalu dirawat oleh tangan-tangan terampil dengan perasaan tulus. Seorang wanita dan dua orang anak tinggal di dalamnya.    
Mata Warti terlihat sembab karena kurang tidur semalam. Hawa dingin yang terasa menggigit tak menghalangi melaksanakan tanggung jawabnya sebagai seorang manusia, terutama bagi kedua buah hatinya. Tangannya yang jauh dari hitungan halus itu, mulai menata nasi di bakul yang terbuat dari anyaman bambu.Kuah soto, col,kecambah, gorengan bawang, dan kentang yang sudah dipersiapkan sejak sore kemarin, siap untuk dibawa ke warung sotonya di pasar Wuryantoro. Sendiri ia menapaki bebatuan terjal dengan bakul di punggung dan sebuah tas besar ditentengnya, lagi-lagi pikirannya melayang.
Dulu,ia bersama Parto pernah berjualan ikan nila bakar di sekitar tempat wisata Gajah Mungkur. Tetapi, karena kalah bersaing dengan restauran dan pedagang besar, akhirnya mereka memutuskan untuk banting setir berjualan soto di Solo.Lumayan. Berkat usahanya, mereka bisa menabung untuk membeli rumah dan tempat tinggal yang bagus. Dari warung soto sederhana, berubah menjadi depot soto dengan sepuluh karyawan. Pelanggan  “SOTO BU WARTI”, begitu nama depotnya, makin hari semakin banyak.  Bahkan ia membuka cabang di Wonogiri dan di Sragen.Itu semua berkat kelihaian Warti dalam mengolah dan meracik masakannya. Serta keuletan Warti dalam memanagemen usahanya.
Dan Warti pun berubah penampilan. wajahnya selalu dibersihkan dengan susu pembersih setiap pulang dari depotnya, dan tak lupa meluangkan waktu untuk faceal di salon langganannya. Dengan kulit yang bersih terawat,menambah cantik wajahnya. Kulit Warti yang putih, dan wajah bulat telor, mata lebar, bulu mataa lentik, menambah sempurna kecantikannya, walaupun tanpa make up tebal. Tinggi badannya tidak seberapa  tinggi, tetapi dengan berat dan tinggi seimbang itu membuat body warti makin terlihat seksi. Seminggu tiga kali ia mengikuti senam aerobik dan fitnes di sebuah sanggar kebugaran di kawasan Jalan Panembahan Senopati, Solo.
“Bu, Lies itu sepertinya kok sirik ya, sama Ibu.” Suatu hari Umi bicara dengan bisik-bisik.
 “Lho, ndak boleh suudhon, mungkin itu menurut perasaanmu saja.” Jawab Warti sambil menghitung-hitung daftar belanjaan besok.
“Sungguh, Bu ...”
“Sett..,hayo sudah Um, itu lho ada pembeli datang!”
Umi bergegas menemui tamu yang mencari-cari tempat duduk.
”Ayam..apa babat..Pak?”tanya Umi kepada pelanggan yang terlihat masih berunding dengan temannya itu. Ternyata kedua pelanggan itu ingin makan soto ayam plus minum es jeruk.
Memang benar, tanpa sepengetahuan warti, Lies sering mencibirkan bibirnya.Tanda bahwa ia iri melihat kecantikan majikannya itu.
“Lies, ambilkan dompetku di meja kasir itu.” Kata Parto disertai pandangan penuh arti.
Dengan berjalan sengaja dilenggang lenggokkan Leis menuju meja kasir. Matanya melirik Parto, yang duduk tidak jauh dari pintu depan. Mata Parto tak berkedip melihat pemandangan yang sangat menarik baginya itu. Darah lelakinya bergejolak. Nafasnya tiba-tiba menjadi tidak beraturan. Dan ini bukan yang pertama kalinya Lies berakting di depannya.
“Ini, Pak!”,kata Lies gadis hitam manis salah satu karyawannya itu menyerahkan dompet kulit warna cokelat tua yang diambil dari meja kasir.
Parto menerima dompet itu dengan tak lepas-lepas memandangi gadis itu.  Lies terlihat makin genit,karena mendapat perhatian dari majikannya.
Parto buru-buru menetralisir keadaann, ketika ia sadar bahwa Warti hanya berjarak kira-kira  tiga meter tepat di hadapannya.
Memang, semenjak depot sotonya laris,  penampilan Parto semakin keren saja. Celana jins dan T-sert mahal selalu membalut tubuhnya. Aroma parfum segar menciptakan suasana romantis saat wanita berpapasan dengannya.  Terlebih lagi,kini sebuah mobil Inova warna hitam ada di tangannya. Mobil ini yang selalu mengantar Parto Ke beberapa cabang depotnya.
Hati Warti menjadi tidak nyaman, ia merasa ada sesuatu yang tidak wajar pada diri Parto suaminya. Dan kini ditambah sikap Parto yang aneh, yang disaksikannya sendiri. Batin Warti menjadi terisris melihat gelagat tak sedap di hadapan matanya. Ah...tidak mungkin...lagi-lagi Warti menepis pikiran-pikiran buruknya.

                                             ****
Sedari pagi Parto belum juga pulang. Hp yang selalu berada di saku jinsnya juga selalu mall boks. Hingga malam menjelang pagi, dan pagi beranjak siang, siang berubah menjadi gelap, segelap hati Warti. Seseorang yang ditunggunya itu belum juga tampak di hadapannya. Hatinya gelisah...ia mengkhawatirkan pria yang dicintai seumur hidupnya itu. Ia panik jangan-jangan ada sesuatu yang membuat kekasih hatinya itu celaka. Tapi,sekali lagi warti membuang pikiran-pikiran buruk itu.
 “Bu.....,”tiba-tiba terdengar suara parau memanggil dari balik dinding luar, diiringi langkah-langkah kaki yang kedengaran terseret-seret. Warti terkejut, desiran darahnya terasa naik di ubun-ubun. Dadanya berdegup kencang, keringat dingin membasahi muka dan sekujur tubuhnya. Dibukanya pintu,”Pak...Wiro???”, sangkaan Warti keliru. Ternyata bukan Parto.
Warti melangkahkan kakinya yang putih bersih itu ke arah laki-laki paroh baya yang biasa membantu mengangkat barang belanjaan Warti dari pasar itu utuk membukakan pintu. Dengan langkah-langkah gontai ia masuk ke dalam rumah. Warti kaget mengapa Pak Wiro datang dengan kondisi seperti itu, malam-malam lagi.Dibantunya laki-laki itu duduk di kursi panjang dan disandarkannya badannya ke dinding. “Sebentar ya ,Pak Ibu buatkan teh dulu.”Laki-laki itu mengangguk lesu.
Sedikit demi sedikit mata Warti terbuka. Tampak kunang-kunang beterbangan di depan matanya. Detak jantungnya berangsur normal. Tangannya yang halus masih tampak lunglai. Sesekali Ibu Tatik dan beberapa pembatunya mengusap keringat dingin di wajah dan tangannya. Warti menenggelamkan wajahnya di atas bantal warna jingga yang bersulam benab-benang sutra itu. Ditumpahkan segala pilu hatinya dengan derai air mata yang tumpah bak air bah menjebol dinding kota. Isak tanngis dan sedu sedan membuat Bu Tatik Wanita yang setia nembantu di dapur Warti itu,ikut-ikutan mencucurkan air matanya.Nani dan Yanto juga menangis sesenggukan di sebelah tubuh Warti. Kedua anaknya itu juga merasakan pahitnya penderitaan yang diterimanya kini. Suara warti bertambah parau,akibat jeritan-jeritan yang terpaksa keluar dari kerongkongannya tadi malam. Barangkali sempat terlontar kata-kata kotor, atau ucapan tak senonoh di sela jeritan dan teriaknya, Warti tak tahu itu. Yang ada kini hatinya berkkeping-keping. Hatinya luluh lantak. Hancur. Dunia terasa gelap. Sesuatu yang pernah terbersit di dalam pikirannya dulu, sesuatu yang yang tak dihiraukannya, ternyata benar-benar terjadi.  Dan kini, lebih dari apa yang dipipirkannya...benar-benar nyata dan bukan mimpi. Warti menyesali kebodohan dirinya. Mengapa ia selalu percaya kepada suaminya? Mengapa ia tak menghiraukan sikap Lies..? Mengapa, dan mengapa???
Matahari terlihat lebih dari sepenggalah, saat beberapa mobil petugas mendatangai rumah besar Warti. Dengan baju yang bagi Warti menyeramkan, mereka tampak menuliskan sesuatau di atas kertas yang ada di tangannya, sambil sekali-sekali memperlihatkan tingkah penuh selidik.
“Maaf, Ibu ini siapa?” Seorang petugas menanyai Warti.
“Ini istri syah juragan Parto, Pak.” Bu Tatik menyela.
Warti mengangguk dengan pandangan lesu.
“Maaf Bu kami hanya menjalankan tugas.”
Warti tahu betul apa yang akan dijalankan oleh para petugas itu. Pak Wiro sudah menceritakannya semalam. Itulah yang membuat Warti histeris hingga tak sadarkan diri. Pak Wiro yang membawa berita itu pun sebenarnya tak tega untuk menyampaikan kepada majikan yang baik hati ini. Maka dari itu, Pak Wiro hampir pingsan karena tak mampu ikut menanggung beban majikannya. Bagi Pak Wiro tak pantas juragan perempuannya yang lemah lembut,dan penuh kasih sayang kepada orang-orang kecil sepertinya itu, memikul beban begitu beratnya. Lebih dari itu, Pak Wiro juga tahu bahwa Bu Warti adalah wanita yang setia dan sayang kepada suaminya. Juragan Parto adalah satu-satunya laki-laki yang namanya selalu mengalir di setiap aliran darahnya.Apa yang ia cari...?”, Istri begini cantik, lembut, baik, dan setia, begini kok disia-siakan. ?”  Pak Wiro menghela nafas panjang.
“Pak, bolehkah saya melihat jenazah suami saya?” tanya Warti penuh harap. Polisi pun mengiyakan dengan rasa iba yang mendalam.
Sejak  saat itu juga Warti benar-benar paham bahwa Lies karyawannya yang cantik dulu berhasil merayu Parto suaminya. Sampai-sampai semua surat rumah , tanah, dan semua usahanya yang dirintisnya mulai dari nol, diserakan semua  kepada Lies istri mudanya. Tidak cukup sampai di situ. Parto suami yang dicintainya, ayah dari anak-anaknya,tidak hanya direbut, tetapi ia pun menjadi tumbal atas keserakahan Lies.  Semua harta bendanya terkuras habis. Mobil, semua depot, termasuk rumah seisinya... ludes dijual oleh Lies.Dan semua hasil penjualannya hanya digunakan untuk memuaskan nafsunya di meja judi. Dan kini, setelah semua tak tersisa, nyawa pun jadi sasaran berikutnya. Parto, suami yang didapat dengan segala cara itu pun dihabisi oleh orang suruhan Lies...
 Wuryantoro, adalah satu-satunya sandaran hidup Warti, dengan kedua belahan jiwanya, Nani dan Yanto. Mereka bertiga mengawali mengukir hidup yang harus dijalaninya. Di desa tempat tumpah darahnya, tempat ibu yang melahirkannya, tempat ia merenda kasih dan cinta yang telah ditinggalkannya beberapa tahun yang lalu.Ia kembali.

                                                                       
Bondowoso, 27 Juni 2010

















1 komentar:
Write Comments



Entri yang Diunggulkan

Puisi-Puisiku

  Puisi-Puisiku Oleh: Khatijah   1.        MENDEKAP HARAP Kupatahkan ragu di tiang rapuh Menjaga rasa cita pada setia Di cadas lin...