Senin, 07 Agustus 2023

Menanti Matahari






Penulis: Khatijah

Terus saja Giano dan tiga temannya berteriak dan memanggil-manggil Mang Sofyan. Mereka yakin dialah orang paling tahu terhadap keberadaan Rianti. Meski laki-laki itu sudah mengabdi tidak sebentar di rumah tepi laut itu, tapi ada sebersit kecurigaan di batin Giano. Apalagi Al yang sempat bertatapan mata dengan laki-laki yang dianggapnya menyimpan kebencian terhadapnya itu.

“Mungkinkah Mang Sofyan yang menyembunyikan Rianti?” bisik Al di tengah kepanikan mereka berempat.

“Kita boleh berprasangka, tapi tidak boleh menuduh,” sahut Andara yang berjalan di sampingnya.

Derap langkah mereka memecah kesunyian di antara suara burung-burung camar yang beterbangan di atas bangunan. Suasana kian tegang. Mata Sheila terus melirik ke arah sebuah kamar yang berada di pojok. Sepi serupa tidak berpenghuni. Pikirannya menjawab keraguan bahwa tidak akan mungkin ada orang yang berada di dalamnya. Namun, desiran jantungnya memaksa untuk berhenti. Sejenak dia pandangi pintu kamar yang dianggapnya berbeda dengan beberapa pintu yang ditemuinya di bangunan itu. Ornamennya aneh. Ukir-ukiran berbentuk binatang-binatang laut besar seperti hiu dan gurita yang tangan-tangannya mencengkeram. Seram.

Perlahan dilangkahkan kakinya mendekat. Berkali-kali Sheila menengok ke kiri dan ke kanan. Ragu-ragu. Seolah ada sepasang mata yang mengikuti gerak-geriknya. Bulu kuduk Sheila tiba-tiba meremang. Matanya menjelajah seluruh sudut ruangan besar itu. Namun, tidak satu pun yang dia dapati. Yang ada hanya sebuah kesan sepi. Hanya suara deru angin di luar menggerakkan pepohonan menggambarkan cuaca yang berubah menjadi tidak lagi baik-baik saja. Dia pun heran sebab keempat temannya serupa lenyap ditelan senja yang digantikan malam. Kebimbangan Sheila akan keamanan daerah itu memuncak saat sadar Rianti belum juga ditemukan. Karena jalannya sambil menengok ke sana ke mari, kakai Sheila terantuk pot yang ada di depannya. Dia pun sempoyongan dan akhirnya tidak mampu menjaga keseimbangan tubuhnya. Perlahan dia mencoba bangkit dan berusaha keluar dari tempat itu.

“Andara, Ano, El,” teriaknya mengikuti langkahnya yang terseok.

Sementara Giano berjalan menuju sebuah ruangan di bagian samping bangunan. Di belakangnya, Andara dan El kejar-mengejar mengikuti Giano. Napas mereka terengah-engah dalam pikiran kalut. Bayangan tentang Rianti silih berganti mempermainkan perasaan. Antara panik dan takut. Terlebih Giano karena dialah yang mengajak Rianti bahkan setengah memaksa agar gadis itu mau menghabiskan liburan di vila mewah yang menghiasi pulau kecil milik ayahnya. Giano berharap Mang Sofyan yang menempati ruangan itu mengerti tentang kepergian Rianti yang tiba-tiba.

“Mang Sofyan!” teriak Giano di depan pintu yang tertutup rapat.

Aneh. Sorot lampu yang sebelumnya tampak menerangi ruangan itu, tiba-tiba padam. Kepanikan menguasai pikiran empat anak muda itu. Pertanyaan-pertanyaan yang tidak sempat terlontar, akhirnya tertelan bersama suasana yang kian menghadirkan gundah.

“Kemana laki-laki itu?” bisik Al di dekat telinga Giano.

Wajah Al yang memutih pucat merambati kedua gadis yang bibirnya membiru. Mata mereka saling bertemu dalam kepanikan.

Giano memukul pintu keras-keras. Namun, tidak ada tanda-tanda orang yang diharapkan membukanya berada di dalamnya. Dikejar rasa ingin segera menemukan Rianti, Giano menendang daun pintu. Secepat kilat pintu pun terbuka. Mereka berempat menganga kaget sebab tanpa diduga tampak tubuh Rianti tergeletak lemas di salah satu pojok. Matanya terpejam. Wajahnya memutih kapas. Bibir yang biasanya kemerahan berubah menjadi membiru.

Tangan Giano memegang pergelangan tangan Rianti. Sementara Andara meletakkan telinga kanannya di dada Rianti.

“Alhamdulillah, masih bernapas,” bisik Andara.

Perasaan cemas yang menggeluti mereka sedikit terurai. Giano dan Al cepat-cepat berusaha meraih tubuh itu untuk dibawanya pergi. Sheila pun turut serta membantu mengangkat di bagian kaki. Sedangkan Andara sibuk berselancar dengan pikirannya yang merasa keheranan. Mengapa Rianti yang baru saja ber-Vidio call-an dengan diri-nya, tiba-tiba berada di kamar yang letaknya jauh dari tempat Rianti semula.Dia berprasangka ada mahkhluk lain yang membawanya. Sedangkan Mang Sofyan yang menjadi orang pertama yang dituduh Giano, tidak berada di ruangan itu.

Tanpa menutup pintu, Andara mengikuti jejak tiga sahabatnya yang menggotong tubuh Rianti. Lampu-lampu yang sudah mulai menyala menolong mereka memberikan cahaya. Dibaringkannya tubuh Rianti di ruang tengah dimana Mang Sofyan biasa sibuk menyiapakan makan malam. Namun, kegundahan hati Giano semakin memuncak kala tidak ditemui juga Mang Sofyan di tempat itu.

“Mang Sofyan ini gimana, sih?” Gumam Giano meluncurkan perasaan jengkelnya.

“Mungkin masih menyelesaikan pekejaan yang lain, Ano.” Al merespons dengan suara sedikit keras.

 Bersamaan dengan itu mereka dikagetkan oleh lengkingan jerit yang memilukan.Serta-merta Giano dan Al berlari mendekat ke arah suara. Baru beberapa meter langkah kaki mereka meninggalkan ruang makan, sebuah pemandangan mengagetkan mereka. Sheila berdiri berdiri  terpaku di depan Pintu  sebuah ruang kosong. Matanya memerah, dua tangannya memegang kepalanya.

“Ada apa Sheila?”

Giano mendekati sahabatnya yang menatap tajam pada sebuah ruangan terbuka di depannya. Tanpa menunggu jawaban Sheila, Mata Giano menangkap sosok yang tergantung di balik pintu. Tidak seluruh tubuhnya tampak. Hanya Tidak jelas siapa dia, Giano langsung berjalan mendekat. Matanya terbelalak setelah tahu bahwa sosok itu laki-laki yang dicurigai meneror Rianti oleh teman-temannya .

“Mang Sofyan!” teriaknya membelah gelap yang mulai pekat.

Jeritan Giano yang mengiris, memanggil. Andara dan Al berlari mendekat. Mereka berlari sekencang-kencangnya. Cuaca gelap tidak membuat mereka surut. Sheila sempat terhuyung nyaris jatuh karena kakinya terantuk benda asing di depannya.Kengereian di depan matanya memaksa dia lari menjauh.

“Ano, kenapa dia, Ano?” teriak Sheila tidak kalah keras dengan teriakan Giano.  

 Sementara Rianti yang masih terbaring lemah hanya bisa mengerahkan sisa tenaganya untuk bangun. Namun, baru saja dia mencoba mengangkat kepalanya, sebuah tangan menariknya menjauh dari tempat itu. Tarikan dengan kekuatan luar biasa hingga membuat tubuhnya seakan melayang di udara. Matanya yang masih tersisa air mata meruam kembali. Ketakutan yang membubung mengharuskan bibirnya menjerit sekencangnya. Namun, tangan besar yang telah membawanya ke tempat asing itu, menutup mulutnya rapat-rapat.  

 Sementara, Giano, Al, Sheila, dan Andara sibuk sekaligus panik dengan ditemukannya laki-laki yang tubuhnya tergantung di depan pintu sebuah kamar. Mereka tidak mengetahui apa yang akan diperbuat.Hanya satu yang bisa mereka lakukan, menghubungi polisi.

“Lama banget sih, Pak Polisi ini?” Andara mulai mengeluh setelah merasa bosan menunggu.

“Bahkan tidak ada yang menyahut,” jawab Giano bingung.

Memang tidak mudah menghubungi polisi dari pulau kecil yang jaringan internetnya terhalang oleh laut. Apalagi cuaca buruk dan waktu terus merangkak menuju malam.

“Benarkah ini Mang Sofyan?” Andara teranga untuk meyakinkan sosok priya yang tergantung di depannya.

“Benar, An,” sahut Giano nyaris berbisik.

“Mengapa bisa begini, Ano? Siapa yang telah melkukannya?”

“Tenang, Andara! Kita tunggu saja hasil pemeriksaan polisi!”

“Aneh banget. Sebenrnya siapa saja yang tinggal di vila ini, Ano. Kau bilang Mang Sofyan hanya sendirian.” Andara terus mendesak.

GK, 21 Juli 2023

Tidak ada komentar:
Write Comments



Entri yang Diunggulkan

Puisi-Puisiku

  Puisi-Puisiku Oleh: Khatijah   1.        MENDEKAP HARAP Kupatahkan ragu di tiang rapuh Menjaga rasa cita pada setia Di cadas lin...