Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan

Jumat, 07 April 2023

Menanti Matahari

 

 

 


Menanti Matahari

Oleh: Khatijah

“Kembali saja, ombaknya makin besar!” teriak Rianti di tengah debur ombak yang menggulung-gulung.

“Tenanglah, sebentar lagi juga reda. Ini karena angin saja yang bertiup kencang,” sahut Andara sambil membetulkan syalnya yang nyaris lepas.

Tangan Rianti menggapai-gapai mencari pegangan. Dia menahan pusing kepala akibat goncangan hebat perahu yang membawa mereka. Diraihnya tas kecil tempat meyimpan obat-obatan yang dibawanya dari rumah. Namun, belum juga sampai di tangannya benda itu tercebur ke dalam air.Rianti panik. Teringat benar di pikirannya bahwa selain obat, di dalam tas itu ada dompet dan ponsel yang baru saja dibelikan ayahnya sebagai hadiah ulang tahun yang kesembilan belas.

“Tolong, tasku kecebur di laut!” Lagi-lagi Rianti berteriak.

Pandangannya terus terfokus pada benda yang sesekali muncul ke permukaan. Namun, sekejap kemudian hilang ditelan ombak. Andara yang berada di sampingnya turut meyesali kejadian itu. Sementara tiga lima temannya hanya ternganga menyaksikan benda itu tidak lagi muncul. Inginnya mereka membantu Rianti, tetapi keganasan air laut menciutkan nyali.

“Maafkan Rianti, sepertinya kamu harus merelakan benda itu,” keluh Al menyesali dirinya yang tidak bisa menolong teman perempuannya itu.

“Aduh, gimana nih. HP-ku ada di dalam tas itu. Gimana saya menghubungi Mama dan Papa?” Wajah Rianti memerah.

“Sudahlah, yang penting kita selamat sampai tujuan. Masalah menghubungi orang tua, kita bisa saling membantu,” sahut Giano sang ketua kelompok sekaligus ketua rombongan.

Rianti akhirnya terdiam. Dia sadar bahwa dalam kondisi seperti ini tidak bisa memaksa orang lain untuk menolongnya. Sebab dia merasa tidak mungkin benda itu bisa diselamatkan. Selain sudah tidak tampak di mata, gelombang besar yang sesekali menghantam perahu yang mereka naiki, benar-benar membuat panik. Dia berpikir bahwa keselamatan jiwa raga yang lebih penting.

“Itu pulaunya sudah tampak,” teriak Sheila yang duduknya berada di posisi depan.

“Benar, tinggal sedikit lagi kita akan sampai di pulau itu.” Armando sangat bersemangat.

Memang bukan isapan jempol. Tampak samar-samar, pulau yang akan mereka datangi. Ekspresi gembira menghiasi wajah-wajah mereka. Terlebih Giano. Dialah yang punya ide mengajak teman-temannya untuk menghabiskan liburan di pulau kecil itu. Orang tuanya yang konglomerat telah memberikan izin kepada Giano dan rekan-rekannya untuk menempati rumah yang dibangun di pulau tersebut. Karena penasaran, Rianti pun ikut meski melewati pertimbangan berulang-ulang. Apalagi sahabat kentalnya, Andara tidak henti membujuknya.

Bws, 8 April 2023

  

 

Kamis, 16 Februari 2023

Kamar 115 Part 2

 

Kamar 115

Part


@2

Oleh: Khatijah

Udara dingin menelusup ke dalam pori-pori. Aku menyilangkan dua tangan di dada untuk sekadar mengurangi gigil yang terasa. Perlahan kabut putih yang beberapa menit menutup pandangan, mulai menipis. Mataku jauh memandang ke atas pucuk bukit di kejauhan. Sinar lembut matahari yang baru saja muncul, menyelimuti kerucutnya menjadi kian jelas. Pikiranku masih tidak beranjak dari kejadian semalam. Aku belum bisa memberikan kesimpulan, apakah yang dialami Winda merupakan mimpi atau sebuah halusinasi? Atau memang benar-benar ada jin yang mengganggunya?

Batinku menilai Winda. Sepertinya gadis cantik itu tidak berbohong. Pikiranku mulai memercayai apa yang diceritakannya. Lagi pula kalau tidak mengalami kejadian sesungguhnya, tidak mungkin wajahnya akan sepucat itu. Tangannya tidak mungkin akan bergetar keras. Peluhnya tidak akan bercucuran, di saat tengah malam yang diguyur hujan. Lalu aku meraba tengkuk yang tiba-tiba merinding.

“Tri, ngapain di situ?”

Dadaku berdebar kencang. Aku tekejut. Kucari arah suara. Legalah hatiku. Tampak di bawah, dua temanku Lana dan Winda. Mereka melambaikan tangan ke arahku yang berdiri di posisi lebih tinggi dari hotel tempat kami menginap.

“Ke sini! Pemandangannya bagus,” panggilku sambil menunjuk ke arah deretan bukit-bukit yang memanjang dari timur ke barat.

“Capek.” Terdengan suara Lana menyahut.

Kuabaikan mereka yang tidak mau melanjutkan perjalanan sampai ke tempatku berada. Kumaklumi saja. Memang untuk mencapai tempat ini, memerlukan energi lebih. Jalan sempit yang aspalnya sudah rusak berat ini hanya cukup dilewati satu mobil. Di samping itu, kondisinya begitu menanjak. Bagi yang jarang berolahraga, kupastikan napasnya akan ngos-ngosan. Entahlah, apa yang membawaku sampai di sini. Aku juga heran. Semula aku hanya ingin jalan-jalan pagi sambil mencari sinyal. Sebab sinyal di tempat ini sangat buruk. Semenit muncul, beberapa jam tenggelam.

Telingaku sempat menangkap suara banyak orang. Aku yakin mereka itu peserta pelatihan yang mau jalan-jalan pagi sambil menunggu matahari terbit. Jadi, kupaksakan diriku yang masih kedinginan untuk mengikuti mereka. Aku pun keluar kamar. Sementara Winda dan Lana masih antre ke kamar mandi. Namun, sampai sejauh ini kakiku melangkah, tak satu pun kutemui seorang pun. Yang ada hanya sunyi melengang di antara vila-vila kosong yang nyaris tenggelam oleh rerumputan menjulang.  

“Tri, turun! Waktunya sarapan!” Terdengar suara Winda memanggil.

Kulirik jam di ponselku. Memang benar, sudah pukul enam pagi. Belum mandi dan sarapan. Padahal acara akan dimulai pukul tujuh. Aku pun bergegas akan meninggalkan tempat itu.Pelan-pelan kakiku melangkah menuruni jalanan berbatu karena aspalnya sudah rusak dilibas air saat musim penghujan.

“Tunggu!” teriakku sambil terus menapakkan kaki dengan hati-hati.

Mereka tidak menjawab, tapi tampaknya menungguku. Oleh karenanya, aku berusaha berjalan agak cepat. Anehnya, aku sudah mengerahkan seluruh tenaga, tapi jalanku sangat lambat. Serasa ada yang menahan kakiku agar tidak melangkah. Aku menengok ke kiri dan ke kanan. Tidak ada siapa-siapa. Hanya desir angin lewat di belakang telinga, dingin dan membuat bulu kudukku lagi-lagi meremang.

Aku mencoba mencari celah di antara rerimbunan semak-semak untuk melihat keberadaan Lana dan Winda. Namun, mereka tidak tampak. Selain posisinya masih jauh di bawah, pohon-pohon perdu di sepanjang kanan kiri jalan menghalangi pandangan.

Setelah sampai di jalan yang lumayan bagus dan tempatnya agak datar, aku buru-buru berlari agar segera mencapai Lana dan Winda. Aku ingat mereka tadi berada tidak jauh dari tempat ini. Tandanya ada pohon dadap yang bunganya merah merona.

“Winda! Lana!” teriakku berulang-ulang.

Tidak satu pun dari mereka yang menyahut. Mereka tentu tidak sabar dan sudah meninggalkan tempat ini, pikirku. Aku mempercepat langkah. Beberapa menit kemudian, sampailah aku di depan kamar yang kami tempati. Tanpa mengetuk pintu, aku pun masuk. Alangkah kagetnya aku karena Winda dan Lana sudah berselimut sambil bermain HP.

“Loh, kalian kok cepet banget sih?” tanyaku keheranan.

“Maksudmu apa Tri, cepet apanya? Sejak selesai salat subuh aku dan Winda gak ke mana-mana. Cuma tiduran gini,” jawab Lana sambil terus melihat layar ponselnya.

“Jadi?”

Bondowoso, 17 Februari 2023  

 

 

Selasa, 05 Juli 2022

Tembang di Kaki Bukit Part 103

 


Tembang di Kaki Bukit

Part 103

                                                                Oleh: Khatijah

            Kening Bu Kades mengernyit hingga garis-garisnya tampak nyata. Bola matanya menajam. Suaranya melengking. Tergambar kepongahan menguasai jiwanya. Rasanya dia ingin bicara bahwa tak ada lagi orang yang berkuasa di rumah ini.

            “Kata Bu Marni itu benar. Ibuku yang sekarang juga berada di rumah ini adalah pemilik resmi rumah yang bertahun-tahun Bu Kades tinggali. Bu Kades coba pikir, ayah kan menikahi ibuku sebelum bertemu Bu Kades. Hanya karena nasib saja ibuku harus berpisah dengan ayah. Ketika kakek dan nenekku meninggal hanya Bu Marni yang ada di sini karena ibuku harus ikut suaminya dan dalam kondisi jiwanya tergoncang. Maka Bu Marni meminta ayah turut menjaga rumah ini sampai saya dewasa. Begitu kan Bu Marni?” Aku mencoba memberikan penjelasan seperti yang pernah disampaikan oleh Bu Marni dan ayah kepadaku beberapa bulan yang lalu.

            “Hebat, kamu anak manis! Pandai sekali kamu mengarang cerita. Jadi, menurutmu ini milik kakek nenekmu, makanya ibumu juga enak-enakan di sini.” Bu Kades menyahut dengan cepat seraya berdiri dan melangkahkan kakinya ke ruang dalam. Sementara, menantunya sempoyongan dan mengikuti di belakang. Buru-buru aku mendahului mereka. Kedua tanganku kurentangkan sebagai usaha untuk mencegah mereka masuk ke kamar ibu. Tak bisa kubayangkan apa yang akan terjadi pada ibu jika dua wanita itu menemukannya. Bu Marni hanya bisa berteriak-teriak di belakang mereka. Dia mencoba menghalangi dengan ucapan-ucapannya. Namun, pendengaran Bu Kades dan menantunya seolah sudah tertutup rapat. Mereka terus menerobos. Tubuhnya yang berbalut emosi meledak, berhasil menyingkirkan aku.

            Tahu benar bahwa hanya ada satu kamar utama yang biasa dia tempati. Ke tempat itu dia melanjutkan langkahnya. Tanpa permisi dia langsung membuka pintu dengan kasar. Aku berusaha mendorongnya agar tidak bisa masuk, tapi kekuatan fisik tak berimbang. Meski dia telah berumur, tapi dia lebih kuat untuk balik mendorongku hingga aku tersungkur.

            Aku merasakan sakit luar biasa di dada kiriku. Sebuah kursi kayu yang berada di dalam kamar tertimpa tubuhku. Aku meringis kesakitan. Namun, semua kutahan saat Bu Kades mamaksa ibu dengan menyeretnya ke luar kamar. Secepat kilat kusambar tubuh ibu dan kupeluk erat. Bu Marni hanya terpana menyaksikan keberingasan Bu Kades.

            “Jangan Bu, tolong jangan perlakukan Jeng Suni seperti ini. Kasihan dia,” tangis Bu Marni sambil berusaha menghalanginya.

            Bu Kades tak memedulikan. Terus saja dia membuka almari dan mengambil baju-baju ibu dan bajuku. Entah kekuatan apa yang membuatnya jadi beringas. Baju-baju itu dibawanya keluar dan sebagian kocar-kacir di lantai sepanjang dia lewat. Bibirnya tidak berhenti berbicara. Tak jelas apa yang dibicarakan. Sedangkan wanita muda yang bernama Thalia tidak turut serta membuang baju-baju itu ke luar. Barangkali dia sudah capai membawa perutnya, dia hanya mengawasi aku dan ibuku yang mencari tempat aman.

            Dengan air mata yang terus berderai, Bu Marni membantu memapah ibu. Wanita ini mengajak ibu menuju ke kamar belakang. Namun, belum sampai masuk ke dalam kamar, Bu Kades mendorong kami. Lagi-lagi aku jatuh tersungkur karena aku tetap menahan tubuh ibu agar tidak jatuh. Bersyukur Bu Marni bisa mengelak sebelum tangan-tangan kokoh Bu Kades beraksi.

            Aku mengambil keputusan sendiri. Tak ingin ibuku makin goyah pikirannya, kutelepon Wisnu. Sahabat sekaligus sepupuku dari bapak dan ibu yang mengasuh dan membesarkanku di desa.

            “Wis, aku bisa minta tolong? Datanglah kemari! Kalau bisa sewakan mobil! Bolehkan aku membawa ibu ke rumah nenekmu?”

            “Memangnya ada apa Seruni?” tanyanya terdengar khawatir.

            “Sudahlah, nanti kamu akan tahu. Yang penting cepat sewakan mobil ya!” pintaku tak sabar.

            Bu Marni menolak mengikuti aku dan ibu. Meski dia sangat shock. Dia bilang tidak berani meninggalkan rumah itu karena dia memegang amanah. Aku membenarkan dia. Bahkan Bu Marni rela jika Bu Kades akan marah kepadanya gara-gara membela aku dan ibu.

            Bu Kades masih belum berhenti bicara saat sebuah mobil memasuki halaman. Sebentar kemudian mobil diparkir di dekat pohon beringin. Wisnu segera turun dan menemui aku. Sedangkan sopirnya tampak berbicara dengan sopir Bu Kades yang sejak tadi tiduran di kursi panjang di bawah pohon itu.

            “Wis, tolong aku!” pintaku sebelum Wisnu sampai di depanku.

Wisnu mempercepat langkahnya. Agaknya dia tahu kode-kodek agar dia membantu memapah ibu ke mobil yang dibawanya. Aku bersalaman dengan Bu Marni yang sesenggukan sambil mengelus punggung ibu. Aku bersyukur ibu tampak semakin sehat fisik dan pikirannya. Dia sempat berpamitan kepada Bu Marni. Matanya berkaca-kaca. Sepertinya dia paham benar akan semua yang terjadi.

            “Ma, kita naik mobil itu ya,” bisikku lirih sambil menunjuk ke arah mobil yang diparkir.

            Dia mengangguk pelan. Diusapnya sisa air mata yang masih membasah di pipiku. Lalu kakinya tampak semakin kuat ketika harus melewati hamparan rumput menghijau. Meski begitu, aku dan Bu Marni tetap memapahnya sampai dia duduk di jok mobil. Dia memilih di bagian tengah. Kutatap mata sayunya sambil kukembangkan senyum padanya.Kusembunyikan gejolak hati karena emosi telah mempermainkan.Tak kupedulikan baju-bajuku dan baju ibu yang tetap berserak di halaman menutup sebagian taman rumput yang berada di dekat pintu. Bu Marni melangkah keluar dari mobil saat sang sopir menghidupkan mesin. Dia harus kembali ke rumah itu dengan menanggung segala risiko. Menghadapi dua wanita cantik yang lenyap kecantikannya karena tak punya hati.

            “Bu, saya sama Ibu pamit ya. Bu Marni baik-baik di sini. Jangan pikirkan kami. Bu Marni, kami akan lebih tenang di rumah nenek Wisnu,” kataku kubisikkan di dekat telinganya saat aku memeluknya erat. “Terima kasih, atas semua kebaikan Bu Marni.”

            Sekuat apa pun aku menahan genangan air mata, ternyata tumpah juga  ketika Bu Marni tidak mau melepas pelukanku. Sedunya membuat badannya terguncang. Semakin erat saja kedua tangan rentanya memelukku.

            “Sudah Bu, kasihan Ibu. Biarlah dia segera istirahat di rumah kos. Nenek Wisnu juga baik. Insyaallah, dia akan menerima ibu sepenuh hati.”

            Perlahan kami melepas pelukan. Lalu Bu Marni mengelus tangan ibuku. Air matanya semakin tumpah-ruah. Setelah itu, dia mundur dan berdiri di dekat rerimbunan bunga bungur. Kulepas wanita yang seumur hidupnya mengadikan diri di rumah besar ini serupa melepas mahkota-mahkota berwarna ungu yang berserak menutup tanah di bawah pohon bungur. Ikhlas, tapi tetap kupikirkan keberadaannya.

                                               

                                                                        Bondowoso, 6 Juli 2022

 

 

Selasa, 21 Juni 2022

@cerpen Dimanakah Dirimu


Dimanakah Dirimu

Oleh: Khatijah

Malam ini aku berdandan istimewa.Sekali-sekalilah aku ke salon. Selain ini sebagai malam terakhir bertemu teman-teman SMA dalam acara malam pelepasan kelas dua belas, aku ingin lebih cantik dari biasanya. Semua kulakukan semata-mata untuk seseorang yang pernah menembakku dua bulan sebelum ujian sekolah.

Waktu itu aku duduk sendiri di taman sekolah. Bunga-bunga bugenvil warna ungu dan putih lagi bermekaran seiring datangnya musim kemarau. Di situlah aku duduk sambil membaca buku yang berisi materi esensial untuk ujian sekolah. Aku sengaja memilih tempat ini agar lebih tenang dan semua yang kupelajari bisa terekam di otakku.

Lagi asyik-asyiknya mencoba memecahkan soal matematika, aku dikagetkan oleh suara langkah. Belum sampai aku menengok untuk memastikannya, mendadak pandanganku gelap karena terhalang oleh dua telapak tangan yang menutup mataku dari belakang. Tentu saja aku berteriak dan meronta-ronta. Aku yakin bahwa ada orang yang akan menjahatiku. Seiring dengan teriakanku dia lepaskan kedua tangannya, seraya menenangkanku dengan bisik lirihnya.

“Irene, maafkan aku. Terimalah ini dariku!”. Seikat buket bunga mawar merah diserahkan kepadaku.

Aku terbelalak. Ada debaran kencang di dadaku. Aku tak pernah menduga orang yang selama ini selalu hadir di pikiranku, tiba-tiba menyerahkan bunga  cantik. Seolah dia tahu bahwa aku suka sekali bunga mawar. Rasa malu menjalari tubuhku. Panas dingin mendadak kurasakan. Sejenak kupandang buket bunga  itu.

“Agha, apa maksudmu?” Spontan kalimat itu meluncur dari bibirku.

            Bibir Agha sedikit mengembang. Rona merah di wajahnya bisa kuterjemahkan bahwa dia dalam kondisi grogi. Gemetar tangannya tampak jelas hingga pada gerak buket bunga yang belum juga kuterima.  

            “Iren, maukah kamu berteman denganku. Terimalah tanda pertemanan dariku ini!” pintanya terdengar tulus.

            Aku menarik napas dalam-dalam sebelum tanganku terulur menerima bunga di tangannya.

            “Pertemanan yang bagaimana Agha, bukankah selama ini kita sudah berteman selama tiga tahun?” tanyaku menyergap kalimatnya yang tidak jelas maknanya itu.

            “Sebentar lagi kita akan meninggalkan sekolah ini. Akan ada perpisahan antara kau dan aku. Inginnya aku berteman selamanya meskipun kita tidak satu sekolah lagi. Tapi papaku meminta aku harus melanjutkan study di Jakarta,” dia berhenti sejenak tidak melanjutkan kalimatnya. Diusapnya wajahnya yang berkeringat. “Terimalah ini, sebagai tanda bahwa aku tetap akan menjalin rasa seperti yang selama ini bergelora di dadaku. Maukah kamu, Iren?”

            Aku kebingungan. Meski tanpa seucap kata, kuulurkan tanganku untuk menerima buket bunga itu yang merupakan simbol bahwa aku memiliki rasa yang sama dengannya.  

            “Terima kasih, Iren. Sehari setelah ujian selesai, papaku mengajak ke Jakarta untuk mencari Perguruan Tinggi yang cocok untukku.” Agha mengakhiri kalimatnya saat dua teman cewekku datang.

            “Hayo, lagi romantis-romantisan ya,” goda Nindy salah satu dari mereka.

            “He, ayo kembali, Nin. Rupanya kita mengganggu, Nih,” ajak Echa sambil menarik tangan Nindy.

            Dasar Nindy, temanku yang satu ini memang terkenal badung. Tak mau dia menuruti ajakan Echa. Dia justru menggodaku dengan merebut bunga-bunga cantik dari tanganku. Lalu ditemangnya serupa menimang seorang bayi sambil menyanyikan lagu ‘Nina Bobok’. Spontan aku tertawa terbahak-bahak melihat tingkahnya yang lucu. Demikian juga Echa dan Agha. Tak kuat mendapat olok-olok, Agha melarikan diri.

            Malam ini merupakan hari yang kunanti. Aku akan mengajak Agha berfoto bersama setelah acara ini selesai. Aku sengaja berangkat lebih awal agar bisa duduk di kursi paling depan. Dengan begini Agha mudah menemukanku saat dia datang. Namun, sampai acara dimulai aku tak melihat Agha. Aku tak yakin kalau dia berada di bagian belakang.

            Hatiku lega karena acara yang sempat mundur sekitar satu jam, akhirnya dimulai. Hingga Pak Aldy sebagai Kepala Sekolah, sudah maju untuk mengumumkan pemeroleh peringkat terbaik, mataku masih sibuk menelusuri baris-baris tempat duduk cowok. Masih juga tak kutemukan Agha. Aku terkejut ketika namaku dan nama Agha juga disebut di antara sepuluh siswa.

Semua pemegang sepuluh besar diminta maju untuk mendapatkan penghargaan dari sekolah. Gundahku semakin memuncak saat hanya Agha yang tidak tampak. Hingga sebuah pigura besar berisi foto Agha dibawa oleh seorang teman yang mewakilinya. Kulihat beberapa orang yang hadir, mengusap air mata. Lalu aku histeris ketika Kepala Sekolah mengalungkan medali pada foto Agha. Kepala Sekolah mengatakan bahwa Agha mengalami kecelakaan di jalan menuju tempat acara ini.                                                                                                                                                                                                                                                  Bondowoso, 22 Juni 2022              

  

Sabtu, 11 Juni 2022

Menulis Cerita Fiksi Bikin Nagih @1

 


Menulis Cerita Fiksi Bikin Nagih

@1

Oleh : Khatijah,S.Pd

Mengungkapkan gagasan dalam bentuk cerita fiksi itu, gampang-gampang susah. Mengapa gampang? Sebab kalau ada niat, tidak akan ada yang susah. Jika kita punya mimpi untuk menghasilkan tulisan pasti kita akan mengerahkan kemampuan untuk mewujudkan mimpi itu. Sebaliknya, menulis cerita akan terasa susah jika kita mengabaikan kemampuan yang kita miliki. Padahal pada dasarnya setiap orang punya kemampuan untuk menulis. Tinggal kita mengasahnya atau tidak. Bagaimana cara mengasahnya? Jawabannya adalah memulai belajar menulis dan terus menulis. Dengan mulai menulis maka apa yang tidak terbayangkan sebelumnya, bisa terjadi. Pikiran kita akan hidup dan tumbuhlah ide-ide yang tidak disangka-sangka dari mana datangnya.

Menulis cerita fiksi dalam genre apa pun harus selalu mengingat unsur-unsur pembangunnya. Unsur instrinsik yang harus ada dalam cerita antara lain: tema, tokoh, setting atau latar, penokohan, plot, point of veiuw dan pesan. Yang harus kita ingat tugas penulis  fiksi bukan memindahkan realitas sehari-hari ke dalam teks, tetapi mengolah dan mengangkat realitas tersebut menjadi realitas baru, realitas imajinatif (Tengsoe Tjahjono).

Berikutnya kita memilih genre yang akan kita tulis. Bisa pentigraf, cermin (cerita mini), cerpen, atau novel. Semua genre cerita memiliki ciri khas masing-masing, tapi secara umum memiliki unsur-unsur instrinsik di atas.

Sebuah cerita akan selalu didasari oleh tema tertentu. Tema berbeda dengan judul. Tema merupakan pokok masalah yang menjadi dasar pengembangan cerita. Sedangkan judul merupakan nama yang dipakai untuk buku atau bab dalam buku yang dapat menyiratkan  secara pendek isi atau maksud buku atau bab. Tema juga disebut sebagai kepala karangan (KBBI). Seorang penulis cerita bisa memilih tema apa saja misalnya, tema religi, humanisme, heroisme,  romansa, atau tema lain yang disukai.

Tulisan bentuk cerita atau narasi fiksi selalu menghadirkan tokoh atau pelaku cerita. Tokoh adalah pelaku yang mengalami peristiwa. Tokoh sentral adalah tokoh yang paling bayak berperan. Selebihnya tokoh-tokoh tambahan juga bisa dihadirkan untuk membantu jalannya cerita.

Bondowoso, 8 November 2021

Rabu, 27 Agustus 2014

Cerpen Sederhanaku



SEGELAS SUSU
Oleh: Khatijah,S.Pd
Guru SMPN 1 Tapen Bondowoso

Handuk kecil itu tiba-tiba jatuh...
Kupungut, dari bawah tempat jemuran yang airnya masih menetes. Kuseka butiran-butiran bening yang meleleh membasah di keningku. Bahkan butiran-butiran itu juga terasa  mengalir perlahan di balik daster lusuh yang sejak pagi belum sempat kuganti. Jerit bocah-bocah kecil di mulut gang sempit belakang rumah itu mengurai lamunanku.Kuangkat kakiku yang terasa ada beban berat yang membelenggu, tertatih menuju meja kecil bertaplak batik warna biru, yang sengaja diletakkan di teras belakang. HP NOKIA  tipe 7210 yang sering eror itu, masih tergeletak tanpa pembungkus.  Kuraih dengan tanganku yang gemetaran.Kuamati dan kubaca sekali  lagi  huruf-huruf kecil dengan kata  yang disingkat-singkat .”Tik, plg, Inu krtis.” Aku hafal betul,bahwa itu nomor HP Mbak Narti, kakak perempuan satu-satunya, yang kutitipi sementara untuk mengasuh Inu, anakku.
            Gemetaran jari-jariku semakin menjadi, seolah tak mampu menggenggam benda sekecil HP .Ingatanku terfokus pada sosok Inu. Bocah kecil yang lahir dari rahimku tiga tahun yang lalu itu mendera hati dan jiwaku . Masih segar diingatanku, ketika bocah itu merengek-rengek minta susu, sama seperti yang diminum anak-anak tetangga sebelah yang seusia dengannya. Terasa ada belati tajam menghunjam keras,mengiris-iris hati dalam dadaku. Karena aku tak kuasa menghentikan tangis Inu dengan memberinya segelas susu.
Hari demi hari, minggu demi minggu terus bergerak, luka di dadaku semakin menganga,saat Inu tak berhenti menunjuk-nunjuk sebuah gelas yang  berisi susu milik Resa teman bermainnya. Kembali,  sembilu merobek-robek hati dan pikiranku. Lagi-lagi aku gagal memenuhi permintaannya.Kuputar otakku, guna memecahkan batu karang yang menjadi penyebab naluri keibuanku terluka.Ya, terluka atas kesalahan terbesar dari salah yang tak termaafkan dari diriku sendiri.Aku tak berdaya, aku malu pada diriku, aku berdosa kepada anakku, Inu. Hanya segelas susu yang layaknya orang tua lain bisa menyediakan untuk anaknya tiap pagi saja,aku tak bisa.Aku hanya bisa membelinya lewat mimpi dan derai air mata.  Dan di tempat inilah aku ingin mengurai mimpi-mimpiku untuk dapat menyajikan segelas susu tiap pagi kepada pangeran kecilku. Benar, itu adalah mimpi yang selalu muncul di setiap kusuapi Inu dan kuminumi segelas air teh. Aku yakin, bahwa mimpi itu takkan pernah terwujud jika tak pernah ada ihtiar untuk menggapainya. Dan di suatu malam,saat kubersujud di istikharohku,ada kekuatan baja,kekuatan Patih Gajah Mada untuk menyatukan bumi nusantara, membisik, membangunkan nuraniku yang selama ini tumpul,setumpul pisau karatan.Mimpi itu harus terwujud.Dan aku tahu mimpiku tak akan pernah hadir  di sepanjang tidur Bu Nani majikanku.  Demi segelas susu itu,aku beranikan diriku menapaki belantara Jakarta yang panas,dunia baru yang sangat asing bagiku.Demi segelas susu itu juga, bibirku bungkam, tidak pernah  menyanyikan lagu Nina Bobok,yang biasa kubisikkan lirih di dekat  telinga Inu, saat bola mata kecilnya hampir tenggelam di balik kelopak mata  yang lucu.Segelas susu itu pula yang kini membentangkan jarak yang sangat jauh...  antara aku dan keluargaku.      
Hari ini adalah  hari yang ke-lima puluh,sejak kereta kelas ekonomi itu membawaku meninggalkan stasiun kecil yang berpagar melati-melati putih ,meninggalkan lambaian tangan Mbak Nani, , meninggalkan tangis pilu Inu,dan meninggalkan Mas Budi yang tergolek di ranjang tua.Menembus kabut pagi,menuju tempat yang menjanjikan delapan lembaran berwarna merah dengan gambar dua proklamator itu. Tadi malam, ketika jarum jam di kamar tamu rumah besar ini,menunjukkan pukul sebelas, aku sempat membentangkan jari-jemariku, kuhitung satu per satu“oh sepuluh hari lagi.” Tak terasa kata itu terucap dengan mantap. Ya ,.. sepuluh hari lagi, tanganku akan menenteng tas yang berisi susu, keluar dari Swalayan, layaknya orang-orang kaya itu.”Ah , itu sih tidak penting”,kubuang sikap sombongku seketika,saat muncul bayangan Inu memegang sebuah gelas berisi susu.
“Boleh, tapi dua bulan sekali,ya!” pinta Bu Nani nyonya rumah tempat aku bekerja itu, mengiyakan, saat aku minta diberi cuti kerja guna pulang kampung.
”Ah, seperti pegawai kantoran saja.” Pikirku,menggelitik.
Berarti sepuluh hari lagi aku akan bangga menyaksikan  buah hatiku terkekeh setelah minum susu yang aku bayar dengan cucuran keringatku. Tak kusadari  bibirku tersungging sedikit senyum, yang  rasanyasenyum itu sudah bertahun-tahun tak terlihat, semenjak penyakit aneh itu memenjara Budi, suamiku.
Kini, karena sms ini senyum itu kembali lenyap tak berbekas. Musnahlah semua warna-warna indah yang sejenak tersapu menghiasi kanvas pikiranku.Lenyap sudah angan-angan untuk menyaksikan kemenanganku dalam mewujudkan mimpi besarku.
Aku tersentak bangun ketika becak yang membawaku dari stasiun kecil itu berhenti, tepat di depan ruang UGD. Aku turun dengan langkah gontai..tanpa sebungkus susu di tanganku. Kubuka dompet, kuintip tinggal beberapa lembar ratusan ribu yang tersisa.
           



Entri yang Diunggulkan

Puisi-Puisiku

  Puisi-Puisiku Oleh: Khatijah   1.        MENDEKAP HARAP Kupatahkan ragu di tiang rapuh Menjaga rasa cita pada setia Di cadas lin...