Warti
Oleh: Khatijah, S.Pd
Mata Warti belum juga terpejam, saat dentang jarum
jam tetangga sebelah berbunyi dua belas kali. Sudah dua jam berlalu ia
berbaring di atas dipan kayu, beralaskan kasur tipis, tanpa sprei. Lolong
anjing dan deru angin musim kemarau membuat Warti bergidik ngeri. Ditutupnya
telinganya dengan kedua telapak tangannya. Mata dan pikiranya terbang melayang
jauh menjelajah entah ke mana. Sesekali matanya melirik ke arah dinding yang
setengah bagian bawah, tembok yang berwarna putih pucat, dan setengah bagian
atas terbuat dari anyaman bambu, yang
warnanya tampak kusam kehitaman. Angin
menyelusup di lubang-lubangnya, terasa merobek pori-pori Warti.
Gemerutuk gigi menahan hawa dingin dan segala yang menekan jiwanya. Warti
mencoba berbalik arah, karena lehernya terasa pegal. Sesekali ia pun telentang.
Didongakkan mukanya ke atas. Genting kaca yang biasanya memancarkan sinar bulan,
kini terlihat hitam pekat. Hanya terlihat satu kerlip bintang muncul di
sela-sela gegelapan genting kaca itu. Pandangan matanya berubah tertuju ke
sebelah kiri. Tampak gadis kecil terbaring tertidur pulas. Reflek,diraihnya
selimut doreng yang garisnya tidak terlihat jelas itu sebagai penutup tubuh mungil Nani. Demikian juga
Yanto,Si sulung itu juga sudah mendengkur. Diliriknya TV kecil 15 inc yang ada
di pojok depan masih menyala. Tiba-tiba pikiran warti menerawang jauh dan
jauh...
“Dik, ini aku
bawakan oleh-oleh, ayo tebak, apa ini?”,Parto menggoda istrinya.
“Oleh-oleh apa to ,Mas.mbok jangan guyon!”
Hati Warti jadi
penasaran ingin tahu,apa sebenarnya yang dibawa Parto suaminya, itu. Warti
heran dan tidak percaya akan kata-kata suaminya tadi.Walaupun dalam hati Warti
terbersit rasa gembira mendengar kata ‘oleh-oleh’ yang keluar dari mulut
suaminya itu.Baru kali ini, Warti menyaksikan wajah Parto berseri-seri. Biasanya
ia datang dengan wajah muram, karena ia hanya bisa memberikan uang hasil
kerjanya yang tidak cukup untuk makan besok pagi. Itu kalau ia tidak
mendapatkan kerja bangunan di proyek. Ia mencari ikan di waduk Gajah Mungkur
yang jaraknya kurang lebih satu kilo meter dari rumahnya. Dengan peralatan
sederhana saja tak akan ia mendapatkan ikan banyak. Maka tak heran kalau hasil
menangkap ikan itu tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Tapi,
warti tidak pernah menuntut suaminya. Dulu di mata Warti, Parto adalah
satu-satunya laki-laki yang sempurna. Kulitnya hitam manis, hidung sedikit mbangir, tinggi badan tidak kurang dari
175 Cm, lumayanlah untuk ukuran orang Indonesia, dan rambut hitam lurus,serta
senyumnya itu, yang selalu menggoda Warti sejak ia berjumpa pertama kali Lima
belas tahun yang lalu. Lebih dari itu Parto adalah laki-laki yang baik,
tanggung jawab, pengertian, dan sayang kepada keluarga.
Tidak sabar
Warti mendekati kardus itu. Dirabanya kardus itu dan diamat-amatinya tulisan
yang tertera di samping kardus itu. Dari tulisan di samping kardus itu Warti
tahu, benda yang ada di dalamnya. “Benarkah ini...?” gumamnya.
“Buka saja..!”
kata Parto.
“TIVI .....?” teriak Warti. Dipeluknya suaminya
erat-erat,”terima kasih, Mas...Terima kasih, ya...” Berkali-kali warti mencium
tangan suaminya.
Malam itu mereka
berempat tidur beralaskan tikar di depan TV. Seolah-olah mereka merayakan
keberhasilan perjuangan sang ayah dalam
mewujudkan impian mereka. Betapa tidak, untuk bisa membeli TV, Parto harus tidak
bertemu dengan keluarga selama tiga bulan. Ia bekerja sebagai buruh bangunan di
kota Solo. Sehari-harinya ia hanya makan satu kali, itu pun jauh dari kategori
sederhana. Nasi bungkus, dengan seiris tempe dan tahu bacem sebagai lauknya. Bagi
dia,itu merupakan nikmat yang tak terhingga, yang selalu disyukuri dalam setiap
doanya. Dan ketika kantuk tiba di malam yang gelap gulita, ia pun rela tidur
berselimutkan hawa dingin di dalam tenda yang di sediakan proyek. Saat itu,
Parto punya prinsip bahwa seluruh hidupnya untuk Warti dan anak-anaknya.
Sudah lama Warti
bermipi untuk memiliki TV sendiri. Ia merasa tidak enak dengan Bu Sastro
tetangga sebelah, karena kedua anaknya, Yanto dan Nani selalu menonton TV di
rumahnya. Masih segar diingatan warti ketika suatu hari Nani ingin menonton TV
di rumah Bu Sastro, tapi mendadak ia menangis pulang.
” Ibu...kapan
Bu, kita punya TV?”, Isak Nani terasa mengiris hati warti.
“Besok pasti
Bapak bisa beli TV, Nak...,tapi harus rajin menabung dulu ya...sekarang nonton
saja di rumah Bu Sastro.”
“Tidak Bu, Nani
gak mau.”
“Memangnya
kenapa, Nak”
“Tidak Bu...”,
ucap Nani terbata-bata.
“Ya ,
sudah...kalau gak mau lihat TV, ya jangan menangis!”,bujuk warti. Tapi Nani
terus sesenggukan, menambah iba hati warti. Tak terasa air mata bening
membasahi pipi warti.
“Bu...tolong
anaknya diajari yang bener ya!”,tiba-tiba Bu Sastro berteriak-teriak sambil
menuding-nuding ke arah Nani. “Dasar kere... pencuri..”, kalimat yang kedua itu bak belati
menghunjam di dada Warti.
“Sebentar
Bu, memangnya ada apa ya Bu dengan anak
saya?”
“ Jangan
pura-pura ya ..., kan Bu Warti yang menyuruh Nani mencuri uang saya?” desak Bu Sastro ketus.
“Demi Allah Bu,
tidak, kami tidak pernah mengajari anak saya mencuri, kami memang orang tidak
punya, Bu, tapi, tidak... kami tidak pernah
mencuri, apalagi mengajarkan mencuri kepada anak-anak. Mencuri itu
perbuatan dosa, Bu...” Warti memberi penjelasan kepada Bu Sastro sambil
sesekali mengusap air matanya yang berjatuhan.
“Siapa lagi yang
mencuri uang saya kalau bukan Nani, hanya dia yang keluar masuk rumah saya.”
Tuduh Bu Sastro makin ketus saja.
Berkali-kali
warti mendesak Nani dengan pertanyaan lembut,tentang tuduhan Bu Sastro itu.
Nani menggeleng dan terus sesenggukan. Hati kecil Warti meyakini bahwa
pengakuan gadis kecilnya itu benar. Karena ia tahu betul perilaku Nani.
Pembelaan warti
terhadap tuduhan Bu Sastro itu sia-sia. Hal itu, terbukti dengan perubahan
sikap Bu sastro terhadap keluarga Warti, termasuk kepada anak-anak warti, Nani
dan Yanto. Tidak hanya itu, tetapi tetangga yang lain jadi ikut-ikutan membenci
Warti dan keluarganya. Warti hanya pasrah menerima fitnah yang menyakitkan
hatinya itu. Ia tak pernah lepas berdoa dan berdzikir kepada Allah di setiap
penghujung sholatnya, agar ia terhindar dari segala fitnah yang keji itu, dan
ditunjukkan bahwa yang benar itu benar.
Sejak itu, Yanto
dan Nani tidak lagi menonton TV milik Bu Sastro. Walaupun mereka ingin sekali
seperti anak-anak lain yang bisa bercerita tentang kisah-kisah film kartoon, tetapi
mereka tetap menahan diri.
Sendiri,
warti menyaksikan film yang seolah diputar
kembali , muncul bermain-main di depan matanya. Disekanya butiran air mata
bening yang mengalir perlahan. Sayup-sayup suara satwa malam singgah di telinga
Warti. Lalu ia beranjak mematikan TV.
“ Bu, mau pipis.”
, tampak Yanto bangun dan pergi ke belakang.
“ Ya, mosok
takut Yan?”, tanya warti.
“ Tidak, Bu.”
Tidak lama
kemudian terdengar Yanto sudah kembali ke kamarnya. Dengan hitungan menit saja,
Yanto sudah mendengkur lagi. Tapi, mata Warti belum juga mau terpejam.
Samar-samar terdengar suara tiang listrik yang dipukul oleh Bapak-bapak yang
sedang melaksanakan siskamling. Entah, sudah berapa kali Warti mencoba
memejamkan matanya, tapi hati dan pikirannya tidak mau. Ia pun memutuskan untuk
pergi ke kamar mandi, Warti ambil wudhu dan sholat malam. Tak henti-hentinya
bibir Warti mengucap dzikir dan doa.
****
Kabut
pagi menyapu lereng-lereng perbukitan yang berjajar rapi bak hiasan alam, kokok
unggas bersautan mengiringi perempuan-perempuan desa yang berangsur bangun dari
peraduannya. Di sebelah timur mata memandang, tampak merona sapuan warna sang
raja pagi,yang dengan senyum ramahnya menyapa dedaunan yang tampak mulai mengering. Kilau keemasan
genangan air waduk yang surutnya sudah hampir seperempat, menyebarkan semangat
bagi para lelaki nelayan. Petani-petani mulai beranjak meninggalkan selimut
mereka sebelum lalu lalang menuju ladang-ladang mereka yang hampir kekeringan.
Sebuah rumah
berukuran tidak lebih dari lima kali sepuluh meter, berdinding bambu, berlantai
plester, dan berpagar pohon beluntas tampak bersih dan rapi. Tanaman bunga
budgenvil dengan warna ungu, putih, orange, merah dan kuning kecoklatan,
menjulur-julur ke bagian bawah atap genting.Pasti rumah itu selalu dirawat oleh
tangan-tangan terampil dengan perasaan tulus. Seorang wanita dan dua orang anak
tinggal di dalamnya.
Mata Warti
terlihat sembab karena kurang tidur semalam. Hawa dingin yang terasa menggigit
tak menghalangi melaksanakan tanggung jawabnya sebagai seorang manusia, terutama
bagi kedua buah hatinya. Tangannya yang jauh dari hitungan halus itu, mulai
menata nasi di bakul yang terbuat dari anyaman bambu.Kuah soto, col,kecambah,
gorengan bawang, dan kentang yang sudah dipersiapkan sejak sore kemarin, siap
untuk dibawa ke warung sotonya di pasar Wuryantoro. Sendiri ia menapaki
bebatuan terjal dengan bakul di punggung dan sebuah tas besar ditentengnya,
lagi-lagi pikirannya melayang.
Dulu,ia bersama
Parto pernah berjualan ikan nila bakar di sekitar tempat wisata Gajah Mungkur.
Tetapi, karena kalah bersaing dengan restauran dan pedagang besar, akhirnya
mereka memutuskan untuk banting setir berjualan soto di Solo.Lumayan. Berkat
usahanya, mereka bisa menabung untuk membeli rumah dan tempat tinggal yang
bagus. Dari warung soto sederhana, berubah menjadi depot soto dengan sepuluh
karyawan. Pelanggan “SOTO BU WARTI”,
begitu nama depotnya, makin hari semakin banyak. Bahkan ia membuka cabang di Wonogiri dan di
Sragen.Itu semua berkat kelihaian Warti dalam mengolah dan meracik masakannya.
Serta keuletan Warti dalam memanagemen usahanya.
Dan Warti pun
berubah penampilan. wajahnya selalu dibersihkan dengan susu pembersih setiap
pulang dari depotnya, dan tak lupa meluangkan waktu untuk faceal di salon
langganannya. Dengan kulit yang bersih terawat,menambah cantik wajahnya. Kulit Warti
yang putih, dan wajah bulat telor, mata lebar, bulu mataa lentik, menambah
sempurna kecantikannya, walaupun tanpa make up tebal. Tinggi badannya tidak
seberapa tinggi, tetapi dengan berat dan
tinggi seimbang itu membuat body warti makin terlihat seksi. Seminggu tiga kali
ia mengikuti senam aerobik dan fitnes di sebuah sanggar kebugaran di kawasan
Jalan Panembahan Senopati, Solo.
“Bu, Lies itu
sepertinya kok sirik ya, sama Ibu.” Suatu hari Umi bicara dengan bisik-bisik.
“Lho, ndak boleh suudhon, mungkin itu menurut
perasaanmu saja.” Jawab Warti sambil menghitung-hitung daftar belanjaan besok.
“Sungguh, Bu
...”
“Sett..,hayo
sudah Um, itu lho ada pembeli datang!”
Umi bergegas
menemui tamu yang mencari-cari tempat duduk.
”Ayam..apa
babat..Pak?”tanya Umi kepada pelanggan yang terlihat masih berunding dengan
temannya itu. Ternyata kedua pelanggan itu ingin makan soto ayam plus minum es
jeruk.
Memang benar,
tanpa sepengetahuan warti, Lies sering mencibirkan bibirnya.Tanda bahwa ia iri
melihat kecantikan majikannya itu.
“Lies, ambilkan
dompetku di meja kasir itu.” Kata Parto disertai pandangan penuh arti.
Dengan berjalan
sengaja dilenggang lenggokkan Leis menuju meja kasir. Matanya melirik Parto,
yang duduk tidak jauh dari pintu depan. Mata Parto tak berkedip melihat
pemandangan yang sangat menarik baginya itu. Darah lelakinya bergejolak.
Nafasnya tiba-tiba menjadi tidak beraturan. Dan ini bukan yang pertama kalinya
Lies berakting di depannya.
“Ini, Pak!”,kata
Lies gadis hitam manis salah satu karyawannya itu menyerahkan dompet kulit
warna cokelat tua yang diambil dari meja kasir.
Parto menerima
dompet itu dengan tak lepas-lepas memandangi gadis itu. Lies terlihat makin genit,karena mendapat
perhatian dari majikannya.
Parto buru-buru
menetralisir keadaann, ketika ia sadar bahwa Warti hanya berjarak
kira-kira tiga meter tepat di
hadapannya.
Memang, semenjak
depot sotonya laris, penampilan Parto
semakin keren saja. Celana jins dan T-sert mahal selalu membalut tubuhnya. Aroma
parfum segar menciptakan suasana romantis saat wanita berpapasan dengannya. Terlebih lagi,kini sebuah mobil Inova warna
hitam ada di tangannya. Mobil ini yang selalu mengantar Parto Ke beberapa
cabang depotnya.
Hati Warti
menjadi tidak nyaman, ia merasa ada sesuatu yang tidak wajar pada diri Parto
suaminya. Dan kini ditambah sikap Parto yang aneh, yang disaksikannya sendiri.
Batin Warti menjadi terisris melihat gelagat tak sedap di hadapan matanya.
Ah...tidak mungkin...lagi-lagi Warti menepis pikiran-pikiran buruknya.
****
Sedari pagi
Parto belum juga pulang. Hp yang selalu berada di saku jinsnya juga selalu mall
boks. Hingga malam menjelang pagi, dan pagi beranjak siang, siang berubah
menjadi gelap, segelap hati Warti. Seseorang yang ditunggunya itu belum juga
tampak di hadapannya. Hatinya gelisah...ia mengkhawatirkan pria yang dicintai
seumur hidupnya itu. Ia panik jangan-jangan ada sesuatu yang membuat kekasih
hatinya itu celaka. Tapi,sekali lagi warti membuang pikiran-pikiran buruk itu.
“Bu.....,”tiba-tiba terdengar suara parau
memanggil dari balik dinding luar, diiringi langkah-langkah kaki yang
kedengaran terseret-seret. Warti terkejut, desiran darahnya terasa naik di
ubun-ubun. Dadanya berdegup kencang, keringat dingin membasahi muka dan sekujur
tubuhnya. Dibukanya pintu,”Pak...Wiro???”, sangkaan Warti keliru. Ternyata
bukan Parto.
Warti melangkahkan
kakinya yang putih bersih itu ke arah laki-laki paroh baya yang biasa membantu
mengangkat barang belanjaan Warti dari pasar itu utuk membukakan pintu. Dengan
langkah-langkah gontai ia masuk ke dalam rumah. Warti kaget mengapa Pak Wiro
datang dengan kondisi seperti itu, malam-malam lagi.Dibantunya laki-laki itu
duduk di kursi panjang dan disandarkannya badannya ke dinding. “Sebentar ya
,Pak Ibu buatkan teh dulu.”Laki-laki itu mengangguk lesu.
Sedikit demi
sedikit mata Warti terbuka. Tampak kunang-kunang beterbangan di depan matanya.
Detak jantungnya berangsur normal. Tangannya yang halus masih tampak lunglai.
Sesekali Ibu Tatik dan beberapa pembatunya mengusap keringat dingin di wajah
dan tangannya. Warti menenggelamkan wajahnya di atas bantal warna jingga yang
bersulam benab-benang sutra itu. Ditumpahkan segala pilu hatinya dengan derai
air mata yang tumpah bak air bah menjebol dinding kota. Isak tanngis dan sedu
sedan membuat Bu Tatik Wanita yang setia nembantu di dapur Warti itu,ikut-ikutan
mencucurkan air matanya.Nani dan Yanto juga menangis sesenggukan di sebelah
tubuh Warti. Kedua anaknya itu juga merasakan pahitnya penderitaan yang
diterimanya kini. Suara warti bertambah parau,akibat jeritan-jeritan yang
terpaksa keluar dari kerongkongannya tadi malam. Barangkali sempat terlontar
kata-kata kotor, atau ucapan tak senonoh di sela jeritan dan teriaknya, Warti
tak tahu itu. Yang ada kini hatinya berkkeping-keping. Hatinya luluh lantak. Hancur.
Dunia terasa gelap. Sesuatu yang pernah terbersit di dalam pikirannya dulu, sesuatu
yang yang tak dihiraukannya, ternyata benar-benar terjadi. Dan kini, lebih dari apa yang dipipirkannya...benar-benar
nyata dan bukan mimpi. Warti menyesali kebodohan dirinya. Mengapa ia selalu
percaya kepada suaminya? Mengapa ia tak menghiraukan sikap Lies..? Mengapa, dan
mengapa???
Matahari
terlihat lebih dari sepenggalah, saat beberapa mobil petugas mendatangai rumah
besar Warti. Dengan baju yang bagi Warti menyeramkan, mereka tampak menuliskan
sesuatau di atas kertas yang ada di tangannya, sambil sekali-sekali
memperlihatkan tingkah penuh selidik.
“Maaf, Ibu ini siapa?”
Seorang petugas menanyai Warti.
“Ini istri syah
juragan Parto, Pak.” Bu Tatik menyela.
Warti mengangguk
dengan pandangan lesu.
“Maaf Bu kami
hanya menjalankan tugas.”
Warti tahu betul
apa yang akan dijalankan oleh para petugas itu. Pak Wiro sudah menceritakannya
semalam. Itulah yang membuat Warti histeris hingga tak sadarkan diri. Pak Wiro
yang membawa berita itu pun sebenarnya tak tega untuk menyampaikan kepada
majikan yang baik hati ini. Maka dari itu, Pak Wiro hampir pingsan karena tak
mampu ikut menanggung beban majikannya. Bagi Pak Wiro tak pantas juragan
perempuannya yang lemah lembut,dan penuh kasih sayang kepada orang-orang kecil
sepertinya itu, memikul beban begitu beratnya. Lebih dari itu, Pak Wiro juga
tahu bahwa Bu Warti adalah wanita yang setia dan sayang kepada suaminya.
Juragan Parto adalah satu-satunya laki-laki yang namanya selalu mengalir di
setiap aliran darahnya.Apa yang ia cari...?”, Istri begini cantik, lembut,
baik, dan setia, begini kok disia-siakan. ?”
Pak Wiro menghela nafas panjang.
“Pak, bolehkah
saya melihat jenazah suami saya?” tanya Warti penuh harap. Polisi pun
mengiyakan dengan rasa iba yang mendalam.
Sejak saat itu juga Warti benar-benar paham bahwa
Lies karyawannya yang cantik dulu berhasil merayu Parto suaminya. Sampai-sampai
semua surat rumah , tanah, dan semua usahanya yang dirintisnya mulai dari nol,
diserakan semua kepada Lies istri
mudanya. Tidak cukup sampai di situ. Parto suami yang dicintainya, ayah dari
anak-anaknya,tidak hanya direbut, tetapi ia pun menjadi tumbal atas keserakahan
Lies. Semua harta bendanya terkuras
habis. Mobil, semua depot, termasuk rumah seisinya... ludes dijual oleh Lies.Dan
semua hasil penjualannya hanya digunakan untuk memuaskan nafsunya di meja judi.
Dan kini, setelah semua tak tersisa, nyawa pun jadi sasaran berikutnya. Parto, suami
yang didapat dengan segala cara itu pun dihabisi oleh orang suruhan Lies...
Wuryantoro, adalah satu-satunya sandaran hidup
Warti, dengan kedua belahan jiwanya, Nani dan Yanto. Mereka bertiga mengawali
mengukir hidup yang harus dijalaninya. Di desa tempat tumpah darahnya, tempat
ibu yang melahirkannya, tempat ia merenda kasih dan cinta yang telah
ditinggalkannya beberapa tahun yang lalu.Ia kembali.
Bondowoso,
27 Juni 2010