Buah
Manis Sebuah Perjuangan
(Resensi
Buku)
Oleh:
Khatijah
Judul
Buku: Ranah 3 Warna
Jenis
Buku: Novel
Pengarang:
A. Fuadi
Penerbit:
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Kompas Gramedia
Cetakan:
Ketiga belas, Oktober 2021
ISBN:
978-979-22-6325-1
Tebal:
469 halaman
Nama Ahmad Fuadi terasa tidak asing
bagi penggemar novel tanah air. Laki-laki yang lahir di Bayur, kampung kecil di
pinggir Danau Maninjau, Sumatera Barat tahun 1972 ini, terkenal dengan buku
pertamanya yang berjudul Negeri 5 Menara, dengan mengusung kalimat bahasa Arab “man jadda wa jada”. Sebagai seorang
alumni Pondok Modern Gontor, “mantra” yang diperoleh dari gurunya itu menjadi
pegangan setiap dia melangkah. Rupanya kalimat yang artinya ”Barang siapa yang
bersungguh-sungguh, pasti berhasil”, benar-benar membawanya menjadi orang yang
sukses. Menjadi wartawan majalah tempo adalah hal yang digeluti setelah lulus
kuliah Hubungan Internasional, UNPAD. Tahun 1999 dia mendapat beasiswa untuk
kuliah S-2 di School of Media and Public Affairs, George Washington University,
USA. Hebatnya, dia adalah orang yang selalu bersemangat melanjutkan sekolah
dengan mencari beasiswa. Hingga akhirnya 8 beasiswa untuk belajar ke luar
negeri diraihnya. “Man jadda wa jada” benar-benar menjadikan dia sukses meraih impiannya. Kesuksesan itu juga dapat dilihat dari novel pertamanya “Negeri 5 Menara’ dan disusul
novel kedua yang berjudul “Ranah 3 Warna”. Bahkan kedua buku ini sukses
difilmkan, selain laris manis di pasaran dalam bentuk buku cetak dan digital.
Membaca novel “Ranah 3 Warna” sama
halnya dengan menyaksikan film berdurasi
panjang tentang perjalanan kehidupan seorang pemuda bernama Alif Fikri yang
penuh mimpi dan cita-cita. Sabar adalah senjata yang dipegang dalam menggapai
mimpinya. Hingga akhirnya pemuda asal Maninjau Sumatera Barat ini, bisa
berkelana ke Bandung, Amman, dan Saint Raymond di Provinsi Quebec, Kanada dalam
ranah yang berbeda. Inilah yang menjadi gambaran makna judul Ranah Tiga Warna. Semangat juang dan kesabaran merupakan dua hal
yang tidak pernah ditinggalkan dalam setiap langkah hidupnya. Digambarkan dalam
novel ini bahwa sebuah impian harus benar-benar dikejar dan diperjuangkan.
Tidak gampang menyerah dan harus dilakukan dengan segenap kesungguhan. Menuai
kesuksesan itu tidak serta-merta, tetapi perlu proses yang penuh dengan
halangan dan rintangan. Semangat dan perjuangan berdarah-darah perlu dilakukan untuk menyingkirkan hambatan
tersebut.
“Ranah 3 Warna” merupakan novel yang berisi
kisah lanjutan tokoh Alif Fikri dalam novel “Negeri 5 Menara”. Diceritakan pada
bagian awal novel ini bahwa selepas dari pondok, Alif masih tetap bermimpi
menjadi seperti Habibie, berkuliah bahkan sampai ke luar negeri. Hinaan dan
cemoohan pun datang bertubi-tubi. Randai seorang temannya, menyangsikan
keberhasilan Alif. Cibiran selalu dilontarkan bahwa Alif tidak mungkin bisa lulus UMPTN. Namun, cemoohan
itu justru menjadi cambuk. Tentu saja tidak mudah bagi seorang Alif yang bukan
lulusan SMA untuk mengejar ketinggalannya. Padahal, setiap perjalanan panjang
selalu dimulai dengan langkah pertama.
Tidak
ada yang tidak mungkin. Berkat pertolongan ayahnya dia bisa mengikuti ujian
persamaan SMA.Tidak cukup dengan itu, tapi belajar keras untuk mempersiapkan
diri mengikuti UMPTN dilakukan dengan tidak
biasa-biasa saja. Dia yakin bahwa usaha yang melebihi rata-rata seperti yang
ditanamkan oleh gurunya di Pondok Madani, akan membuatnya sukses. Gelora
semangat yang dibarengi dengan kegigihan usahanya, akhirnya mewujudkan impian
pertamanya tercapai, lulus UMPTN.
Konflik-kinflik
yang dibangun dalam novel ini begitu rapat dan kompleks. Impian demi impian
muncul begitu deras di pikiran Alif ketika dia sudah memasuki dunia kuliah di
salah satu perguruan tinggi di Bandung. Impian-impian itu berjalan seiring
hadirnya masalah-masalah baru yang mengiringi. Keinginan menjadi seorang
penulis merupakan salah satu konflik batin yang dialami oleh tokoh ini. Betapa
dia kecewa dengan hasil tulisannya yang selalu ditolak oleh media. Namun, dia
tidak patah semangat dengan berkali-kali gagal, berkali-kali pula dia berusaha
menakhklukan rintangan.
Kegagalan dan kesuksesan silih
berganti. Banyak rona-rona yang menghambat sebuah mimpi. Kondisi eknomi dalam
titik terendah tidak jarang dialami oleh seseorang. Dalam novel ini rupanya
Ahmad Fuadi ingin memberikan motivasi bahwa kondisi seburuk apa pun, dapat
dilewati, asalkan tertanam kesabaran dalam diri. Tentu saja harus melalui
berbagai cara sebagai bentuk perjuangan seperti yang digambarkan melalui tokoh
ceritanya, Alif. Keterpurukan itu dialami oleh Alif ketika ayahnya meninggal
dunia sedangkan ibunya masih harus membiayai kuliah Alif dan dua adiknya di
kampung. Banyak usaha yang dijalani Alif demi menyambung hidup di perantauan
dan tidak gagal kuliahnya. Mulai dari berjualan dagangan orang yang ditawarkan
dari pintu ke pintu, sampai malang melintang berusaha sukses pada dunia
menulis. Itu semua dilakukan agar dia bisa mandiri dan tidak memberatkan
ibunya.
Tangguh,
ulet, dan tidak mudah menyerah, itulah Alif. Usaha yang dilakukan dengan
sepenuh hati dan sanggup bersabar mampu meluluskan ujian yang begitu berat.
Begitulah, pengarang buku ini menanamkan “mantra” keduanya “man shabara zhafira”. Sebuah kalimat
yang mampu memotivasi bahwa orang yang sabar maka dia yang beruntung.
Konflik
pedih juga dialami Alif ketika dia hampir lolos mengikuti ujian pertukaran
pemuda dengan luar negeri. Luar negeri yang menjadi mimpinya sejak lama. Namun,
tidak mudah mewujudkan impian itu. Ada satu ujian praktik tentang seni yang
membuatnya nyaris gagal meskipun ujian tulis sudah lulus. Kemampuannya di
bidang menari dan menyanyi memang sangat lemah, tidak sama dengan temannya
Randai dan Raisa. Meskipun dia berlatih sekuat tenaga, tapi hasilnya tetap mengecewakan.
Lalu dia teringat akan ajaran Kiai Rais di Pondok Madani tentang filosofi dua
golok yang satu tajam mengkilat sedangkan golok satunya tumpul dan karatan. Keduanya
sama-sama digunakan untuk memotong sebuah tongkat kayu. Ketika sang kiai
mengayunkan golok tajamnya ke arah kayu itu, tanpa melihat dengan fokus dan
dengan tenaga sekadarnya, tidak serius dan tidak sepenuh hati, hasilnya golok
meleset dan tongkat tidak putus. Selanjutnya dia mengambil golok yang karatan.
Kali ini wajah Kiai Rais sangat serius. Dengan segenap perasaan dan kecepatan
tinggi diarahkan golok itu ke arah tongkat kayu. Hasilnya pun sama, tidak
putus. Lalu dia mengangkat tangannya lagi dan menghajar bertubi-tubi dengan
sekuat tenaga, tapi belum juga putus. Dengan kesabaran Kiai Rais terus
mengayunkan tangannya menghajar tongkat berkali-kali dengan tekun, barulah
berhasil mematahkan tongkat itu. (Halaman 195)
Dapatlah
diambil makna dari peristiwa dua golok itu, bahwa orang yang dikaruniai bakat
hebat dan kecerdasan, tanpa diikuti dengan usaha keras, ketekunan sepenuh
tenaga, dan niat maka mimpinya tidak akan tercapai. Berbeda dengan orang yang
memiliki bakat biasa-bisa saja dan otak tidak cemerlang, tapi kalau mau bekerja
keras, tidak pernah lelah memperjuangkan kesuksesan, mau mengulang dan
mengulang dengan serius, akhirnya keberhasilan akan menyertai. Itulah yan
menjadi dasar Alif untuk memperjuangkan mimpinya yang tinggal seujung jari.
Meski penampilannya menari dan menyanyi gagal, dia tidak pantang menyerah. Dia
mencoba menjual keahlian yang tidak
dimiliki peserta lain, yaitu menulis. Dia sodorkan setumpuk kliping
tulisan-tulisannya yang pernah dimuat oleh media. Dengan jalan itu, akhirnya
dia sukses menjadi salah satu pemuda Indonesia yang terpilih ke luar negeri.
Perasaan cinta terhadap orang tua,
tanah kelahiran, dan negaranya tampak benar digambarkan ketika Alif menjadi
duta bangsa di Quebeck Kanada. Bahwa sesukses apa pun, di mana pun dia berada,
tetap saja bangga dengan tanah airnya, Indonesia. Kebanggaan terhadap tanah
airnya diwujudkan dengan berperilaku baik, bekerja keras, dan berusaha
berprestasi mengalahkan pemuda negara lain. Bahkan rasa cinta terhadap budaya
tetap melekat di hatinya sekalipun dia berada di luar negeri yang menjadi
impiannya.
Kepiawaian pengarang dalam
mendiskripsikan setting, membuat saya seakan-akan turut berpetualang di Danau
Maninjau yang elok, Kota Bandung yang sejuk, Kota Amman di Jordania, dan Saint
Raymond di Provinsi Quebeck, Kanada. Keindahan salju yang datang saat musim
dingin tiba seolah ikut kurasakan. Demikian juga dengan musim gugur dan musim
semi. Tidak hanya itu, kehebatan seorang Ahmad Fuadi sebagai pengarang novel
ini sangat pandai dalam membangun konflik-konflik dan
menggambarkan karakter tokoh.
Novel
bermuatan multi pesan inilah yang membuat saya ingin terus membuka lembar demi lembar
untuk menuntaskan membaca hingga akhir cerita. Semangat yang tertanam di dalam
jiwa pengarang melalui tokoh utamanya Alif ini seolah mengalir juga di aliran
darah saya. Hal ini tidak terlepas dari
latar belakang pengarang. Dengan POV orang pertama tampak benar bahwa banyak
peristiwa dalam novel ini yang terinspirasi dari pengalaman pengarang.
Kesuksesan, mimpi, dan harapan
memang sudah diraih Alif, tapi bukan berarti tidak ada yang gagal. Cinta yang
merupakan masalah universal, belum bisa diraihnya. Di situlah kekalahan Alif.
Dia terlalu berhati-hati merawat rasa buat temannya, Raisa. Rencana yang sudah
tertulis di selembar kertas harus gagal disampaikan karena Randai terlebih dahulu
melamarnya.
Ada sebuah pesan menarik yang perlu
menjadi bahan renungan bahwa hidup itu masalah penyerahan diri. Siapa pun yang
yang mewakilkan urusannya kepada Tuhan, maka Dia akan mencukupkan semua
kebutuhan kita. (Halaman 35)
Begitu sarat nilai-nilai
yang dapat kita petik dari novel yang ditulis dengan bahasa yang mengalir deras
dengan diksi-diksi yang indah ini. Nilai moral, budaya, sosial, agama, dan
cinta tanah air melingkupi novel ini. Membaca novel ini, tidak hanya membuat
saya terhibur, tapi menumbuhkan semangat luar biasa. Liku-liku perjalanan yang
dimulai dari sebuah mimpi dan akhirnya mimpi itu berhasil diraih, sangat
menginspirasi. Man shabara zhafira,
kesabaran merupakan senjata yang pantas ditanamkan di jiwa ini. Lebih tepat
lagi jika novel ini dibaca oleh anak-anak muda yang masa depannya masih
panjang. Mereka bisa mencontoh hebatnya perjuangan seorang Alif sebagai tokoh
di dalam novel ini. Pemuda yang tangguh, penuh semangat, dan tidak mudah
menyerah dalam menggapai impiannya. Impian yang diperoleh tahap demi tahap
dengan mengalahkan berbagai tantangan. Itulah kehebatan novel ini. Sedangkan kekurangannya hampir tidak ditemukan dalam novel ini.
Peresensi
Khatijah
Khatijah
dilahirkan di Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Bondowoso Jawa
Timur menjadi tempat tinggal sejak
menjadi guru di SMPN 1 Tapen. Ada 10 buku
karya tunggalnya: Sekeping
Rindu (Kumpulan Cerpen: 2020), Selendang Merah Jambu (Novel: 2020),
Rinduku
di Antara Bunga Ilalang (Novel: 2020), Sejingga Rembulan (Novel:
2021), Puspa Indah Telaga Rindu (Kumpulan
Cerpen: 2021), Anyelir Merah Darah (Novel: 2022), Seikat Mawar Ungu (Kumpulan Cerpen: 2022). Elegi di Kaki Bukit (Novel: 2023), Aneilese (Novel:2023), Pusi dan Kupu-Kupu (Cernak: 2023).Penulis pernah meraih predikat pemenang kedua penulis buku fiksi terbaik
pada Lomba Temu Nasional Guru Penulis MediaGuru tahun 2022 di Jakarta. Dia juga
berkontribusi 38 buku Karya Antologi.