Kamis, 09 Maret 2023

Kekuatan Cinta Antara Anak dan Bapak dalam Miracle In Cell No. 7

Kekuatan Cinta Antara Anak dan Bapak dalam Miracle In Cell No. 7

Oleh: Khatijah


Foto: Diambil dari Gogle

 

Bagi Anda yang hobi menonton film drama, Miracle In Cell No. 7 versi Indonesia ini sangat sayang untuk dilewatkan. Banyak adegan yang menguras air mata. Namun, suatu ketika juga dituntut tertawa terbahak-bahak karena melihat kelucuan para tokoh seperti Indro Warkop, Tora Sudiro, dan kawan-kawannya, yang berperan sebagai narapidana di dalam penjara. Bukan hanya itu, esensi film ini mampu membangun karakter bagi penonton yang benar-benar menghayatinya. Begitu piawainya Hanung Bramantyo sebagai sutradara dalam penggarapan film ini sehingga film ini berahasil menyedot 4,9 penonton. Seperti film bergenre drama lainnya yang disutradarai Hanung Bramantyo, film ini mampu mengharu biru bagi para penikmatnya. Film ini tidak kalah menariknya dengan film drama “Bumi Manusia” yang diangkat dari novel karya Pramoedya Ananta Toer dalam judul yang sama. Meskipun film Miracle In Cell No.7 belum sesukses film “Ayat-Ayat Cinta” yang diangkat dari novel karya Habiburrahman El Shirazy, tapi film ini layak untuk ditonton semua kalangan.   

Cerita dalam Film Miracle In Cell No.7 diadopsi dari film Korea Selatan (2013). Diambil dari kisah nyata yang dialami oleh seorang pria Korea yang bernama Jeong Won Seop, seorang disabilitas intelektual. Dalam versi Indonesia, film ini menceritakan seorang disabilitas intelektual bernama Dodo Rozak, diperankan oleh Vino G. Bastian. Dodo Rozak hidup berbahagia bersama putri cantiknya yang bernama Kartika (Ika). Sebagai seorang yang mengalami keterbelakangan mental, Dodo Rozak berperilaku seperti anak kecil. Itulah yang menyebabkan antara Kartika dan Dodo Rozak seperti teman sepermainan, padahal mereka merupakan ayah dan anak.

Cinta dan tanggung jawab Dodo Rozak kepada Kartika sangatlah besar. Begitu juga cinta Kartika kepada ayahnya. Dia tidak malu dengan keberadaan ayahnya. Kebahagiaan mereka tampak pada wajah dan perilaku mereka yang senantiasa ceria saat di rumah maupun saat antar jemput Kartika yang masih bersekolah di Sekolah Dasar. Dodo Rozak juga sangat berbahagia dengan profesinya sebagai penjual balon. Hingga suatu saat kebahagian keduanya terenggut.

Konfliknya berawal ketika Dodo rozak menemukan gadis kecil (diperankan oleh Makayla Rose) yang terapung-apung di sebuah kolam. Sebagai seorang yang berkarakter baik, dia tidak tega. Tanpa pikir panjang, dia menolongnya. Namun, ternyata gadis kecil itu sudah meninggal. Dia tidak pernah menduga bahwa maksud baiknya itu justru membuatnya dituduh sebagai pembunuh sekaligus pemerkosa. Dengan segenap keterbatasan mentalnya, Dodo Rozak menolak tuduhan itu. Sayang, orang-orang tidak memercayai alasannya sedikit pun. Peristiwa ini menjadi awal mula kesedihan antara ayah dan anak itu.

Konflik semakin meningkat saat terjadi perpisahan antara Dodo Rozak dengan anaknya, Kartika. Semula Kartika resah ketika menunggu sang ayah tidak segera menjemputnya di sekolah. Dia tidak pernah menyangka bahwa ayahnya ditangkap dan dipaksa dimasukkan ke dalam tahanan. Hal yang tidak terduga itu membuat Ika (panggilan untuk Kartika) sangat sedih. Begitu juga Dodo Rozak sang ayah yang tidak rela meninggalkan Kartika di rumah. Ketika berada di sel tahanan, dia selalu menangis dan meminta agar bisa dipertemukan dengan Kartika (Ika). Dia sangat memikirkan anaknya itu karena selain dia tidak bisa berpisah dengannya, Kartika sudah tidak punya ibu.

Permintaan Dodo Rozak itu, tidak dikabulkan oleh pihak lapas. Namun, teman-temannya di sel nomor 7, Japra (Hendro Warkop), Zaki (Tora Sudiro), Asrul ( Bryan Domani), dll, berusaha keras agar Kartika bisa diselundupkan ke dalam sel. Itu disebabkan rasa simpati yang sangat besar kepada Dodo Rozak, seorang disabilitas yang baik perilakunya dan sering menolong para narapidana, termasuk kepala sipir Hendro Sanusi (Deni Sumargo).   

Perjuangan untuk menyelundupkan Kartika ke dalam sel pun berhasil. Walaupun banyak mengalami rintangan. Di dalam sel ini, Kartika dan Dodo Rozak menemukan kebahagiaannya kembali. Kebahagiaan antara ayah dan anak itu menjalari seluruh penghuni sel. Kelucuan-kelucuan pun sering terjadi. Meskipun Dodo Rozak seorang disabilitas, dia punya tanggung jawab dan kasih sayang yang sangat besar kepada anaknya. Inilah pelajaran yang bisa dipetik. Seorang disabilitas saja bisa bertindak seperti itu kepada anaknya apalagi lelaki yang diberikan kesempurnaan. Hal ini bisa menjadi contoh para orang tua khususnya seorang ayah. Demikian juga kasih sayang seorang anak kepada ayahnya yang tidak pernah berakhir meskipun ayahnya seorang laki-laki berketerbelakangan mental. Seperti cinta Kartika kepada ayahnya Dodo Rozak. Oleh karenanya, banyak narapidana yang bersimpati kepadanya, termasuk Hendro, sang kepala penjara.

Kecintaan sahabat-sahabatnya di dalam lapas tidak berhenti di situ. Bahkan teman-temannya juga membantu Dodo Rozak mengusahakan agar dia terbebas dari tuduhan. Berbagai upaya dilakukan. Mereka juga membantu agar dia menghafalkan kalimat yang akan digunakan di persidangan untuk menyangkal tuduhannya sebagai pembunuh dan pemerkosa yang memang tidak dilakukannya.

Klimaks film ini terjadi saat kejujuran Dodo Rozak dipertaruhkan. Keterbatasannya untuk membela diri bahwa dia tidak melakukan seperti yang dituduhkan, ternyata gagal. Dia kalah di pengadialan dan divonis hukuman mati. Eksekusinya akan dilaksanakan di Nusakambangan. Mendengar putusan pengadilan itu, teman-temannya di dalam tahanan sangat sedih. Maka dari itu mereka ingin membantu Dodo Rozak dan putrinya melarikan diri dari tahanan dengan menggunakan balon udara. Namun, usaha mereka tidak berhasil karena balon udara yang dinaiki Dodo Rozak dan Kartika, tersangkut.

Perasaan haru biru penonton tidak tertahan saat menyaksikan perpisahan antara Dodo Rozak dan Kartika Kecil. Lagu soundtracx yang berjudul “Andaikan Kau Datang Kembali” yang dibawakan oleh Anmash Kamaleng menambah derasnya air mata yang tumpah. Dengan tangisan menyayat hati, Kartika kecil harus menyaksikan ayahnya dibawa petugas untuk dipindahkan ke Nusakambangan. Dia terus memanggil-manggil ayahnya. Demikian juga Dodo Rozak tidak berhenti menangis dan ingin bersama Kartika, tapi tidak bisa. Mereka hanya bisa saling melambaikan tangan dalam tangis yang sangat pilu.

Hendro (Deni Sumargo) sang kepala lapas pun tidak bisa menahan kesedihan. Demikian juga para narapidana lain. Akhirnya Kartika pun diminta untuk tinggal bersama keluarga Hendro. Di keluarga itu, anak perempuan ini tumbuh menjadi seorang gadis yang kemudian dikuliahkan agar bisa membela ayahnya.

Film ditutup setelah adegan di sebuah pengadilan. Kartika yang saat itu sudah dewasa (Mawar De Jongh) berperan sebagai pengacara ayahnya, Dodo Rozak. Dia memohon kepada pengadilan agar nama ayahnya dibersihkan dari tuduhan sebagai pembunuh dan pemerkosa meskipun ayahnya sudah tidak ada karena telah dihukum mati.

Film yang mulai tayang di bioskop sejak September 2022 ini, banyak memberikan pelajaran berharga yang bisa dipetik oleh penonton. Pertama, bahwa keadilan itu milik semua orang, termasuk orang yang mengalami keterbelakangan mental. Jadi, hendaknya tidak memanfaatkan kekurangan seseorang demi kepentingan tertentu. Dia harus mendapatkan perlakuan yang adil seperti halnya orang-orang normal. Bahkan seharusnya dia disayangi dan dihormati sesuai dengan haknya.

Perilaku baik dari tokoh Dodo Rozak bisa menjadi contoh setiap orang. Ternyata kekurangan pada laki-laki itu, tidak menghalangi ketulusan hatinya untuk selalu berbuat baik kepada orang lain, seperti memberikan pertolongan dan membela kebenaran. Bukan hanya itu, kasih sayang dan tanggung jawabnya sebagai seorang ayah patut diteladani. Di balik keterbatasan yang dimiliki, ada jiwa besar untuk selalu merawat dan melindungi anaknya dengan sepenuh kasih sayang. Meski akhirnya mereka dipisahkan oleh ketidakadilan.

Selain itu, film ini juga mengajarkan kepada penonton untuk saling mengasihi dan menyayangi antara orang tua dan anak. Maka dari itu, usia penontonnya tidak dibatasi. Justru anak-anak bisa diajak menonton film ini agar perasaan sayang dan cinta kepada ayah atau orang tuanya, tumbuh menjadi lebih kuat. Anak-anak akan takut kehilangan ayahnya seperti halnya Kartika. Bahkan akan membela nama baik orang tuanya meskipun orang tua sudah tidak ada di dunia ini. Dengan menonton film ini seorang anak diharapkan tidak akan menjadi anak durhaka seperti yang sering terjadi di berita-berita yang disaksikan di televisi.

Itulah kelebihan-kelebihan film Miracle In Cell No.7. Waktu 145 menit selama pemutaran film, terasa sangat singkat. Ini disebabkan oleh bagusnya film tersebut. Siapkan tisu yang banyak jika anda ingin menonton film tersebut. Sebab emosi akan terus dipermainkan selama menonton film yang bisa ditonton oleh semua umur ini. Bukan hanya segi isinya saja yang bagus, tapi perpaduan antara cerita, musik, pencahayaan, dan berbagai unsur film yang lain, sangat mendukung. Hampir tidak ditemui kekurangan di dalam film Miracle In Cell No. 7 versi Indonesia yang saya tonton.

Identitas Film

Judul Film: Miracle In Cell No.7 (Versi Indonesia)

Sutradara: Hanung Bramantyo

Film Produksi: Falcon Pictures

Produser: Frederica

Penulis Skenario: Alim Sudio

Penulis Cerita Asli: Lee Hwan Kyu

Soundtrakcx Lagu: Andaikan Kau Datang (Dibawakan kembali oleh Anmesh Kamaleng)

Pemeran:

Vino G. Bastian: Dodo Rozak

Graciella Abigael: Kartika (Ika)

Indro Warkop: Japra (narapidana)

Deni Sumargo: Hendro Sanusi (kepala lapas)

Marsha Timothy: Juwita

Makayla Rose: Melati (gadis kecil yang meninggal)

Tora Sudiro: Narapidana

Bryan Domani: Narapidana

Tayang di Bioskop: Sejak September 2022

Durasi: 145 menit

 

 

 

Peresensi

 

 

 


Khatijah dilahirkan di Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Bondowoso Jawa Timur  menjadi kota tempat tinggal sejak menjadi guru di SMPN 1 Tapen. Ada 8 Buku karya tunggalnya: Sekeping Rindu (Kumpulan Cerpen: 2020), Selendang Merah Jambu (Novel: 2020), Rinduku di Antara Bunga Ilalang (Novel: 2020), Sejingga Rembulan (Novel: 2021), Puspa Indah Telaga Rindu (Kumpulan Cerpen: 2021), Anyelir Merah Darah (Novel: 2022), Seikat Mawar Ungu (Kumpulan Cerpen: 2022). Elegi di Kaki Bukit (Novel: 2023)  Dia pernah meraih predikat pemenang kedua penulis buku fiksi terbaik pada Lomba Temu Nasional Guru Penulis MediaGuru tahun 2022 di Jakarta. Dia juga berkontribusi 37 buku Karya Antologi. 

Kamis, 16 Februari 2023

Kamar 115 Part 2

 

Kamar 115

Part


@2

Oleh: Khatijah

Udara dingin menelusup ke dalam pori-pori. Aku menyilangkan dua tangan di dada untuk sekadar mengurangi gigil yang terasa. Perlahan kabut putih yang beberapa menit menutup pandangan, mulai menipis. Mataku jauh memandang ke atas pucuk bukit di kejauhan. Sinar lembut matahari yang baru saja muncul, menyelimuti kerucutnya menjadi kian jelas. Pikiranku masih tidak beranjak dari kejadian semalam. Aku belum bisa memberikan kesimpulan, apakah yang dialami Winda merupakan mimpi atau sebuah halusinasi? Atau memang benar-benar ada jin yang mengganggunya?

Batinku menilai Winda. Sepertinya gadis cantik itu tidak berbohong. Pikiranku mulai memercayai apa yang diceritakannya. Lagi pula kalau tidak mengalami kejadian sesungguhnya, tidak mungkin wajahnya akan sepucat itu. Tangannya tidak mungkin akan bergetar keras. Peluhnya tidak akan bercucuran, di saat tengah malam yang diguyur hujan. Lalu aku meraba tengkuk yang tiba-tiba merinding.

“Tri, ngapain di situ?”

Dadaku berdebar kencang. Aku tekejut. Kucari arah suara. Legalah hatiku. Tampak di bawah, dua temanku Lana dan Winda. Mereka melambaikan tangan ke arahku yang berdiri di posisi lebih tinggi dari hotel tempat kami menginap.

“Ke sini! Pemandangannya bagus,” panggilku sambil menunjuk ke arah deretan bukit-bukit yang memanjang dari timur ke barat.

“Capek.” Terdengan suara Lana menyahut.

Kuabaikan mereka yang tidak mau melanjutkan perjalanan sampai ke tempatku berada. Kumaklumi saja. Memang untuk mencapai tempat ini, memerlukan energi lebih. Jalan sempit yang aspalnya sudah rusak berat ini hanya cukup dilewati satu mobil. Di samping itu, kondisinya begitu menanjak. Bagi yang jarang berolahraga, kupastikan napasnya akan ngos-ngosan. Entahlah, apa yang membawaku sampai di sini. Aku juga heran. Semula aku hanya ingin jalan-jalan pagi sambil mencari sinyal. Sebab sinyal di tempat ini sangat buruk. Semenit muncul, beberapa jam tenggelam.

Telingaku sempat menangkap suara banyak orang. Aku yakin mereka itu peserta pelatihan yang mau jalan-jalan pagi sambil menunggu matahari terbit. Jadi, kupaksakan diriku yang masih kedinginan untuk mengikuti mereka. Aku pun keluar kamar. Sementara Winda dan Lana masih antre ke kamar mandi. Namun, sampai sejauh ini kakiku melangkah, tak satu pun kutemui seorang pun. Yang ada hanya sunyi melengang di antara vila-vila kosong yang nyaris tenggelam oleh rerumputan menjulang.  

“Tri, turun! Waktunya sarapan!” Terdengar suara Winda memanggil.

Kulirik jam di ponselku. Memang benar, sudah pukul enam pagi. Belum mandi dan sarapan. Padahal acara akan dimulai pukul tujuh. Aku pun bergegas akan meninggalkan tempat itu.Pelan-pelan kakiku melangkah menuruni jalanan berbatu karena aspalnya sudah rusak dilibas air saat musim penghujan.

“Tunggu!” teriakku sambil terus menapakkan kaki dengan hati-hati.

Mereka tidak menjawab, tapi tampaknya menungguku. Oleh karenanya, aku berusaha berjalan agak cepat. Anehnya, aku sudah mengerahkan seluruh tenaga, tapi jalanku sangat lambat. Serasa ada yang menahan kakiku agar tidak melangkah. Aku menengok ke kiri dan ke kanan. Tidak ada siapa-siapa. Hanya desir angin lewat di belakang telinga, dingin dan membuat bulu kudukku lagi-lagi meremang.

Aku mencoba mencari celah di antara rerimbunan semak-semak untuk melihat keberadaan Lana dan Winda. Namun, mereka tidak tampak. Selain posisinya masih jauh di bawah, pohon-pohon perdu di sepanjang kanan kiri jalan menghalangi pandangan.

Setelah sampai di jalan yang lumayan bagus dan tempatnya agak datar, aku buru-buru berlari agar segera mencapai Lana dan Winda. Aku ingat mereka tadi berada tidak jauh dari tempat ini. Tandanya ada pohon dadap yang bunganya merah merona.

“Winda! Lana!” teriakku berulang-ulang.

Tidak satu pun dari mereka yang menyahut. Mereka tentu tidak sabar dan sudah meninggalkan tempat ini, pikirku. Aku mempercepat langkah. Beberapa menit kemudian, sampailah aku di depan kamar yang kami tempati. Tanpa mengetuk pintu, aku pun masuk. Alangkah kagetnya aku karena Winda dan Lana sudah berselimut sambil bermain HP.

“Loh, kalian kok cepet banget sih?” tanyaku keheranan.

“Maksudmu apa Tri, cepet apanya? Sejak selesai salat subuh aku dan Winda gak ke mana-mana. Cuma tiduran gini,” jawab Lana sambil terus melihat layar ponselnya.

“Jadi?”

Bondowoso, 17 Februari 2023  

 

 

Sekelopak Kamboja

 





Sekelopak Kamboja

Oleh : Khatijah

@sekelumitsajakbuatbapak

 

Sekelopak kamboja luruh

Seiring serinai gerimis

 Menemu jingga  meretas  senja

Kala takdir datang menemu

 

Kuantar keranda berlapis jingga

Di atas kaki-kaki kokoh

Beralun kalimat doa

Di pundak teriak ikhlas melepas

 

Dalam seikat  ilalang kering

berburai air mata melinang

di  lebam duka nestapa

 

Sekelebat kilat  secepat angin

Berburu kasih berpeluk rindu

Pada setiap titik kenangan

yang kau pahatkan   

 

Selintas dunia di gema takdirmu

Meniti jalan panjang

menuju rumah keabadian

Kutabur beribu rindu

dalam doa dan air mata

 

Gunkid, 8 Desember 2021

 

 

 

Bila Nanti

 


Bila Nanti

Oleh: Khatijah

 

Bila nanti 

Senandung angin tak lagi merdu

Dan bocah-bocah tak lagi riang

Kenalilah diri 

Kemana mata angin berputar

 

Bila Nanti

Langit senja tak lagi jingga

Celoteh murai pun lterbang bersama angin

Dan resah kian membuncah

Sesal kan menjadi raja

 

Bila nanti

 Rindu tak kunjung terbalas

Mereka melangkah sendiri-sendiri

Mencari matahari

Gelap pekat merajam

 

Bilan nanti 

lautan dan gunung-gunung berlari saling mendekat

Berbaur menutup jalan-jalan

Tinggalkan didih lumpur 

Embuskan aroma dosa-dosa

 

Sesal meluas lebar

Tak ada lagi peduli

Kerongkongan membara api

Membakar diri

Meluluhlantak tubuh berkeping

 

Hanya waktu yang bisa menjawab

Dari apa itu taubat

Senyampang zikir dan doa diterima

Salat  puasa  perbaiki

Jangan sia-siakan

 

Bondowoso, 9 Oktober 2022

 

Berkatalah Jujur

 


Berkatalah Jujur

Oleh: Khatijah

Semestinya hujan terdengar rintiknya

Guntur terdengar gemuruhnya

Bukan malam menjilat sepi

Bukan pula sembunyi di palung dusta

 

Berkatalah jujur

Fakta tetaplah fakta

Jangan berubah jadi dusta

Sebab alam tlah membaca

 

Berkatalah jujur

Sebab jujurmu dinanti

Setiap gelombang bunyi

Dari gendang sampai ke hati

 

Jujur itu luhur

Tidak jujur bikin hancur

Sepahit empedu pun

Katakan

Jujur fondasi integritas diri

 

Bondowoso, 26 Agustus 2022

 

Beranda

 


Beranda

Oleh: Khatijah

Di beranda kucumbui sepi

Desah sang bayu menyisir pori-pori

Rembulan pucat menertawai

tenggelam

Menyibak misteri

Dalam mega kelabu  menutup wajah pucatnya

Menjemput pekat

menerbangkan angan

Menembus angkasa

Kembali pada hijau daun

Dalam basah embun

Beranda kau tiupkan luka lama

Merobek daun memerihkan rasa

Kala gelap kian pekat

 

Bondowoso, 29 Juni 2022

 

Rabu, 15 Februari 2023

MEMILIH POV DALAM MENULIS NOVEL

 

MEMILIH POV DALAM MENULIS NOVEL

Oleh:  Khatijah

 


            Sebelum menulis novel, penulis harus menentukan point of view (POV) yang akan digunakan dalam penyampaian cerita. Begitu juga dalam menulis jenis cerita yang lain, seperti cerpen dan pentigraf. Pengarang dapat memilih dari sudut pandang yang dianggap sesuai dengan keinginan.

Seperti yang ditulis oleh gramedia.com, bahwa POV sama dengan sudut pandang yang biasanya menjadi sudut pandang seorang penulis terhadap tulisan atau karyanya. Penulis novel atau cerpen dapat memosisikan dirinya apakah dia seolah-olah akan melibatkan sebagai tokoh di dalam ceritanya (pencerita), atau akan berada di luar jalan cerita. Poin of view juga disebut sudut pandang pengarang. Point Of View atau sudut pandang pengarang dalam cerita ada beberapa macam.

            Berdasarkan beberapa sumber yang penulis baca, jenis sudut pandang  tersebut sebagi berikut.

Ada beberapa jenis point of view (POV) yang dapat dipilih pengarang untuk mengisahkan ceritanya.

1.            Point Of View 1 (POV 1) atau Sudut Pandang Orang Pertama

Point Of View 1 (POV 1) atau sudut pandang orang pertama digunakan dalam cerita, bila orang pertama (aku/saya) berperan sebagai tokoh di dalam cerita. Sudut pandang pengarang (POV 1) ini memiliki ciri khusus yaitu dengan menggunakan tokoh “aku”. Jika tokoh “aku” menjadi pusat cerita, disebut dengan sudut pandang orang pertama (POV 1) sebagai pelaku utama. Namun, orang pertama juga bisa dipisisikan hanya sebagai tokoh tambahan yang disebut sebgai orang pertama pelaku tambahan atau sampingan.  

Ciri cerita dengan menggunakan POV 1 atau sudut pandang orang pertama yaitu dengan hadirnya tokoh aku atau saya di dalam cerita tersebut. Sudut pandang orang pertama dibagi menjadi dua bagian yaitu sudut pandang orang pertama sebagai pelaku utama dan sudut pandang orang pertama sebagai pelaku sampingan.

Contoh:

(1)          Aku hanya bisa menarik nafas panjang, saat  semua nasihatku  tak didengarkan. Aku harus banyak bersabar dalam menghadapi hal ini. Berkali-kali aku mengatakan bahwa tindakannya itu hal bodoh  yang dapat merugikan diri sendiri. Tetapi dia tidak menerima nasihatku. Justru marah-marah.Ya, sudahlah biarkan saja. Masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan. Aku tidak bisa hanya berkutat pada satu hal yang tidak penting buatku. Bisa-bisa malah membebani diriku. Aku akan berusaha  melupakan hal itu. lebih baik aku fokus pada tugas yang belum aku selesaikan.

Contoh kutipan di atas menggunakan sudut pandang orang pertama sebagai pelaku utama. Karena di dalam cerita tersebut melibatkan tokoh aku sebagai pemeran utama. Dengan kata lain tokoh aku sebagai orang pertama paling banyak diceritakan di dalam cerita tersebut.

(2)       Kata-kata lembutnya itulah yang sering membuat aku tidak bisa berkutik jika berhadapan dengan dia. Dia itu wanita yang sangat lembut. Tidak hanya dari tutur kata dan tindakannya saja, tetapi juga dari hati dan perasaannya. Aku sebagai sahabatnya kadang malu sendiri. Begitu berbedanya dengan diriku. Bagaikan bumi dengan langit. Dia selalu mengatasi masalah dengan kepala dingin. Tak pernah sekalipun aku mendengar kata-kata kasar dari bibirnya. Yang ada ia itu selalu tersenyum, walaupun masalah sering mendera dirinya. Itulah temanku yang  bernama Nindia.

Contoh kutipan (2) Tokoh aku atau orang pertama ikut berperan di dalam cerita tersebut, tetapi tidak sebagai tokoh utama, melainkan hanya sebagai tokoh tambahan atau tokoh sampingan, karena tokoh utamanya (Dia). Sudut pandang pengarang pada contoh cerita (2) disebut sudut pandang orang pertama sebagai pelaku sampingan atau pelaku tambahan.

2.Point Of View 2 (POV 2) atau Sudut Pandang Orang Kedua

Berbeda dengan POV 1, POV 2 menjadikan orang kedua sebagai tokoh utama. Ciri yang menandai bahwa sebuah cerita menggunakan POV 2, tokoh yang menjadi sentral cerita menggunakan kata ganti “kau” atau “kamu”.

Contoh:

(3) Purnama kedua kembali kau binarkan warna dalam kata yang mampu menggetarkan jiwa. Di sini, di Jembatan yang menghubungkan beberapa pulau ini, kau bisikkan kata yang sama seperti yang pernah kaucapkan. Janji manis dari bibir tipismu habis tanpa sisa. Sebab kau memang sempurna. Tidak hanya kecantikan ragawi yang paripurna, tapi hatimu memualam. Ucapanmu senantiasa merdu serupa kicau murai saat menyambut matahari. (Nobaber 18: Khatijah)

3.Point Of View 3 (POV 3)

            Cerita dengan menggunakan POV 3 atau sudut pandang orang ketiga, pengarang memosisikan dirinya di luar jalan cerita. Ciri cerita menggunakan POV 3, menggunakan tokoh “Dia/Ia”.

Yang ketiga adalah sudut pandang orang ketiga. Dalam sudut pandang ini, orang pertama / aku tidak terlibat sebagai tokoh di dalam ceritanya. Pengarang khusus menceritakan “DIA” atau orang lain. Sudut pandang orang ketiga dapat dibedakan menjadi dua. Yaitu sudut pandang orang ketiga sebagai pengamat dan sudut pandang orang ketiga serba tahu.

Berikut ini penulis berikan  contoh cerita yang menggunakan sudut pandang orang ketiga.

(4)          Anisa tak pernah terdengar mengeluh. Tidak seperti kebanyakan temannya yang selalu mengeluh tentang inilah tentang itulah. Semua pekerjaan dan tugas selalu dikerjakannya tepat waktu.Dia selalu bekerja tanpa melihat waktu kalau tugasnya belum selesai. Walaupun demikian, dia tidak pernah membantah ibunya jika ia disuruh membantu pekerjaan ringan. Pagi-pagi dia sudah bangun. Salat Subuh tak pernah dia tinggalkan. Bahkan setelah itu  dia masih menyempatkan diri untuk membaca ayat-ayat suci Al-Qlqur’an. Setelah itu, dia baru membantu menyapu rumah dan membereskan tempat tidurnya.

(5) Rina terlihat murung. Dia masih terngiang akan nasihat-nasihat neneknya. Dia menyesal mengapa dulu tidak pernah mendengarkan nasihat neneknya. Coba kalau dulu dia tidak membantah neneknya, pasti tidak akan mengalami kesedihan seperti ini. Tapi semua sudah terlanjur. Nasi telah menjadi bubur. Tidak ada yang bisa menggantikan posisi neneknya yang begitu perhatian padanya. Itu semua dirasakan oleh Rina. Kini neneknya tidak akan menasihatinya lagi. Tidak akan perhatian lagi padanya karena dia sudah meninggalkannya untuk selama-lamanya. Kini air matanya Rina berlinang mengenang semuanya.

            Pada cerita (4) ini tidak terdapat tokoh “AKU”. Tokoh yang diceritan pada cerita (4) adalah Anisa (DIA). Pada contoh cerita keempat (4) pengarang hanya menjelaskan sesuatu yang dapat dilihat saja. Sudut pandang pada cerita ini disebut sudut pandang orang ketiga sebagai pengamat.

            Sedangkan pada contoh cerita (5) adalah contoh cerita yang menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu. Karena pengarang di sini hanya khusus menceritakan orang lain yaitu Rina.Tetapi, karena pengarang di dalam teks ini seolah mengetahui semua hal yang dialami oleh tokoh, baik yang dialami secara lahir maupun secara batin. Maka pada kutipan ini disebut menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu.

Memilih POV tertentu pasti memiliki alasan tersendiri. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Menurut pengalaman penulis, menggunakan POV 1 lebih leluasa menyampaikan perasaan karena semua yang dialami tokoh dalam POV 1 seolah-olah pengarang sendiri yang mengalaminya. Jadi, akan lebih tahu apa yang ada di dalam pikirandan perasaan tokoh aku. Walaupun sebenarnya yang mengalami tersebut bukan pengarang. Namun, memilih POV 1, harus benar-benar cermat dalam menggunakan pilihan kata karena pengarang tidak serba tahu terhadap apa yang dipikirkan oleh tokoh lain dalam cerita itu. Berbeda dengan POV orang ketiga serba tahu.

                                                Bondowoso, 16 Februari 2023

 


Selasa, 14 Februari 2023

DIALOG DALAM NOVEL

DIALOG DALAM NOVEL

Oleh  Khatijah, S.Pd

 

 

            Pada saat kita menulis novel, tidak lepas dari penulisan dialog para tokoh. Sebuah cerita tanpa dialog akan terasa hambar dan kurang menarik. Menurut KBBI V Dialog artinya (1)  percakapan (dalam sandiwara, cerita, dan sebagainya), (2) karya tulis yang disajikan dalam bentuk percakapan antara dua tokoh atau lebih. Sebuah dialog bisa diikuti oleh narasi atau dialog tag. Dialog tag adalah frase yang mengikuti dialog yang menginformasikan identitas si pengucap dialog. Dialog tag biasanya dengan kata: ujar, ucap, kata, cetus, tutur, ungkap, tandas, sahut, sindir, tanya dan sejenisnya (BABADD.ID). Penulisan dialog dalam cerita harus benar. Hal ini dilakukan agar maksud kalimat tersebut dapat ditangkap dengan jelas oleh pembaca.                       

            Ketika kita membaca cerita, sering kita jumpai penulisan dialog yang salah. Kesalahan penulisan terletak pada penggunaan huruf dan tanda baca. Agar kita menuliskan dialog dengan benar, kita harus selalu ingat akan aturan yang ada. Aturan-aturan itu dapat kita temukan pada Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI). Pedoman ini mengatur pemakaian tanda baca dan pemakaian huruf.

Berikut ini contoh penulisan dialog dalam cerpen atau novel yang sering kita temui.

(1) “Apa maumu, Nin?” Tanya Dian. (2) “Aku mau pulang. Jawab Nindia.

Penulisan dua contoh kalimat di atas, tidak tepat. Alasan bahwa kedua penulisan kalimat di atas salah adalah sebagai berikut. Kesalahan kalimat nomor (1) terdapat pada penulisan huruf t pada frase Tanya Dian. Seharusnya huruf t pada kata tanya menggunakan huruf kecil. Kadang-kadang juga kita menemui penulisan salah seperti berikut ini. “Sudah mau pulang?”, tanya Krisna. Kesalahan kalimat tersebut terletak pada penggunaan tanda koma setelah akhir kutipan. Kesalahan kalimat tersebut adanya tanda koma setelah dialog. Contoh penulisan kalimat nomor (1) yang benar sebagai berikut. “Apa maumu, Nin?” tanya Dian.

Sedangkan kesalahan contoh kalimat nomor (2) terdapat pada penggunaan tanda baca dan huruf kapital. Pada contoh tersebut, kalimat Aku mau pulang sebagai ucapan langsung diakhiri dengan tanda titik. Seharusnya setelah kalimat Aku mau pulang diikuti tanda koma karena kalimat tersebut belum selesai (diikuti oleh dialog tag). Kesalahan kedua adalah ketidaktepatan letak tanda baca titik (seharusnya koma) setelah tanda petik akhir. Seharusnya tanda koma diletakkan sebelum tanda petik akhir. Kesalahan ketiga yaitu penggunaan huruf kapital pada kata Jawab yang seharusnya huruf  j ditulis dengan huruf kecil. Penulisan contoh (2) yang benar adalah sebagai berikut. “Aku mau pulang,” jawab Nindia.

Frase tanya Dian dan jawab Nindia merupakan bagian kalimat yang tidak dapat berdiri sendiri, yang disebut dialog tag. Seperti yang tertulis di shireishou.com dialog tag adalah keterangan kalimat langsung yang tidak bisa berdiri sendiri (berupa frasa).

Kedua contoh kalimat (1) dan contoh kalimat (2) merupakan kalimat langsung yang menggunakan dialog tag di belakang kutipan langsung.

Berikiut ini adalah contoh dialog yang menggunakan dialog tag di depan kutipan langsung. (3) Dahlia berkata, “Saya baru saja datang.” (4) Krisna bertanya, “Siapa nama temanmu itu?”

Penulisan contoh kalimat (3) dan (4) benar. Berikut penjelasannya. Jika dialog tag berada di awal kalimat, tanda baca koma diletakkan di antara dialog tag dan petikan langsung. Huruf awal kalimat pada dialog tag contoh nomor (3) dan nomor (4) huruf kapital. Demikian juga huruf awal kata kalimat pada petikan langsung juga menggunakan huruf kapital.

Kita harus dapat membedakan dengan penulisan dialog berikut ini. Contoh (5) “Bagaimana keadaanmu, Dahlia?” Krisna bertanya untuk yang kedua kalinya. (6) “Ayo, ikut aku!” Dahlia mengajak Krisna. (5) “Dia memang baik hati.” Krisna memuji orang itu. (7) Krisna  tersenyum. “Kamu memang anak yang manis.”

Penulisan ketiga kalimat tersebut benar. Kalau kita cermati ketiga kalimat contoh (5), (6), dan contoh (7) memang berbeda dengan  kalimat  contoh (1),(2),(3), dan contoh (4). Perbedaannya terletak pada penggunaan huruf kapital pada huruf awal kata setelah dialog. Selain Krisna dan Dahlia sebagai nama orang yang harus diawali dengan  huruf kapital, alasan lain mengapa diawali dengan huruf kapital karena setelah dialog pada kedua kalimat tersebut merupakan kalimat narasi. Jadi, kalimat Krisna bertanya untuk yang kedua kalinya dan Dahlia mengajak Krisna merupakan kalimat yang berbeda dengan yang terdapat di antara petikan langsung. Ini yang disebut dengan narasi. Demikian juga dengan kalimat Krisna memuji orang itu.

Demikian cara menulis kalimat dialog dalam novel. Semoga bermanfaat.

Bondowoso, 15 Februari 2023

 

 

 





 



Entri yang Diunggulkan

Puisi-Puisiku

  Puisi-Puisiku Oleh: Khatijah   1.        MENDEKAP HARAP Kupatahkan ragu di tiang rapuh Menjaga rasa cita pada setia Di cadas lin...