Tampilkan postingan dengan label novel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label novel. Tampilkan semua postingan

Senin, 07 Agustus 2023

Menanti Matahari






Penulis: Khatijah

Terus saja Giano dan tiga temannya berteriak dan memanggil-manggil Mang Sofyan. Mereka yakin dialah orang paling tahu terhadap keberadaan Rianti. Meski laki-laki itu sudah mengabdi tidak sebentar di rumah tepi laut itu, tapi ada sebersit kecurigaan di batin Giano. Apalagi Al yang sempat bertatapan mata dengan laki-laki yang dianggapnya menyimpan kebencian terhadapnya itu.

“Mungkinkah Mang Sofyan yang menyembunyikan Rianti?” bisik Al di tengah kepanikan mereka berempat.

“Kita boleh berprasangka, tapi tidak boleh menuduh,” sahut Andara yang berjalan di sampingnya.

Derap langkah mereka memecah kesunyian di antara suara burung-burung camar yang beterbangan di atas bangunan. Suasana kian tegang. Mata Sheila terus melirik ke arah sebuah kamar yang berada di pojok. Sepi serupa tidak berpenghuni. Pikirannya menjawab keraguan bahwa tidak akan mungkin ada orang yang berada di dalamnya. Namun, desiran jantungnya memaksa untuk berhenti. Sejenak dia pandangi pintu kamar yang dianggapnya berbeda dengan beberapa pintu yang ditemuinya di bangunan itu. Ornamennya aneh. Ukir-ukiran berbentuk binatang-binatang laut besar seperti hiu dan gurita yang tangan-tangannya mencengkeram. Seram.

Perlahan dilangkahkan kakinya mendekat. Berkali-kali Sheila menengok ke kiri dan ke kanan. Ragu-ragu. Seolah ada sepasang mata yang mengikuti gerak-geriknya. Bulu kuduk Sheila tiba-tiba meremang. Matanya menjelajah seluruh sudut ruangan besar itu. Namun, tidak satu pun yang dia dapati. Yang ada hanya sebuah kesan sepi. Hanya suara deru angin di luar menggerakkan pepohonan menggambarkan cuaca yang berubah menjadi tidak lagi baik-baik saja. Dia pun heran sebab keempat temannya serupa lenyap ditelan senja yang digantikan malam. Kebimbangan Sheila akan keamanan daerah itu memuncak saat sadar Rianti belum juga ditemukan. Karena jalannya sambil menengok ke sana ke mari, kakai Sheila terantuk pot yang ada di depannya. Dia pun sempoyongan dan akhirnya tidak mampu menjaga keseimbangan tubuhnya. Perlahan dia mencoba bangkit dan berusaha keluar dari tempat itu.

“Andara, Ano, El,” teriaknya mengikuti langkahnya yang terseok.

Sementara Giano berjalan menuju sebuah ruangan di bagian samping bangunan. Di belakangnya, Andara dan El kejar-mengejar mengikuti Giano. Napas mereka terengah-engah dalam pikiran kalut. Bayangan tentang Rianti silih berganti mempermainkan perasaan. Antara panik dan takut. Terlebih Giano karena dialah yang mengajak Rianti bahkan setengah memaksa agar gadis itu mau menghabiskan liburan di vila mewah yang menghiasi pulau kecil milik ayahnya. Giano berharap Mang Sofyan yang menempati ruangan itu mengerti tentang kepergian Rianti yang tiba-tiba.

“Mang Sofyan!” teriak Giano di depan pintu yang tertutup rapat.

Aneh. Sorot lampu yang sebelumnya tampak menerangi ruangan itu, tiba-tiba padam. Kepanikan menguasai pikiran empat anak muda itu. Pertanyaan-pertanyaan yang tidak sempat terlontar, akhirnya tertelan bersama suasana yang kian menghadirkan gundah.

“Kemana laki-laki itu?” bisik Al di dekat telinga Giano.

Wajah Al yang memutih pucat merambati kedua gadis yang bibirnya membiru. Mata mereka saling bertemu dalam kepanikan.

Giano memukul pintu keras-keras. Namun, tidak ada tanda-tanda orang yang diharapkan membukanya berada di dalamnya. Dikejar rasa ingin segera menemukan Rianti, Giano menendang daun pintu. Secepat kilat pintu pun terbuka. Mereka berempat menganga kaget sebab tanpa diduga tampak tubuh Rianti tergeletak lemas di salah satu pojok. Matanya terpejam. Wajahnya memutih kapas. Bibir yang biasanya kemerahan berubah menjadi membiru.

Tangan Giano memegang pergelangan tangan Rianti. Sementara Andara meletakkan telinga kanannya di dada Rianti.

“Alhamdulillah, masih bernapas,” bisik Andara.

Perasaan cemas yang menggeluti mereka sedikit terurai. Giano dan Al cepat-cepat berusaha meraih tubuh itu untuk dibawanya pergi. Sheila pun turut serta membantu mengangkat di bagian kaki. Sedangkan Andara sibuk berselancar dengan pikirannya yang merasa keheranan. Mengapa Rianti yang baru saja ber-Vidio call-an dengan diri-nya, tiba-tiba berada di kamar yang letaknya jauh dari tempat Rianti semula.Dia berprasangka ada mahkhluk lain yang membawanya. Sedangkan Mang Sofyan yang menjadi orang pertama yang dituduh Giano, tidak berada di ruangan itu.

Tanpa menutup pintu, Andara mengikuti jejak tiga sahabatnya yang menggotong tubuh Rianti. Lampu-lampu yang sudah mulai menyala menolong mereka memberikan cahaya. Dibaringkannya tubuh Rianti di ruang tengah dimana Mang Sofyan biasa sibuk menyiapakan makan malam. Namun, kegundahan hati Giano semakin memuncak kala tidak ditemui juga Mang Sofyan di tempat itu.

“Mang Sofyan ini gimana, sih?” Gumam Giano meluncurkan perasaan jengkelnya.

“Mungkin masih menyelesaikan pekejaan yang lain, Ano.” Al merespons dengan suara sedikit keras.

 Bersamaan dengan itu mereka dikagetkan oleh lengkingan jerit yang memilukan.Serta-merta Giano dan Al berlari mendekat ke arah suara. Baru beberapa meter langkah kaki mereka meninggalkan ruang makan, sebuah pemandangan mengagetkan mereka. Sheila berdiri berdiri  terpaku di depan Pintu  sebuah ruang kosong. Matanya memerah, dua tangannya memegang kepalanya.

“Ada apa Sheila?”

Giano mendekati sahabatnya yang menatap tajam pada sebuah ruangan terbuka di depannya. Tanpa menunggu jawaban Sheila, Mata Giano menangkap sosok yang tergantung di balik pintu. Tidak seluruh tubuhnya tampak. Hanya Tidak jelas siapa dia, Giano langsung berjalan mendekat. Matanya terbelalak setelah tahu bahwa sosok itu laki-laki yang dicurigai meneror Rianti oleh teman-temannya .

“Mang Sofyan!” teriaknya membelah gelap yang mulai pekat.

Jeritan Giano yang mengiris, memanggil. Andara dan Al berlari mendekat. Mereka berlari sekencang-kencangnya. Cuaca gelap tidak membuat mereka surut. Sheila sempat terhuyung nyaris jatuh karena kakinya terantuk benda asing di depannya.Kengereian di depan matanya memaksa dia lari menjauh.

“Ano, kenapa dia, Ano?” teriak Sheila tidak kalah keras dengan teriakan Giano.  

 Sementara Rianti yang masih terbaring lemah hanya bisa mengerahkan sisa tenaganya untuk bangun. Namun, baru saja dia mencoba mengangkat kepalanya, sebuah tangan menariknya menjauh dari tempat itu. Tarikan dengan kekuatan luar biasa hingga membuat tubuhnya seakan melayang di udara. Matanya yang masih tersisa air mata meruam kembali. Ketakutan yang membubung mengharuskan bibirnya menjerit sekencangnya. Namun, tangan besar yang telah membawanya ke tempat asing itu, menutup mulutnya rapat-rapat.  

 Sementara, Giano, Al, Sheila, dan Andara sibuk sekaligus panik dengan ditemukannya laki-laki yang tubuhnya tergantung di depan pintu sebuah kamar. Mereka tidak mengetahui apa yang akan diperbuat.Hanya satu yang bisa mereka lakukan, menghubungi polisi.

“Lama banget sih, Pak Polisi ini?” Andara mulai mengeluh setelah merasa bosan menunggu.

“Bahkan tidak ada yang menyahut,” jawab Giano bingung.

Memang tidak mudah menghubungi polisi dari pulau kecil yang jaringan internetnya terhalang oleh laut. Apalagi cuaca buruk dan waktu terus merangkak menuju malam.

“Benarkah ini Mang Sofyan?” Andara teranga untuk meyakinkan sosok priya yang tergantung di depannya.

“Benar, An,” sahut Giano nyaris berbisik.

“Mengapa bisa begini, Ano? Siapa yang telah melkukannya?”

“Tenang, Andara! Kita tunggu saja hasil pemeriksaan polisi!”

“Aneh banget. Sebenrnya siapa saja yang tinggal di vila ini, Ano. Kau bilang Mang Sofyan hanya sendirian.” Andara terus mendesak.

GK, 21 Juli 2023

Kamis, 22 Juni 2023

Menanti Matahari


 Menanti Matahari

Part @4

Oleh: Khatijah

“Ayo, Anti kita keluar. Lihatlah dari sini pemandangan di senja sangat menakjubkan!” ajak Andara sambil melongokkan wajahnya ke luar.

Jandela di kamar yang ditempati Rianti dan Andara memang menghadap kea rah laut lepas. Dari tempat itu Andara bisa memandang dermaga yang berada agak menyamping ke sebelah kiri. Meski mata tidak leluasa karena terhalang oleh dahan-dahan cemara udang, tapi jauh di batas cakrawala masih tampak bola besar berwarna merah darah yang tinggal separuh tercelup ke dalam air. Bola besar itu menyebarkan warna serupa di atas permukaan ombak hingga menimbulkan gelombag-gelombang jingga yang sangat indah. Sejuk angin menerpa wajah Andara mengurai anak-anak rambutnya nyaris menutup matanya.

Rianti bermalas-malasan di atas kasur meski pusing kepalanya terasa kian menghilang setelah beberapa menit dia sempat terlelap. Ajakan Andara menimbulkan penasaran. Dia pun  mencoba bangun. Seribu kunang-kunang tiba-tiba menyerbu pandangannya sesaat setelah di duduk. Keringat dingin kembali membasahi wajah dan tubuhnya. Perlahan dia kembali pada posisi berbaring.

“Andara, kamu keluar saja sendiri! Aku gak bisa ikut.”

Dengan ucapan terputus-putus, Rianti memejamkan matanya. Kelopak matanya tampak cekung, bibirnya memutih. Karena terhipnotis suasana di luar, perhatian Andara tidak sempat singgah pada kondisi sahabatnya. Dia menganggap Rianti hanya bermalas-malasan saja. Tanpa menoleh ke arah Rianti, dia buru-buru berlari keluar kamar. Semangatnya untuk menikmati suasana pantai di saat senja terpicu juga oleh tiga kawannya, Al, Giano, dan Sheila yang sudah lebih dulu berkejaran di pantai.

Rianti menahan rasa sakitnya. Sambil gemetaran, jari-jarinya berselancar di setiap saku baju dan celannya untuk mencari obat. Namun, usahanya sia-sia sebutir pun tidak tersisa. Semuanya telah tertelan ombak bersama tas kecil saat perjalanan menuju pulau ini. Dicobanya memejamkan mata rapat-rapat agar bisa tertidur. Namun suara derit pintu membuatnya terkejut.

“Andara kenapa kembali?”

Masih dalam kondisi terpejam Rianti memastikan jika yang membuka pintu itu Andara. Namun, orang yang dianggapnya Andara tidak segera menyahut. Suara langkah kaki yang kian mendekat, memaksa  Rianti membuka matanya. Seketika dia bangun dari posisinya berbaring. Dia biarkan matanya menyapu ke setiap sudut, tetapi tidak ada Andara, tidak ada juga seorang pun yang tampak di ruangan itu.

“Andara, Andara kamu di mana?” teriaknya berulang-ulang.

Anehnya, suara langkah itu tidak terdengar lagi. Padahal sebelumnya, jelas sekali suara itu mendekat sama persis dengan langkah kaki manusia. Karena tidak menemukan Andara, Rianti buru-buru mengambil ponselnya yang tergeletak di atas bantal. Secepat kilat dia mencari kontak WA Andara dan ditekannya gambar gagang camera di bagian atas aplikasi itu. Lalu dia menggeser ke atas. Tidak menunggu lama, Andara pun mengangkat panggilan video dari Rianti.

“Ada apa Anti? Ayo ke sini. Sudah sembuh kan pusingnya?”

Bukan main terkejutnya Rianti setelah dia melihat Andara lagi berada di pantai bersama teman-temannya yang lain. Rianti mengambil kesimpulan bahwa memang bukan Andara yang baru saja masuk ke dalam kamar. Tiba-tiba pikirannya mencurigai laki-laki yang bertemu di halman. Yang dipanggil dengan nama Pak Sofyan baik oleh Giano maupun Andara.

“Andara, barusan kamu kembali ke kamar, ya?”

“Enggak, aku ada di sini kok. Kamu saja gak mau. Nih, lihat teman-teman semua di sini.  Asyik  sekali, ayo sini!” sahut Andara sambil mengarahkan camera ke arah Giano, Al, dan Sheila.

Seketika Andara terkejut bukan main karena dia melihat sekelebat bayangan di belakang Rianti. Dia pun memekik keras-keras dan tanpa sadar ponselnya terlempar jauh. Teman-temannya pun berlari mendekat ke arah Andara.

“Kenapa An? Ada apa?” tanya Sheila seraya memegang tangan Andara yang terus memegangi dua telinyanya. Sementara El dan Giano hanya terkesima memandangi ekspresi Andara yang tiba-tiba menggigil ketakutan.

“Di kamar. Rianti!” teriaknya sambil menunjuk ke arah kamar di mana Rianti berada.

Giano dan El langsung tanggap atas ekspresi Andra yang menggambarkan ketakutan dan kengerian. Mereka mengkhawatirkan Rianti. Secepat kilat, Giano mengambil langkah seribu meninggalkan tempat itu. El yang semula hanya memandang tertegun, akhirnya mengekor di belakangnya dengan berlari tidak kalah kencangnya. Sheila dan Andara tidak berdiam diri. Mereka pun mengejar dua temannya yang sudah lebih dulu membuat tepian laut itu sepi.

Hanya dalam hitungan menit, Giano sudah sampai di depan kamar Rianti. Dia langsung mendobrak pintu yang ternyata tidak terkunci. Dengan napas tidak beraturan, dia sapukan pandangan ke setiap sudut kamar. Namun, matanya tidak menangkap Rianti. Tidak ada siapa-siapa. Dibukanya kamar mandi dan mencarinya di sana, tetapi kosong. Dalam was-was yang sempurna dia berpikir keras kemana Rianti berada. Pertanyaan-pertanyaan meneggelamkan pikiran warasnya. Berbagai praduga muncul tiba-tiba.

“Rianti!” pekiknya memenuhi ruangan berukuran 5 x 5 meter itu.

Keriuhan segera terjadi ketika El, Sheilla, dan Andara sampai di kamar itu. Mereka memanggil Rianti bergantian. Namun, tidak ada satu pun jawaban. Giano berlari menuju lobi depan melewati lorong yang menghubungkan kamar-kamar dan ruang tengah. Matanya tidak henti mengamati setiap tempat yang dilewati. Kosong. Lalu ingatannya berlari pada Mang Sofyan, satu-satunya laki-laki yang berada di bangunan tepi pantai ini.

“Mang Sofyan, Mang!”

Bws, 23 Juni 2023

Kamis, 18 Mei 2023

Sesal



Sesal

Oleh: Khatijah


“Ibu, kenapa Bu?” Pak Darto menggoyang-goyangkan tubuh istrinya.

“Cepat telepon ambulans, Mbak Pak,” seru Bi Siti tergopoh-gopoh.

Pak Darto tidak mengindahkan Bi Siti. Dia berpikir bahwa membawanya sendiri akan lebih efektik. Cepat-cepat Pak Darto mencari kunci kontak. Kepanikan membuat dia terlupa menaruhnya. Berkali-kali dicarinya di meja depan TV, tetapi tidak ditemukan. Lalu berlari ke ruang tamu. Di sana pun dia tidak menemukan barang yang dicari. “Thia, di mana kunci kontaknya?” teriak Pak Darto.

Fathia tidak menjawab. Dia lebih fokus menolong ibunya. Ditepuk-tepuknya pipinya pelan-pelan dan dibisikkan panggilan.Namun, Bu kondisi Bu Harni tidak ada perubahan. Bi Siti yang tidak kalah panik turut memijit-mijit tangan wanita itu.

Terus saja Pak Darto mondar-mandir hingga kembali ke ruang makan.Tiba-tiba dia melihat kontak itu tergeletak di meja. Dengan tergesa-gesa dia menuju ke halaman. Beruntung mobilnya belum dimasukkan di garasi.

Beberapa menit kemudian, terdengar suara mesin mobil. Dengan dibantu Bi Siti, Fathia mendorong kursi roda ibunya ke luar rumah.

“Hati-hati, Thia! Pegang kursi rodanya,” ucap ayahnya seraya menggendong tubuh istrinya ke dalam mobil.

Udara malam menemani ayah dan anak dalam kepanikan. Lampu-lampu jalan yang berderet-deret serupa berlari kencang meninggalkan mobil yang dikemudikan Pak Darto. Fathia merasa mobil itu terlalu lambat. Resah hatinya mendesak-desak. Ingin segera tertuntaskan perjalanan menuju rumah sakit agar ibunya segera tertangani. Berulang-ulang Fathia memandang wajah ibunya yang pucat. Meski wanita itu tidak lagi kejang-kejang, tapi was-was di hati Fathia belum juga berkurang. Dia terus membisiki ibunya agar tetap bertahan.

“Kenapa berhenti, Yah? Ayo, jalan saja!” teriak Fathia ketika lampu merah mengharuskan ayahnya menghentikan mobil.

“Tidak bisa begitu, Fathia. Nanti terjadi kecelakaan, malah tambah masalah.” Pak Darto tidak mengindahkan anak gadisnya.

Fathia melongokkan wajahnya ke luar. Tampak mobil-mobil berderet panjang. Dia menggeleng-gelengkan kepala dengan bibir terus melafalkan doa. Hatinya gemas,  ketika lampu berubah menjadi hijau, tetapi mobil di depannya tidak cepat-cepat berjalan. Akibatnya mobil Pak Darto harus tertahan karena lampu sudah kembali merah. Mau tidak mau harus menunggu lampu hijau berikutnya. Sementara napas Bu Harni semakin sesak. Fathia kian panik. Doanya terus dipanjatkan agar ibunya masih bisa bertahan.

“Duh, gimana sih? Kenapa gak cepet-cepet?” Fathia menggerutu sambil terus melihat mobil yang ada di depannya.

Ketika lampu kembali hijau, Pak Darto membunyikan klakson keras-keras. Dia tidak lagi berpikir bagaiman reaksi pengendara mobil lain. Cepat-cepat dia mengegas mobilnya saat berhasil menyalip mobil di depannya. Fathia melepaskan kedongkolannya dengan menghirup udara dari hidung dalam-dalam dan mengeluarkannya pelan-pelan dari mulutnya.

Tidak lama kemudian, mobil Pak Darto memasuki halaman rumah sakit. Langsung dia menuju pintu Instalasi Gawat Darurat. Dua pemuda berbaju seragam kehijauan segera membawa tandu menuju pintu mobil Pak Darto. Dengan cekatan, mereka mengangkat tubuh Bu Harni dan membawanya masuk. Fathia terus mengikuti dari belakang. Dia berharap ibunya masih bisa diselamatkan. 

Bersambung... 

     

 

 

 

      

 

 

Jumat, 12 Mei 2023

Menanti Matahari

 Menanti Matahari @2

Oleh: Khatijah


 “Hore, kita sudah sampai,” teriak Al sambil melambai-lambaikan tangannya. Rona di wajahnya menandakan bahwa dia sangat tidak sabar untuk segera mendarat di pulau yang berhiaskan tanaman cemara udang di sekelilingnya. Perahu yang membawa mereka semakin merapat ke sebuah dermaga kecil. Sementara beberapa meter di  sebelah kanan tampak perahu dengan cat warna putih keabu-abuan terapung-apung. Perahu yang mereka naiki pun segera bersandar.

“Ayo, kita keluar dari perahu! Jangan lupa ransel dan barang bawaan masing-masing!” Giano melompat terlebih dahulu ke bibir dermaga. Hanya  sebuah tas kecil diselempangkan di badan saja yang dia bawanya. Berbeda dengan empat temannya yang sibuk dengan tas dan barang bawaan. Tentu saja Giano tidak perlu repot-repot karena semua keperluan sudah tersedia di vila milik ayahnya yang dia kunjungi hampir setiap Sabtu hingga hari Minggu. Ada pegawai khusus ayahnya yang akan membawakan barang-barang kebutuhannya dari rumah tinggalnya di Jakarta.

 “Al, tolong bantu Andara sama Rianti! Bawakan barang-barangnya!” kata Giano sebelum meninggalkan dermaga.

“Biar Mang Sofyan, yang membantu Aden,” sahut seorang lelaki lima puluhan tahun yang tiba-tiba muncul di dekat Al.

Al sempat terkesima saat lelaki itu menatapnya tajam.Tiba-tiba ada perasaan aneh. Dia beranggapan seolah lelaki itu sudah mengenalnya.Padahal sejatinya baru kali ini dia melihatnya. Dia tersenyum meski hatinya sempat ngeri. Al membaca ada benci tersirat di sorot mata lelaki itu. Namun, Al segera membuang anggapan itu jauh-jauh. Dia kembalikan perasaannya pada posisi semula. Berlibur dan bersenang-senang dengan sahabat-sahabatnya.

“Pelan-pelan Rianti,” ucap Andara yang sudah terlebih dahulu keluar dari perahu.

Diulurkannya tangan kanannya kepada sahabatnya yang tampak ragu-ragu melangkahkan kaki dari perahu ke bibir dermaga. Giano melemparkan pandangannya kepada dua gadis yang sejak lama menjadi sahabatnya itu.

“Wajahmu pucat sekali, Rianti. Kamu masih pusing, ya?” Ucapan Giano membuyarkan konsentrasi Rianti.

“Tinggal sedikit pusingnya Ano, tenang saja. Sebentar lagi buat istirahat pasti sembuh,” sahut Rianti dengan suara lemah.

“Oke, Mang Sofyan sudah membersihkan dan merapikan kamar-kamar untuk kalian. Habis ini kamu bisa beristirahat, Anti.” Giano melirik Rianti yang tidak menampakkan ekspresi ceria sama sekali.

Rianti tetap diam dalam gemulai langkahnya. Tangan kurusnya yang putih bersih dengan jari-jari runcing memegangi tangan Andara. Andara gadis manis sahabatnya yang masih saudara sepupu Giano sesekali melirik ke arah pemuda itu. Dia paham benar bahwa pemuda itu sangat mencemaskan Rianti.

Langkah-langkah kaki menapaki tanah berpasir diringi suara angin yang mengibaskan dahan-dahan cemara udang. Dingin. Daun-daun kelapa menjulur memuncakkan  keinginan  untuk segera menikmati indahnya matahari senja di seputaran pantai. Dua puluh meter dari bibir pantai, tampak sebuah bangungan dengan arsitektur modern. Pohon angsana besar dengan rerimbunan daunnya menaungi teras bagian depan sehingga nuansa adem sudah terasa meski lima anak muda itu belum sampai di tempat itu.

Kaki lemah Rianti terhenti saat Andara membalikkan tubuhnya. Dia memanggil Giano, Al, dan Armando.

“Hei, tolong kalian kasih tahu Mang Sofyan. Barang-barangnya langsung dimasukkan ke dalam kamar saja,” kata Andara sebelum kaki kanannya menapak di beranda depan.

“Sudah. Dara dan Anti langsun saja masuk ke kamar tengah. Di sana kalian bisa lansung mandi dan beristirahat.” Tangan Giano menunjuk arah dalam bangunan mewah itu.

Rianti ragu-ragu. Dipandanginya sekeliling dia berdiri. Ruang besar yang bisa menampung puluhan orang. Desainnya unik. Lukisan-lukisan kuno terpampang di dinding-dindinnya. Dia mencoba mendekat dan mengamati satu per satu, tapi dia tidak mengenalnya.

“Itu, kakek dan nenek ayahku, Anti. Mereka sudah meninggal. Rumah ini memang peninggalan beliau. Dulu, kata ayah hanya kecil dan sederhana. Hanya cukup untuk bertempat tinggal mereka berdua yang berprofesi sebagai nelayan. Lalu ayah membangunnya hingga seperti ini.” Ano menjelaskan meski Rianti tidak bertanya.

Rianti mengangguk kecil tanpa menyahut dengan kata-kata. Dia pun melanjutkan melangkah ke bagian pojok. Pandangannya tidak lepas dari akuarium besar. Airnya bening dengan ikan-ikan kecil berenang dan berkejaran di antara karang-karang yang sengaja ditata oleh tangan-tangan terampil. Artistik. Dua ekor kuda laut mini tampak mengapung-apung menikmati suasana. Rianti serasa menyelam di sebuah lautan bebas. Perasaan adem menyelimuti tubuh dan pikirannya.

“Airnya bening sekali.” Tiba-tiba Rianti berkomentar.

“Itu air laut, Anti,” sahut Andara yang sejak tadi mengikuti di belakangnya.

“Owh,” sahut Rianti sambil terus mengamati binatang-binatang laut yang semua berukuran kecil.

“Non, barang-barang sudah saya letakkan di kamar,” ujar Pak Sofyan sambil menyerahkan kunci kepada Andara.

“Terima kasih, Pak.” Andara menerima kunci lalu memasukkan ke dalam saku t-shirtnya.

Laki-laki itu mengangguk dan meninggalkan dua gadis yang masih asyik di dekat akuarium. Matanya sempat menatap tajam ke arah Rianti. Pandangan aneh menyiratkan makna yang sulit diterjemahkan.Hingga dada Rianti berdebar kencang. Dia merasa ngeri dengan pandangan mata yang tidak biasa itu. Dipegangnya tangan Andara. Keringat dinginnya mendadak membasah di seluruh tubuhnya.

Bondowoso, 13 Mei 2023   

  

    

 

 

Rabu, 10 Mei 2023

Sesal

 

Sesal

Oleh: Khatijah

Pak Darto lebih paham atas perubahan pada diri Fathia. Kematian Wiji sahabatnya, telah mencuri seluruh keceriaan hatinya. Meski begitu dia merasa lebih dari yang dirasakan Fathia. Perasaan kehilangan sekaligus bersalah bahkan merobek-robek nuraninya. Namun, dia hanya bisa menelannya sendiri. Tidak mungkin dia akan menceritakan kesedihan itu pada Fathia, apalagi istrinya.

“Ayah duluan ya, ada pekerjaan yang harus diselesaikan malam ini. Besok harus sudah kelar.” Pak Darto akhirnya meninggalkan Fathia dan ibunya.

Fathia menatap ayahnya. Ada kesunyian menggenang di mata lelaki lebih paroh baya itu. Dia melihatnya sejak berada di makam Wiji. Pertanyaan besar mengganggu jiwa gadis cantik kebanggaan ayah dan ibunya itu. Pergolakan batin tak mampu dia ungkapkan di depan ibunya yang rapuh. Demikian juga bibirnya terasa kelu saat ingin menanyakan langsung kepada ayahnya.

Jika harus bertanya kepada ibunya, jelaslah beban wanita itu akan bertumpuk-tumpuk. Barangkali tanpa ditanya pun nurani Bu Harni sudah bicara. Ketidakmampuan fisiknya membuat dia terbelenggu dengan ketakutan demi ketakutan yang dia ciptakan sendiri. Meski hatinya berontak ingin melepaskan beban deritanya. Tinggallah dia sendiri dalam sepi hati. Tertindih berbagai masalah yang sulit terurai.

“Thia, Ibu tidak tahu apa yang kalian pikirkan. Kenapa gak cerita sama Ibu? Sebenarnya siapa yang telah meninggal dan membuatmu sedih?” Akhirnya Bu Harni membuka ruang tenggorokannya yang sejak tadi terasa tercekik.

Fathia terhenyak. Lagi-lagi dia bingung untuk memberikan jawaban yang sesungguhnya kepada ibunya.  

“Teman SMA, Bu.” Fathia menjawab sekenanya.

“Iya, siapa?” Bu Harni mengejar.

Fathia kian gelagapan. Terbayang saat ibunya tahu bahwa yang meninggal Wiji. Entah akan seperti apa ekspresinya. Apakah puas atau sedih karena aku dan ayah tampak begitu kehilangan. Fathia benar-benar terdesak.

“Wiji, Bu.”

Dada Fathia berdebar kencang. Dia benar-benar keceplosan. Spontan dua telapak tangannya menutup bibirnya. Bu Harni tampak menarik napas panjang. Entahlah apa maknanya.

“Akhirnya, hanya kamu yang jadi pewaris harta ayahmu, Fathia,” ujar Bu Harni datar.

Bersamaan dengan ucapannya, Bu Harni mendorong kursi rodanya meninggalkan ruang makan. Tinggallah Fathia yang terbengong-bengong. Buru-buru dia kejar ibunya dan dibantunya mendorong kursi roda.

“Ibu jangan berbicara seperti itu. Bagaimana pun kita tetap berduka, Bu. Kasihan anak itu. Dia tidak tahu apa-apa. Takdir saja yang membawanya pada lingkaran masalah yang pelik ini.”

“Masih juga kamu membelanya. Tidak sakit hatimu telah dihancurkan. Sama dengan hati Ibu yang berkeping-keping akibat semua ini.”

Kali ini Fathia tidak bisa menahan tangis. Diabaikannya air matanya berdera-derai. Dalam hati, dia membenarkan ucapan ibunya, tapi di sisi lain perasaan kehilangan tak bisa dia urai hanya dengan sekadar mengingat takdir yang mempermainkan keluarganya.

“Sudah, hentikan tangismu! Kamu lebih memilih dia? Mendukung semua kejahatan ibunya? Dan membiarkan Ibu yang sudah hancur ini mati karena kelakuanmu dan kelakuan ayahmu?” ucap Bu Harni dengan suara bergetar.

“Ibu, Fathia sayang Ibu.”

Hanya itu yang bisa terucap dari bibir Fathia. Dipeluknya ibunya erat-erat setelah kursi rodanya berhenti. Ditumpahkannya kasih sayangnya kepada wanita yang telah melahirkannya itu. Namun, Fathia terkejut luar biasa karena tiba-tiba ibunya kejang-kejang lagi.

“Ayah, Bi Siti, tolong!” jerit Fathia sekuat-kuatnya.

Bi Siti yang sednag bersih-bersih di dapur terkejut mendengar teriakan Fathia. Serta-merta, dia berlari menuju kea rah suara. Sementara Pak Darto yang sebenarnya tidak sedang menyelesaikan pekerjaannya di kamar, melompat dan berlari menuju Fathia dan ibunya.

 Bersambung ...


 

      

 

 

 

 

Selasa, 09 Mei 2023

Sesal

 Sesal @ 2

Oleh: Khatijah

Sayup-sayup azan magrib berkumandang.Hamparan nisan di pemakaman semakin samar. Warna jingga di pucuk-pucuk kamboja sudah sirna. Gelap pun segera menjemput. Fathia melepaskan diri dari pelukan ayahnya. Sisa air matanya nyaris mengering.

“Ayah, sudah gelap. Kita pulang!”

Darto pun tersadar. Sekuat tenaga dia berusaha mengembalikan perasaannya pada posisi semula. Kembali pikirannya pada kenyataan bahwa yang dihadapannya bukanlah Wiji, melainkan putri kandungngya sendiri, Fathia.Lalu pandangannya kembali menatap sendu, pusara yang nyaris tertutup oleh kepekatan malam. Belum cukup rasanya merebahkan rindunya pada sisa duka yang kian menenggelamkan.

“Selamat tinggal, Wij,” ucap Darto seraya bangkit dan perlahan melangkahkan kakinya meninggalkan pusara bisu.

Fathia melangkah mendahului ayahnya. Tak seucap kata pun keluar dari bibir mereka. Bapak dan anak itu berada pada pikiran masing-masing. Sesal yang masih setia bediam di hati Fathia masih membuatnya sesak. Demikian juga Darto. Penyesalannya hanya ditelan sendiri. Hingga tidak sadar sampailah mereka di tempat Darto memarkir mobil.

“Biarkan Fathia yang nyetir, Yah!”

Tanpa persetujuan, Fathia langsung membuka pintu mobil dan duduk di belakang kemudi.Dia tahu benar bahwa ayahnya tidak sedang baik-baik saja. Darto hanya mengiyakan dan mengambil posisi di samping Fathia yang segera melajukan mobilnya.

“Kok, sampai malem, Thia,” sapa Bu Harni di atas kursi rodanya, sesaat setelah menjawab salam Fathia dan ayahnya.

“Ya, Bu. Memang berangkatnya kesorean tadi,” sahut Fathia sambil menyerahkan kontak kepada ayahnya.

“Ibu sudah salat Magrib?” Darto bertanya seraya mendekati istrinya.

 “Sudah, Yah. Tadi ambil wudunya dibantu Yu Siti.”

Didorongnya kursi roda Harni ke ruang keluarga. Sementara Fathia bergegas ambil wudu. Lalu dia tenggelam dalam doa setelah salat tiga rekaat itu usai dilaksanakan. Air matanya kembali berderai. Nama Wiji kembali disebut-sebutnya. Bayangan tentang Wiji kian lama kian terang benderang. Serupa memutar ulang film berdurasi panjang, Fathia menatap dalam angannya sendiri. Jerit hatinya belum juga mereda. Tidak henti dia mengutuki dirinya sendiri. Terbayang di mata dan pikirannya saat pengumuman lulusan merenda kegembiraan di hatinya dan hati Wiji.  Dua gadis itu berkeinginan untuk  bersama-sama mendaftar di Perguruan Tinggi yang sama. Wiji dan Fathia takut jika perpisahan di SMA itu membuat jarak di antara mereka benar-benar jauh. Namun, kini tidak hanya jauh, tapi dia tidak akan pernah bertemu sahabatnya itu selama-lamanya.

“Fathia, makan dulu, Nak. Kenapa tidak keluar dari kamar?” Bu Harni memanggil anak gadisnya yang belum juga muncul sejak kepulangan dari makam.

Buru-buru Fathia melipat mukena.Dirapikannya pakaian dan wajahnya. Tak ingin ibunya berprasangka yang tidak-tidak. Dia benar-benar berhati-hati dalam menjaga hati wanita yang sangat disayanginya itu.

“Tadi nyekar di makam siapa sih, Yah?” Bu Harni menelisik suaminya.

Pak Darto agak kebingungan. Namun, buru-buru dia mengambil sikap sebab tidak mungkin dia mengatakan bahwa dia mengantarkan Fathia ke makam Wiji. Dia pura-pura terbatuk. Beruntung, belum sampai menjawab, Fathia datang.

 

Fathia langsung mengambil tempat duduk berhadapan ayah dan ibunya yang sudah menunggu untuk makan bersama-sama.

“Yu Siti masak kesukaanmu Thia, sayang sekali kalau kamu tidak makan.” Bu Harni menunjuk piring saji di depannya.

“Asyik,” ucap Fathia sambil menatap Fuyunghai di piring saji.

Meski tidak berselera, Fathia berusaha memenuhi harapan ibunya. Diambilnya piring dan garpu. Sesendok saja dia mengambil fuyunghai lalu disantapnya pelan-pelan.

Bu Harni menatap penuh tanda tanya. Dia berpikir bahwa ada yang tidak biasa terjadi pada Fathia. Anak gadisnya itu biasanya begitu lahap menyantap fuyunghai. Tidak seperti kali ini.

    Bersambung....


  



Entri yang Diunggulkan

Puisi-Puisiku

  Puisi-Puisiku Oleh: Khatijah   1.        MENDEKAP HARAP Kupatahkan ragu di tiang rapuh Menjaga rasa cita pada setia Di cadas lin...