Kekuatan
Cinta Antara Anak dan Bapak dalam Miracle In Cell No. 7
Oleh:
Khatijah
Foto: Diambil dari Gogle
Bagi
Anda yang hobi menonton film drama, Miracle In Cell No. 7 versi Indonesia ini sangat
sayang untuk dilewatkan. Banyak adegan yang menguras air mata. Namun, suatu
ketika juga dituntut tertawa terbahak-bahak karena melihat kelucuan para tokoh
seperti Indro Warkop, Tora Sudiro, dan kawan-kawannya, yang berperan sebagai
narapidana di dalam penjara. Bukan hanya itu, esensi film ini mampu membangun
karakter bagi penonton yang benar-benar menghayatinya. Begitu piawainya Hanung
Bramantyo sebagai sutradara dalam penggarapan film ini sehingga film ini berahasil
menyedot 4,9 penonton. Seperti film bergenre drama lainnya yang disutradarai
Hanung Bramantyo, film ini mampu mengharu biru bagi para penikmatnya. Film ini
tidak kalah menariknya dengan film drama “Bumi Manusia” yang diangkat dari
novel karya Pramoedya Ananta Toer dalam judul yang sama. Meskipun film Miracle
In Cell No.7 belum sesukses film “Ayat-Ayat Cinta” yang diangkat dari novel
karya Habiburrahman El Shirazy, tapi film ini layak untuk ditonton semua
kalangan.
Cerita
dalam Film Miracle In Cell No.7 diadopsi dari film Korea Selatan (2013). Diambil
dari kisah nyata yang dialami oleh seorang pria Korea yang bernama Jeong Won
Seop, seorang disabilitas intelektual. Dalam versi Indonesia, film ini
menceritakan seorang disabilitas intelektual bernama Dodo Rozak, diperankan
oleh Vino G. Bastian. Dodo Rozak hidup berbahagia bersama putri cantiknya yang
bernama Kartika (Ika). Sebagai seorang yang mengalami keterbelakangan mental,
Dodo Rozak berperilaku seperti anak kecil. Itulah yang menyebabkan antara
Kartika dan Dodo Rozak seperti teman sepermainan, padahal mereka merupakan ayah
dan anak.
Cinta
dan tanggung jawab Dodo Rozak kepada Kartika sangatlah besar. Begitu juga cinta
Kartika kepada ayahnya. Dia tidak malu dengan keberadaan ayahnya. Kebahagiaan mereka
tampak pada wajah dan perilaku mereka yang senantiasa ceria saat di rumah maupun
saat antar jemput Kartika yang masih bersekolah di Sekolah Dasar. Dodo Rozak
juga sangat berbahagia dengan profesinya sebagai penjual balon. Hingga suatu saat
kebahagian keduanya terenggut.
Konfliknya
berawal ketika Dodo rozak menemukan gadis kecil (diperankan oleh Makayla Rose) yang
terapung-apung di sebuah kolam. Sebagai seorang yang berkarakter baik, dia tidak
tega. Tanpa pikir panjang, dia menolongnya. Namun, ternyata gadis kecil itu sudah
meninggal. Dia tidak pernah menduga bahwa maksud baiknya itu justru membuatnya
dituduh sebagai pembunuh sekaligus pemerkosa. Dengan segenap keterbatasan
mentalnya, Dodo Rozak menolak tuduhan itu. Sayang, orang-orang tidak memercayai
alasannya sedikit pun. Peristiwa ini menjadi awal mula kesedihan antara ayah
dan anak itu.
Konflik
semakin meningkat saat terjadi perpisahan antara Dodo Rozak dengan anaknya,
Kartika. Semula Kartika resah ketika menunggu sang ayah tidak segera
menjemputnya di sekolah. Dia tidak pernah menyangka bahwa ayahnya ditangkap dan
dipaksa dimasukkan ke dalam tahanan. Hal yang tidak terduga itu membuat Ika
(panggilan untuk Kartika) sangat sedih. Begitu juga Dodo Rozak sang ayah yang
tidak rela meninggalkan Kartika di rumah. Ketika berada di sel tahanan, dia
selalu menangis dan meminta agar bisa dipertemukan dengan Kartika (Ika). Dia
sangat memikirkan anaknya itu karena selain dia tidak bisa berpisah dengannya, Kartika
sudah tidak punya ibu.
Permintaan
Dodo Rozak itu, tidak dikabulkan oleh pihak lapas. Namun, teman-temannya di sel
nomor 7, Japra (Hendro Warkop), Zaki (Tora Sudiro), Asrul ( Bryan Domani), dll,
berusaha keras agar Kartika bisa diselundupkan ke dalam sel. Itu disebabkan
rasa simpati yang sangat besar kepada Dodo Rozak, seorang disabilitas yang baik
perilakunya dan sering menolong para narapidana, termasuk kepala sipir Hendro
Sanusi (Deni Sumargo).
Perjuangan
untuk menyelundupkan Kartika ke dalam sel pun berhasil. Walaupun banyak
mengalami rintangan. Di dalam sel ini, Kartika dan Dodo Rozak menemukan
kebahagiaannya kembali. Kebahagiaan antara ayah dan anak itu menjalari seluruh
penghuni sel. Kelucuan-kelucuan pun sering terjadi. Meskipun Dodo Rozak seorang
disabilitas, dia punya tanggung jawab dan kasih sayang yang sangat besar kepada
anaknya. Inilah pelajaran yang bisa dipetik. Seorang disabilitas saja bisa bertindak
seperti itu kepada anaknya apalagi lelaki yang diberikan kesempurnaan. Hal ini
bisa menjadi contoh para orang tua khususnya seorang ayah. Demikian juga kasih
sayang seorang anak kepada ayahnya yang tidak pernah berakhir meskipun ayahnya
seorang laki-laki berketerbelakangan mental. Seperti cinta Kartika kepada
ayahnya Dodo Rozak. Oleh karenanya, banyak narapidana yang bersimpati
kepadanya, termasuk Hendro, sang kepala penjara.
Kecintaan
sahabat-sahabatnya di dalam lapas tidak berhenti di situ. Bahkan teman-temannya
juga membantu Dodo Rozak mengusahakan agar dia terbebas dari tuduhan. Berbagai
upaya dilakukan. Mereka juga membantu agar dia menghafalkan kalimat yang akan digunakan
di persidangan untuk menyangkal tuduhannya sebagai pembunuh dan pemerkosa yang
memang tidak dilakukannya.
Klimaks
film ini terjadi saat kejujuran Dodo Rozak dipertaruhkan. Keterbatasannya untuk
membela diri bahwa dia tidak melakukan seperti yang dituduhkan, ternyata gagal.
Dia kalah di pengadialan dan divonis hukuman mati. Eksekusinya akan
dilaksanakan di Nusakambangan. Mendengar putusan pengadilan itu, teman-temannya
di dalam tahanan sangat sedih. Maka dari itu mereka ingin membantu Dodo Rozak
dan putrinya melarikan diri dari tahanan dengan menggunakan balon udara. Namun,
usaha mereka tidak berhasil karena balon udara yang dinaiki Dodo Rozak dan Kartika,
tersangkut.
Perasaan
haru biru penonton tidak tertahan saat menyaksikan perpisahan antara Dodo Rozak
dan Kartika Kecil. Lagu soundtracx
yang berjudul “Andaikan Kau Datang Kembali” yang dibawakan oleh Anmash Kamaleng
menambah derasnya air mata yang tumpah. Dengan tangisan menyayat hati, Kartika
kecil harus menyaksikan ayahnya dibawa petugas untuk dipindahkan ke
Nusakambangan. Dia terus memanggil-manggil ayahnya. Demikian juga Dodo Rozak
tidak berhenti menangis dan ingin bersama Kartika, tapi tidak bisa. Mereka
hanya bisa saling melambaikan tangan dalam tangis yang sangat pilu.
Hendro
(Deni Sumargo) sang kepala lapas pun tidak bisa menahan kesedihan. Demikian
juga para narapidana lain. Akhirnya Kartika pun diminta untuk tinggal bersama
keluarga Hendro. Di keluarga itu, anak perempuan ini tumbuh menjadi seorang
gadis yang kemudian dikuliahkan agar bisa membela ayahnya.
Film
ditutup setelah adegan di sebuah pengadilan. Kartika yang saat itu sudah dewasa
(Mawar De Jongh) berperan sebagai pengacara ayahnya, Dodo Rozak. Dia memohon
kepada pengadilan agar nama ayahnya dibersihkan dari tuduhan sebagai pembunuh
dan pemerkosa meskipun ayahnya sudah tidak ada karena telah dihukum mati.
Film
yang mulai tayang di bioskop sejak September 2022 ini, banyak memberikan
pelajaran berharga yang bisa dipetik oleh penonton. Pertama, bahwa keadilan itu
milik semua orang, termasuk orang yang mengalami keterbelakangan mental. Jadi,
hendaknya tidak memanfaatkan kekurangan seseorang demi kepentingan tertentu. Dia
harus mendapatkan perlakuan yang adil seperti halnya orang-orang normal. Bahkan
seharusnya dia disayangi dan dihormati sesuai dengan haknya.
Perilaku
baik dari tokoh Dodo Rozak bisa menjadi contoh setiap orang. Ternyata
kekurangan pada laki-laki itu, tidak menghalangi ketulusan hatinya untuk selalu
berbuat baik kepada orang lain, seperti memberikan pertolongan dan membela
kebenaran. Bukan hanya itu, kasih sayang dan tanggung jawabnya sebagai seorang
ayah patut diteladani. Di balik keterbatasan yang dimiliki, ada jiwa besar
untuk selalu merawat dan melindungi anaknya dengan sepenuh kasih sayang. Meski
akhirnya mereka dipisahkan oleh ketidakadilan.
Selain
itu, film ini juga mengajarkan kepada penonton untuk saling mengasihi dan
menyayangi antara orang tua dan anak. Maka dari itu, usia penontonnya tidak
dibatasi. Justru anak-anak bisa diajak menonton film ini agar perasaan sayang
dan cinta kepada ayah atau orang tuanya, tumbuh menjadi lebih kuat. Anak-anak
akan takut kehilangan ayahnya seperti halnya Kartika. Bahkan akan membela nama
baik orang tuanya meskipun orang tua sudah tidak ada di dunia ini. Dengan
menonton film ini seorang anak diharapkan tidak akan menjadi anak durhaka
seperti yang sering terjadi di berita-berita yang disaksikan di televisi.
Itulah
kelebihan-kelebihan film Miracle In Cell No.7. Waktu 145 menit selama pemutaran
film, terasa sangat singkat. Ini disebabkan oleh bagusnya film tersebut. Siapkan
tisu yang banyak jika anda ingin menonton film tersebut. Sebab emosi akan terus
dipermainkan selama menonton film yang bisa ditonton oleh semua umur ini. Bukan
hanya segi isinya saja yang bagus, tapi perpaduan antara cerita, musik,
pencahayaan, dan berbagai unsur film yang lain, sangat mendukung. Hampir tidak
ditemui kekurangan di dalam film Miracle In Cell No. 7 versi Indonesia yang
saya tonton.
Identitas Film
Judul Film: Miracle In Cell No.7 (Versi Indonesia)
Sutradara: Hanung Bramantyo
Film Produksi: Falcon Pictures
Produser: Frederica
Penulis Skenario: Alim Sudio
Penulis Cerita Asli: Lee Hwan Kyu
Soundtrakcx Lagu: Andaikan Kau Datang (Dibawakan kembali
oleh Anmesh Kamaleng)
Pemeran:
Vino G. Bastian: Dodo Rozak
Graciella Abigael: Kartika (Ika)
Indro Warkop: Japra (narapidana)
Deni Sumargo: Hendro Sanusi (kepala lapas)
Marsha Timothy: Juwita
Makayla Rose: Melati (gadis kecil yang meninggal)
Tora Sudiro: Narapidana
Bryan Domani: Narapidana
Tayang di Bioskop: Sejak September 2022
Durasi: 145 menit
Peresensi
Khatijah
dilahirkan di Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Bondowoso Jawa Timur menjadi kota tempat tinggal sejak menjadi
guru di SMPN 1 Tapen. Ada 8 Buku karya tunggalnya: Sekeping Rindu (Kumpulan
Cerpen: 2020), Selendang Merah Jambu (Novel: 2020), Rinduku di Antara Bunga Ilalang
(Novel: 2020), Sejingga Rembulan (Novel: 2021), Puspa Indah Telaga Rindu (Kumpulan Cerpen: 2021),
Anyelir Merah Darah (Novel: 2022), Seikat
Mawar Ungu (Kumpulan Cerpen: 2022). Elegi
di Kaki Bukit (Novel: 2023) Dia
pernah meraih predikat pemenang kedua penulis buku fiksi terbaik pada Lomba
Temu Nasional Guru Penulis MediaGuru tahun 2022 di Jakarta. Dia juga berkontribusi
37 buku Karya Antologi.