Sesal
Sesal
Oleh: Khatijah
Kepergian
Wiji benar-benar menyisakan duka mendalam bagi Fathia. Sahabatnya yang bermata
indah itu selalu hadir dalam mimpinya. Perasaan bersalah senantiasa meggerogoti
ketenangan batinnya. Seandainya bisa, Fathia akan bersimpuh di kaki gadis itu
guna meminta maaf kepadanya. Namun apa daya, semua tak akan mungkin. Sebab
malaikat telah menjemput dan membawanya ke alam keabadian. Fathia sadar, kekhilafannya takkan bisa ditebus dengan air
mata.
Tangan
Fathia memetik bunga-bunga di halaman. Bunga mawar berwarna putih dan merah
menjadi prioritas yang dipilihnya. Satu per satu kuntum-kuntum itu, ditaruh di
keranjang kecil yang terbuat dari anyaman bambu. Air matanya jatuh saat
teringat bahwa Wiji menyukai bunga itu. Bunga dengan mahkota elok yang
menebarkan aroma wangi. Walaupun terlambat, kini dia ingin mempersembahkan
buatnya.
“Buat
apa bunga-bunga itu kau petik Thia? Biarkan mahkotanya gugur alami sesuai waktunya,” Bu Harni ibu Fathia menegornya
dengan lembut. Fathia terkejut. Buru-buru ujung jari-jemarinya mengusap air bening yang
membasahi pipinya.
“Buat
nyekar, Bu,” jawab Fathia gugup.
“Nyekar? Nyekar buat siapa?” tanya ibunya keheranan.
Fathia
berhenti memetik bunga-bunga itu, lalu melangkah mendekati ibunya yang duduk di
kursi roda, tidak jauh darinya.
“Bu,
orang yang sudah meninggal itu, apa bisa memaafkan kita, ya?” Pertanyaan
Fathia, membuat ibunya terkejut. Dahinya berkerut sejenak sebelum menjawab
pertanyaan putrinya yang dirasa aneh itu.
“Ibu
pernah dengar, katanya kita hanya bisa mendoakan saja, Nak. Semoga Allah
mengampuni segala kekhilafan kita, termasuk kepada orang-orang yang sudah meninggal
dunia,” jawab ibunya.
Fathia
murung. Dia tidak merespons jawaban ibunya. Pandangannya menerawang jauh.
Kembali bulir-bulir bening itu berjatuhan. Hati Bu Harni tiba-tiba hanyut
terbawa sedih. Nyesek di dadanya,
menyaksikan putrinya berderai air mata. Tak kuasa genangan di matanya jatuh
juga. Dia panggil Fathia agar lebih dekat lagi. Fathia pun mengikuti permintaan
ibunya. Dipeluknya gadis kesayangannya itu dan berkali-kali jemarinya merapikan
anak rambut yang menutupi wajah cantik gadis itu.
“Thia,
memangnya siapa yang sedang kaupikirkan, Nak?” tanya Bu Harni sambil
pelan-pelan melepas pelukannya.
“Bukan
siapa-siapa kok, Bu,” jawab Fathia berbohong. Tak ingin Fathia membangkitkan
kembali emosi ibunya yang sudah tertata. Dia juga tidak ingin membuat kondisi ibunya
yang sudah semakin sehat, akan terpuruk kembali.
Bu
Harni menarik napas panjang, seolah dia mengetahui siapa yang telah menaburkan
kesedihan di hati anak perempuannya itu. Diusapnya rambut Fathia. Dipandanginya
wajah anak perempuannya yang tampak semakin cantik, seiring dengan bertambah
umurnya. Lalu kedua tangannya memeluk erat anak gadis satu-satunya itu.
Fathia
tenggelam dalam haru hatinya. Kedekatannya dengan sang ibu menjadi jembatan
perasaannya yang semakin riuh atas kejadian yang dialaminya akhir-akhir ini. Bimbang
di hatinya masih saja bersemayam. Berharap wanita yang dikasihinya ini bisa
menjadi tempanya bersandar. Namun sayang, tak ada keberanian Fathia untuk
sekadar menceritakan penyebab rapuh hatinya. Bukan hanya karena seseorang yang
telah meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya, tapi juga tidak memiliki keberanian untuk menguak
hati wanita yang dicintainya itu mengapa begitu membenci Wiji. Meski gadis
bermata sayu itu tidak lagi bernyawa.
Dia
sadar betul bahwa ibunya tidak menyukai Wiji. Bukan karena Wiji tak berperilaku
elok, tapi karena ada alasan tertentu yang membuat Bu Harni selalu berpaling
muka jika Fathia berbicara tentang gadis itu.
“Ayo,
jangan melamun Thia, teruskan kamu memetik bunga. Cepat-cepatlah kalau kamu mau
nyekar! Waktunya sudah sore. Nanti ke
pemakaman minta ditemani ayah saja, ya! Jangan berangkat sendirian ke sana!”
ujar Bu Harni ketika Fathia tampak termenung beberapa saat.
“Oh,
iya Bu. Biar Thia diantar ayah,” sahut Fathia gugup.
Buru-buru
dia menyembunyikan wajahnya agar ibunya tidak membaca sesuatu yang
disembunyikannya.
Warna
jingga di sebelah barat menjadi pertanda bahwa senja mulai datang. Burung-burung
berkelompok-kelompok di langit, terbang melayang-layang menyambut gelap yang
sebentar lagi memekat. Saat itulah, ayah dan anak gadisnya, berjalan di antara
batu nisan. Pandangan mata keduanya menyapu ke sekian banyak batu nisan yang
rata-rata sudah pudar karena terkena sinar matahari dan hujan berulang-ulang.
Fathia
membaca raut wajah ayahnya. Tampak Dato, ayah Fathia itu menabur sedih tak
terkira. Terlebih saat tinggal beberapa meter tampak sebuah nisan tertanam di
atas gundukan tanah merah. Taburan bunga-bunga mawar merah putih dan kelopak
kenanga menutup seluruh permukaannya.Laki-laki itu tampak memendam duka
mendalam. Namun, dia hanya bisa menyimpannya sendiri. Tak seucap kata keluar
dari bibirnya. Tidak ingin seorang pun tahu bahwa duka itu sedang menghimpitnya,
termasuk Fathia. Sesekali dia menahan genangan air mata yang nyarisr tumpah. Dadanya
kian sesak menyaksikan Fathia yang berburai air mata. Begitu riuh duka yang
bermain di perasaan Darto.
Rambut
lurusnya sesekali diusapnya dengan tangan kanan sesaat setelah diam-diam memandangi
wajah Fathia. Sesekali pula jari-jarinya menyeka sudut matanya. Hanya Fathia
yang sempat berpikir. Begitu dalamnya rasa kehilangan ayahnya terhadap Wiji,
gadis yang telah lama menjadi sahabat karibnya. Fathia hanya berpikiran bahwa ayahnya sudah menganggap Wiji seperti
anak kandungnya.
“Di depan itu, Thia,” ucap Darto memecah
keheningan. Telunjuknya mengarah pada gundukan tanah yang sejak tadi menjadi pusat
perhatian dirinya dan Fathia. Lalu dia berjalan mendahului Fathia.
Tanpa
seucap kata, Fathia mengikuti langkah ayahnya. Hanya beberapa langkah saja
mereka sudah sampai di makam Wiji. Setumpuk bunga-bunga yang masih segar
menghambur di antara dua batu yang bertuliskan “Wiji Andrarini”.
Air
mata Fathia kembali menetes. Kali ini disertai isak yang tak bisa ditahan. Dia
larungkan kesedihan yang teramat dalam. Sambil menaburkan bunga-bunga mawar di
atas pusara, diucapkannya permintaan maaf bertubi-tubi kepada sahabat yang
tak lagi bisa menjawabnya itu.
Penyesalan akan kebencian yang telah dia lakukan menyesakkan dadanya. Dia
merasa menjadi seorang yang paling berdosa. Terbayang kebaikan Wiji sejak kecil
hingga akhir hidupnya. Kebaikan seorang sahabat yang belum pernah dibalasnya. Kini
hanya doa dan air mata yang bisa dia persembahkan kepada Wiji.
“Wiji,
maafkan aku,” isak Fathia saat memegangi ujung pusara.
“Fathia,
kita berdoa dulu, ya!”
Serta-merta
Darto membaca doa-doa dengan khusuk. Masih dalam burai air mata Fathia
mengaminkan. Suara dua orang di antara pusara itu begitu menyayat. Pilu dalam
sedu sedan. Sesudahnya, tangan-tangan mereka menaburkan kelopak-kelopak tiga
warna dari keranjang kecil di sampingnya.
“Maafkan
Ayah, Fathia!” Tiba-tiba suara Darto mememcah keheningan.
Fathia
terperangah. Tidak bisa dia memaknai permintaan maaf ayahnya. Namun, dia tidak
bisa melepas pertanyaan dalam hatinya. Keheranan hatinya bertambah-tambah. Dari
kesedihan yang terpancar dari roman wajahnya saja sudah terasa di luar
kebiasaan. Ditambah kali ini, dia meminta maaf. Fathia bingung memikirkan sikap
sang ayah.
“Fathia,
ayah minta maaf, ya!” Lagi-lagi Darto mengulang permintaan maafnya kepada
Fathia.
Seketika
gadis itu menghambur ke dalam pelukan sang ayah. Titik air bening yang sudah mengering
kembali meruah. Satu per satu jatuh dari sudut mata laki-laki yang sekian lama
memendam kepahitan hidup seorang diri. Sifat pengecutnya telah membutakan mata
hatinya dan memisahkan dua sahabat yang saling mengasihi. Perasaan berdosa
teramat menusuk. Baru saat ini, cinta Fathia dan ayahnya kepada Wiji, berhambur
bersama kelopak mawar yang bertaburan di pusara.
Bersambung...