Jumat, 12 Mei 2023

Menanti Matahari

 Menanti Matahari @2

Oleh: Khatijah


 “Hore, kita sudah sampai,” teriak Al sambil melambai-lambaikan tangannya. Rona di wajahnya menandakan bahwa dia sangat tidak sabar untuk segera mendarat di pulau yang berhiaskan tanaman cemara udang di sekelilingnya. Perahu yang membawa mereka semakin merapat ke sebuah dermaga kecil. Sementara beberapa meter di  sebelah kanan tampak perahu dengan cat warna putih keabu-abuan terapung-apung. Perahu yang mereka naiki pun segera bersandar.

“Ayo, kita keluar dari perahu! Jangan lupa ransel dan barang bawaan masing-masing!” Giano melompat terlebih dahulu ke bibir dermaga. Hanya  sebuah tas kecil diselempangkan di badan saja yang dia bawanya. Berbeda dengan empat temannya yang sibuk dengan tas dan barang bawaan. Tentu saja Giano tidak perlu repot-repot karena semua keperluan sudah tersedia di vila milik ayahnya yang dia kunjungi hampir setiap Sabtu hingga hari Minggu. Ada pegawai khusus ayahnya yang akan membawakan barang-barang kebutuhannya dari rumah tinggalnya di Jakarta.

 “Al, tolong bantu Andara sama Rianti! Bawakan barang-barangnya!” kata Giano sebelum meninggalkan dermaga.

“Biar Mang Sofyan, yang membantu Aden,” sahut seorang lelaki lima puluhan tahun yang tiba-tiba muncul di dekat Al.

Al sempat terkesima saat lelaki itu menatapnya tajam.Tiba-tiba ada perasaan aneh. Dia beranggapan seolah lelaki itu sudah mengenalnya.Padahal sejatinya baru kali ini dia melihatnya. Dia tersenyum meski hatinya sempat ngeri. Al membaca ada benci tersirat di sorot mata lelaki itu. Namun, Al segera membuang anggapan itu jauh-jauh. Dia kembalikan perasaannya pada posisi semula. Berlibur dan bersenang-senang dengan sahabat-sahabatnya.

“Pelan-pelan Rianti,” ucap Andara yang sudah terlebih dahulu keluar dari perahu.

Diulurkannya tangan kanannya kepada sahabatnya yang tampak ragu-ragu melangkahkan kaki dari perahu ke bibir dermaga. Giano melemparkan pandangannya kepada dua gadis yang sejak lama menjadi sahabatnya itu.

“Wajahmu pucat sekali, Rianti. Kamu masih pusing, ya?” Ucapan Giano membuyarkan konsentrasi Rianti.

“Tinggal sedikit pusingnya Ano, tenang saja. Sebentar lagi buat istirahat pasti sembuh,” sahut Rianti dengan suara lemah.

“Oke, Mang Sofyan sudah membersihkan dan merapikan kamar-kamar untuk kalian. Habis ini kamu bisa beristirahat, Anti.” Giano melirik Rianti yang tidak menampakkan ekspresi ceria sama sekali.

Rianti tetap diam dalam gemulai langkahnya. Tangan kurusnya yang putih bersih dengan jari-jari runcing memegangi tangan Andara. Andara gadis manis sahabatnya yang masih saudara sepupu Giano sesekali melirik ke arah pemuda itu. Dia paham benar bahwa pemuda itu sangat mencemaskan Rianti.

Langkah-langkah kaki menapaki tanah berpasir diringi suara angin yang mengibaskan dahan-dahan cemara udang. Dingin. Daun-daun kelapa menjulur memuncakkan  keinginan  untuk segera menikmati indahnya matahari senja di seputaran pantai. Dua puluh meter dari bibir pantai, tampak sebuah bangungan dengan arsitektur modern. Pohon angsana besar dengan rerimbunan daunnya menaungi teras bagian depan sehingga nuansa adem sudah terasa meski lima anak muda itu belum sampai di tempat itu.

Kaki lemah Rianti terhenti saat Andara membalikkan tubuhnya. Dia memanggil Giano, Al, dan Armando.

“Hei, tolong kalian kasih tahu Mang Sofyan. Barang-barangnya langsung dimasukkan ke dalam kamar saja,” kata Andara sebelum kaki kanannya menapak di beranda depan.

“Sudah. Dara dan Anti langsun saja masuk ke kamar tengah. Di sana kalian bisa lansung mandi dan beristirahat.” Tangan Giano menunjuk arah dalam bangunan mewah itu.

Rianti ragu-ragu. Dipandanginya sekeliling dia berdiri. Ruang besar yang bisa menampung puluhan orang. Desainnya unik. Lukisan-lukisan kuno terpampang di dinding-dindinnya. Dia mencoba mendekat dan mengamati satu per satu, tapi dia tidak mengenalnya.

“Itu, kakek dan nenek ayahku, Anti. Mereka sudah meninggal. Rumah ini memang peninggalan beliau. Dulu, kata ayah hanya kecil dan sederhana. Hanya cukup untuk bertempat tinggal mereka berdua yang berprofesi sebagai nelayan. Lalu ayah membangunnya hingga seperti ini.” Ano menjelaskan meski Rianti tidak bertanya.

Rianti mengangguk kecil tanpa menyahut dengan kata-kata. Dia pun melanjutkan melangkah ke bagian pojok. Pandangannya tidak lepas dari akuarium besar. Airnya bening dengan ikan-ikan kecil berenang dan berkejaran di antara karang-karang yang sengaja ditata oleh tangan-tangan terampil. Artistik. Dua ekor kuda laut mini tampak mengapung-apung menikmati suasana. Rianti serasa menyelam di sebuah lautan bebas. Perasaan adem menyelimuti tubuh dan pikirannya.

“Airnya bening sekali.” Tiba-tiba Rianti berkomentar.

“Itu air laut, Anti,” sahut Andara yang sejak tadi mengikuti di belakangnya.

“Owh,” sahut Rianti sambil terus mengamati binatang-binatang laut yang semua berukuran kecil.

“Non, barang-barang sudah saya letakkan di kamar,” ujar Pak Sofyan sambil menyerahkan kunci kepada Andara.

“Terima kasih, Pak.” Andara menerima kunci lalu memasukkan ke dalam saku t-shirtnya.

Laki-laki itu mengangguk dan meninggalkan dua gadis yang masih asyik di dekat akuarium. Matanya sempat menatap tajam ke arah Rianti. Pandangan aneh menyiratkan makna yang sulit diterjemahkan.Hingga dada Rianti berdebar kencang. Dia merasa ngeri dengan pandangan mata yang tidak biasa itu. Dipegangnya tangan Andara. Keringat dinginnya mendadak membasah di seluruh tubuhnya.

Bondowoso, 13 Mei 2023   

  

    

 

 

Rabu, 10 Mei 2023

Sesal

 

Sesal

Oleh: Khatijah

Pak Darto lebih paham atas perubahan pada diri Fathia. Kematian Wiji sahabatnya, telah mencuri seluruh keceriaan hatinya. Meski begitu dia merasa lebih dari yang dirasakan Fathia. Perasaan kehilangan sekaligus bersalah bahkan merobek-robek nuraninya. Namun, dia hanya bisa menelannya sendiri. Tidak mungkin dia akan menceritakan kesedihan itu pada Fathia, apalagi istrinya.

“Ayah duluan ya, ada pekerjaan yang harus diselesaikan malam ini. Besok harus sudah kelar.” Pak Darto akhirnya meninggalkan Fathia dan ibunya.

Fathia menatap ayahnya. Ada kesunyian menggenang di mata lelaki lebih paroh baya itu. Dia melihatnya sejak berada di makam Wiji. Pertanyaan besar mengganggu jiwa gadis cantik kebanggaan ayah dan ibunya itu. Pergolakan batin tak mampu dia ungkapkan di depan ibunya yang rapuh. Demikian juga bibirnya terasa kelu saat ingin menanyakan langsung kepada ayahnya.

Jika harus bertanya kepada ibunya, jelaslah beban wanita itu akan bertumpuk-tumpuk. Barangkali tanpa ditanya pun nurani Bu Harni sudah bicara. Ketidakmampuan fisiknya membuat dia terbelenggu dengan ketakutan demi ketakutan yang dia ciptakan sendiri. Meski hatinya berontak ingin melepaskan beban deritanya. Tinggallah dia sendiri dalam sepi hati. Tertindih berbagai masalah yang sulit terurai.

“Thia, Ibu tidak tahu apa yang kalian pikirkan. Kenapa gak cerita sama Ibu? Sebenarnya siapa yang telah meninggal dan membuatmu sedih?” Akhirnya Bu Harni membuka ruang tenggorokannya yang sejak tadi terasa tercekik.

Fathia terhenyak. Lagi-lagi dia bingung untuk memberikan jawaban yang sesungguhnya kepada ibunya.  

“Teman SMA, Bu.” Fathia menjawab sekenanya.

“Iya, siapa?” Bu Harni mengejar.

Fathia kian gelagapan. Terbayang saat ibunya tahu bahwa yang meninggal Wiji. Entah akan seperti apa ekspresinya. Apakah puas atau sedih karena aku dan ayah tampak begitu kehilangan. Fathia benar-benar terdesak.

“Wiji, Bu.”

Dada Fathia berdebar kencang. Dia benar-benar keceplosan. Spontan dua telapak tangannya menutup bibirnya. Bu Harni tampak menarik napas panjang. Entahlah apa maknanya.

“Akhirnya, hanya kamu yang jadi pewaris harta ayahmu, Fathia,” ujar Bu Harni datar.

Bersamaan dengan ucapannya, Bu Harni mendorong kursi rodanya meninggalkan ruang makan. Tinggallah Fathia yang terbengong-bengong. Buru-buru dia kejar ibunya dan dibantunya mendorong kursi roda.

“Ibu jangan berbicara seperti itu. Bagaimana pun kita tetap berduka, Bu. Kasihan anak itu. Dia tidak tahu apa-apa. Takdir saja yang membawanya pada lingkaran masalah yang pelik ini.”

“Masih juga kamu membelanya. Tidak sakit hatimu telah dihancurkan. Sama dengan hati Ibu yang berkeping-keping akibat semua ini.”

Kali ini Fathia tidak bisa menahan tangis. Diabaikannya air matanya berdera-derai. Dalam hati, dia membenarkan ucapan ibunya, tapi di sisi lain perasaan kehilangan tak bisa dia urai hanya dengan sekadar mengingat takdir yang mempermainkan keluarganya.

“Sudah, hentikan tangismu! Kamu lebih memilih dia? Mendukung semua kejahatan ibunya? Dan membiarkan Ibu yang sudah hancur ini mati karena kelakuanmu dan kelakuan ayahmu?” ucap Bu Harni dengan suara bergetar.

“Ibu, Fathia sayang Ibu.”

Hanya itu yang bisa terucap dari bibir Fathia. Dipeluknya ibunya erat-erat setelah kursi rodanya berhenti. Ditumpahkannya kasih sayangnya kepada wanita yang telah melahirkannya itu. Namun, Fathia terkejut luar biasa karena tiba-tiba ibunya kejang-kejang lagi.

“Ayah, Bi Siti, tolong!” jerit Fathia sekuat-kuatnya.

Bi Siti yang sednag bersih-bersih di dapur terkejut mendengar teriakan Fathia. Serta-merta, dia berlari menuju kea rah suara. Sementara Pak Darto yang sebenarnya tidak sedang menyelesaikan pekerjaannya di kamar, melompat dan berlari menuju Fathia dan ibunya.

 Bersambung ...


 

      

 

 

 

 

Selasa, 09 Mei 2023

Sesal

 Sesal @ 2

Oleh: Khatijah

Sayup-sayup azan magrib berkumandang.Hamparan nisan di pemakaman semakin samar. Warna jingga di pucuk-pucuk kamboja sudah sirna. Gelap pun segera menjemput. Fathia melepaskan diri dari pelukan ayahnya. Sisa air matanya nyaris mengering.

“Ayah, sudah gelap. Kita pulang!”

Darto pun tersadar. Sekuat tenaga dia berusaha mengembalikan perasaannya pada posisi semula. Kembali pikirannya pada kenyataan bahwa yang dihadapannya bukanlah Wiji, melainkan putri kandungngya sendiri, Fathia.Lalu pandangannya kembali menatap sendu, pusara yang nyaris tertutup oleh kepekatan malam. Belum cukup rasanya merebahkan rindunya pada sisa duka yang kian menenggelamkan.

“Selamat tinggal, Wij,” ucap Darto seraya bangkit dan perlahan melangkahkan kakinya meninggalkan pusara bisu.

Fathia melangkah mendahului ayahnya. Tak seucap kata pun keluar dari bibir mereka. Bapak dan anak itu berada pada pikiran masing-masing. Sesal yang masih setia bediam di hati Fathia masih membuatnya sesak. Demikian juga Darto. Penyesalannya hanya ditelan sendiri. Hingga tidak sadar sampailah mereka di tempat Darto memarkir mobil.

“Biarkan Fathia yang nyetir, Yah!”

Tanpa persetujuan, Fathia langsung membuka pintu mobil dan duduk di belakang kemudi.Dia tahu benar bahwa ayahnya tidak sedang baik-baik saja. Darto hanya mengiyakan dan mengambil posisi di samping Fathia yang segera melajukan mobilnya.

“Kok, sampai malem, Thia,” sapa Bu Harni di atas kursi rodanya, sesaat setelah menjawab salam Fathia dan ayahnya.

“Ya, Bu. Memang berangkatnya kesorean tadi,” sahut Fathia sambil menyerahkan kontak kepada ayahnya.

“Ibu sudah salat Magrib?” Darto bertanya seraya mendekati istrinya.

 “Sudah, Yah. Tadi ambil wudunya dibantu Yu Siti.”

Didorongnya kursi roda Harni ke ruang keluarga. Sementara Fathia bergegas ambil wudu. Lalu dia tenggelam dalam doa setelah salat tiga rekaat itu usai dilaksanakan. Air matanya kembali berderai. Nama Wiji kembali disebut-sebutnya. Bayangan tentang Wiji kian lama kian terang benderang. Serupa memutar ulang film berdurasi panjang, Fathia menatap dalam angannya sendiri. Jerit hatinya belum juga mereda. Tidak henti dia mengutuki dirinya sendiri. Terbayang di mata dan pikirannya saat pengumuman lulusan merenda kegembiraan di hatinya dan hati Wiji.  Dua gadis itu berkeinginan untuk  bersama-sama mendaftar di Perguruan Tinggi yang sama. Wiji dan Fathia takut jika perpisahan di SMA itu membuat jarak di antara mereka benar-benar jauh. Namun, kini tidak hanya jauh, tapi dia tidak akan pernah bertemu sahabatnya itu selama-lamanya.

“Fathia, makan dulu, Nak. Kenapa tidak keluar dari kamar?” Bu Harni memanggil anak gadisnya yang belum juga muncul sejak kepulangan dari makam.

Buru-buru Fathia melipat mukena.Dirapikannya pakaian dan wajahnya. Tak ingin ibunya berprasangka yang tidak-tidak. Dia benar-benar berhati-hati dalam menjaga hati wanita yang sangat disayanginya itu.

“Tadi nyekar di makam siapa sih, Yah?” Bu Harni menelisik suaminya.

Pak Darto agak kebingungan. Namun, buru-buru dia mengambil sikap sebab tidak mungkin dia mengatakan bahwa dia mengantarkan Fathia ke makam Wiji. Dia pura-pura terbatuk. Beruntung, belum sampai menjawab, Fathia datang.

 

Fathia langsung mengambil tempat duduk berhadapan ayah dan ibunya yang sudah menunggu untuk makan bersama-sama.

“Yu Siti masak kesukaanmu Thia, sayang sekali kalau kamu tidak makan.” Bu Harni menunjuk piring saji di depannya.

“Asyik,” ucap Fathia sambil menatap Fuyunghai di piring saji.

Meski tidak berselera, Fathia berusaha memenuhi harapan ibunya. Diambilnya piring dan garpu. Sesendok saja dia mengambil fuyunghai lalu disantapnya pelan-pelan.

Bu Harni menatap penuh tanda tanya. Dia berpikir bahwa ada yang tidak biasa terjadi pada Fathia. Anak gadisnya itu biasanya begitu lahap menyantap fuyunghai. Tidak seperti kali ini.

    Bersambung....


  

Senin, 08 Mei 2023

Sesal

 

Sesal

Oleh: Khatijah

Kepergian Wiji benar-benar menyisakan duka mendalam bagi Fathia. Sahabatnya yang bermata indah itu selalu hadir dalam mimpinya. Perasaan bersalah senantiasa meggerogoti ketenangan batinnya. Seandainya bisa, Fathia akan bersimpuh di kaki gadis itu guna meminta maaf kepadanya. Namun apa daya, semua tak akan mungkin. Sebab malaikat telah menjemput dan membawanya ke alam keabadian. Fathia sadar,  kekhilafannya takkan bisa ditebus dengan air mata.

Tangan Fathia memetik bunga-bunga di halaman. Bunga mawar berwarna putih dan merah menjadi prioritas yang dipilihnya. Satu per satu kuntum-kuntum itu, ditaruh di keranjang kecil yang terbuat dari anyaman bambu. Air matanya jatuh saat teringat bahwa Wiji menyukai bunga itu. Bunga dengan mahkota elok yang menebarkan aroma wangi. Walaupun terlambat, kini dia ingin mempersembahkan buatnya.

“Buat apa bunga-bunga itu kau petik Thia? Biarkan mahkotanya gugur alami sesuai  waktunya,” Bu Harni ibu Fathia menegornya dengan lembut. Fathia terkejut. Buru-buru ujung  jari-jemarinya mengusap air bening yang membasahi pipinya.

“Buat nyekar, Bu,” jawab Fathia gugup.

Nyekar? Nyekar buat siapa?” tanya ibunya keheranan.

Fathia berhenti memetik bunga-bunga itu, lalu melangkah mendekati ibunya yang duduk di kursi roda, tidak jauh darinya.

“Bu, orang yang sudah meninggal itu, apa bisa memaafkan kita, ya?” Pertanyaan Fathia, membuat ibunya terkejut. Dahinya berkerut sejenak sebelum menjawab pertanyaan putrinya yang dirasa aneh itu.

“Ibu pernah dengar, katanya kita hanya bisa mendoakan saja, Nak. Semoga Allah mengampuni segala kekhilafan kita, termasuk kepada orang-orang yang sudah meninggal dunia,” jawab ibunya.

Fathia murung. Dia tidak merespons jawaban ibunya. Pandangannya menerawang jauh. Kembali bulir-bulir bening itu berjatuhan. Hati Bu Harni tiba-tiba hanyut terbawa sedih. Nyesek di dadanya, menyaksikan putrinya berderai air mata. Tak kuasa genangan di matanya jatuh juga. Dia panggil Fathia agar lebih dekat lagi. Fathia pun mengikuti permintaan ibunya. Dipeluknya gadis kesayangannya itu dan berkali-kali jemarinya merapikan anak rambut yang menutupi wajah cantik gadis itu.

“Thia, memangnya siapa yang sedang kaupikirkan, Nak?” tanya Bu Harni sambil pelan-pelan melepas pelukannya.

“Bukan siapa-siapa kok, Bu,” jawab Fathia berbohong. Tak ingin Fathia membangkitkan kembali emosi ibunya yang sudah tertata. Dia juga tidak ingin membuat kondisi ibunya yang sudah semakin sehat, akan terpuruk kembali.

Bu Harni menarik napas panjang, seolah dia mengetahui siapa yang telah menaburkan kesedihan di hati anak perempuannya itu. Diusapnya rambut Fathia. Dipandanginya wajah anak perempuannya yang tampak semakin cantik, seiring dengan bertambah umurnya. Lalu kedua tangannya memeluk erat anak gadis satu-satunya itu.  

Fathia tenggelam dalam haru hatinya. Kedekatannya dengan sang ibu menjadi jembatan perasaannya yang semakin riuh atas kejadian yang dialaminya akhir-akhir ini. Bimbang di hatinya masih saja bersemayam. Berharap wanita yang dikasihinya ini bisa menjadi tempanya bersandar. Namun sayang, tak ada keberanian Fathia untuk sekadar menceritakan penyebab rapuh hatinya. Bukan hanya karena seseorang yang telah meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya, tapi  juga tidak memiliki keberanian untuk menguak hati wanita yang dicintainya itu mengapa begitu membenci Wiji. Meski gadis bermata sayu itu tidak lagi bernyawa.

Dia sadar betul bahwa ibunya tidak menyukai Wiji. Bukan karena Wiji tak berperilaku elok, tapi karena ada alasan tertentu yang membuat Bu Harni selalu berpaling muka jika Fathia berbicara tentang gadis itu. 

“Ayo, jangan melamun Thia, teruskan kamu memetik bunga. Cepat-cepatlah kalau kamu mau nyekar! Waktunya sudah sore. Nanti ke pemakaman minta ditemani ayah saja, ya! Jangan berangkat sendirian ke sana!” ujar Bu Harni ketika Fathia tampak termenung beberapa saat.

“Oh, iya Bu. Biar Thia diantar ayah,” sahut Fathia gugup.

Buru-buru dia menyembunyikan wajahnya agar ibunya tidak membaca sesuatu yang disembunyikannya.

Warna jingga di sebelah barat menjadi pertanda bahwa senja mulai datang. Burung-burung berkelompok-kelompok di langit, terbang melayang-layang menyambut gelap yang sebentar lagi memekat. Saat itulah, ayah dan anak gadisnya, berjalan di antara batu nisan. Pandangan mata keduanya menyapu ke sekian banyak batu nisan yang rata-rata sudah pudar karena terkena sinar matahari dan hujan berulang-ulang.

Fathia membaca raut wajah ayahnya. Tampak Dato, ayah Fathia itu menabur sedih tak terkira. Terlebih saat tinggal beberapa meter tampak sebuah nisan tertanam di atas gundukan tanah merah. Taburan bunga-bunga mawar merah putih dan kelopak kenanga menutup seluruh permukaannya.Laki-laki itu tampak memendam duka mendalam. Namun, dia hanya bisa menyimpannya sendiri. Tak seucap kata keluar dari bibirnya. Tidak ingin seorang pun tahu bahwa duka itu sedang menghimpitnya, termasuk Fathia. Sesekali dia menahan genangan air mata yang nyarisr tumpah. Dadanya kian sesak menyaksikan Fathia yang berburai air mata. Begitu riuh duka yang bermain di perasaan Darto.

Rambut lurusnya sesekali diusapnya dengan tangan kanan sesaat setelah diam-diam memandangi wajah Fathia. Sesekali pula jari-jarinya menyeka sudut matanya. Hanya Fathia yang sempat berpikir. Begitu dalamnya rasa kehilangan ayahnya terhadap Wiji, gadis yang telah lama menjadi sahabat karibnya. Fathia hanya berpikiran  bahwa ayahnya sudah menganggap Wiji seperti anak kandungnya.

 “Di depan itu, Thia,” ucap Darto memecah keheningan. Telunjuknya mengarah pada gundukan tanah yang sejak tadi menjadi pusat perhatian dirinya dan Fathia. Lalu dia berjalan mendahului Fathia.

Tanpa seucap kata, Fathia mengikuti langkah ayahnya. Hanya beberapa langkah saja mereka sudah sampai di makam Wiji. Setumpuk bunga-bunga yang masih segar menghambur di antara dua batu yang bertuliskan “Wiji Andrarini”.

Air mata Fathia kembali menetes. Kali ini disertai isak yang tak bisa ditahan. Dia larungkan kesedihan yang teramat dalam. Sambil menaburkan bunga-bunga mawar di atas pusara, diucapkannya permintaan maaf bertubi-tubi kepada sahabat yang tak  lagi bisa menjawabnya itu. Penyesalan akan kebencian yang telah dia lakukan menyesakkan dadanya. Dia merasa menjadi seorang yang paling berdosa. Terbayang kebaikan Wiji sejak kecil hingga akhir hidupnya. Kebaikan seorang sahabat yang belum pernah dibalasnya. Kini hanya doa dan air mata yang bisa dia persembahkan kepada Wiji.

“Wiji, maafkan aku,” isak Fathia saat memegangi ujung pusara.

“Fathia, kita berdoa dulu, ya!”

Serta-merta Darto membaca doa-doa dengan khusuk. Masih dalam burai air mata Fathia mengaminkan. Suara dua orang di antara pusara itu begitu menyayat. Pilu dalam sedu sedan. Sesudahnya, tangan-tangan mereka menaburkan kelopak-kelopak tiga warna dari keranjang kecil di sampingnya.

“Maafkan Ayah, Fathia!” Tiba-tiba suara Darto mememcah keheningan.

Fathia terperangah. Tidak bisa dia memaknai permintaan maaf ayahnya. Namun, dia tidak bisa melepas pertanyaan dalam hatinya. Keheranan hatinya bertambah-tambah. Dari kesedihan yang terpancar dari roman wajahnya saja sudah terasa di luar kebiasaan. Ditambah kali ini, dia meminta maaf. Fathia bingung memikirkan sikap sang ayah.

“Fathia, ayah minta maaf, ya!” Lagi-lagi Darto mengulang permintaan maafnya kepada Fathia.

Seketika gadis itu menghambur ke dalam pelukan sang ayah. Titik air bening yang sudah mengering kembali meruah. Satu per satu jatuh dari sudut mata laki-laki yang sekian lama memendam kepahitan hidup seorang diri. Sifat pengecutnya telah membutakan mata hatinya dan memisahkan dua sahabat yang saling mengasihi. Perasaan berdosa teramat menusuk. Baru saat ini, cinta Fathia dan ayahnya kepada Wiji, berhambur bersama kelopak mawar yang bertaburan di pusara.

Bersambung...



 

 

 

 

 

 

 

 

 

Jumat, 07 April 2023

Menanti Matahari

 

 

 


Menanti Matahari

Oleh: Khatijah

“Kembali saja, ombaknya makin besar!” teriak Rianti di tengah debur ombak yang menggulung-gulung.

“Tenanglah, sebentar lagi juga reda. Ini karena angin saja yang bertiup kencang,” sahut Andara sambil membetulkan syalnya yang nyaris lepas.

Tangan Rianti menggapai-gapai mencari pegangan. Dia menahan pusing kepala akibat goncangan hebat perahu yang membawa mereka. Diraihnya tas kecil tempat meyimpan obat-obatan yang dibawanya dari rumah. Namun, belum juga sampai di tangannya benda itu tercebur ke dalam air.Rianti panik. Teringat benar di pikirannya bahwa selain obat, di dalam tas itu ada dompet dan ponsel yang baru saja dibelikan ayahnya sebagai hadiah ulang tahun yang kesembilan belas.

“Tolong, tasku kecebur di laut!” Lagi-lagi Rianti berteriak.

Pandangannya terus terfokus pada benda yang sesekali muncul ke permukaan. Namun, sekejap kemudian hilang ditelan ombak. Andara yang berada di sampingnya turut meyesali kejadian itu. Sementara tiga lima temannya hanya ternganga menyaksikan benda itu tidak lagi muncul. Inginnya mereka membantu Rianti, tetapi keganasan air laut menciutkan nyali.

“Maafkan Rianti, sepertinya kamu harus merelakan benda itu,” keluh Al menyesali dirinya yang tidak bisa menolong teman perempuannya itu.

“Aduh, gimana nih. HP-ku ada di dalam tas itu. Gimana saya menghubungi Mama dan Papa?” Wajah Rianti memerah.

“Sudahlah, yang penting kita selamat sampai tujuan. Masalah menghubungi orang tua, kita bisa saling membantu,” sahut Giano sang ketua kelompok sekaligus ketua rombongan.

Rianti akhirnya terdiam. Dia sadar bahwa dalam kondisi seperti ini tidak bisa memaksa orang lain untuk menolongnya. Sebab dia merasa tidak mungkin benda itu bisa diselamatkan. Selain sudah tidak tampak di mata, gelombang besar yang sesekali menghantam perahu yang mereka naiki, benar-benar membuat panik. Dia berpikir bahwa keselamatan jiwa raga yang lebih penting.

“Itu pulaunya sudah tampak,” teriak Sheila yang duduknya berada di posisi depan.

“Benar, tinggal sedikit lagi kita akan sampai di pulau itu.” Armando sangat bersemangat.

Memang bukan isapan jempol. Tampak samar-samar, pulau yang akan mereka datangi. Ekspresi gembira menghiasi wajah-wajah mereka. Terlebih Giano. Dialah yang punya ide mengajak teman-temannya untuk menghabiskan liburan di pulau kecil itu. Orang tuanya yang konglomerat telah memberikan izin kepada Giano dan rekan-rekannya untuk menempati rumah yang dibangun di pulau tersebut. Karena penasaran, Rianti pun ikut meski melewati pertimbangan berulang-ulang. Apalagi sahabat kentalnya, Andara tidak henti membujuknya.

Bws, 8 April 2023

  

 

Selasa, 04 April 2023

Bagaimana Novel Mampu Menghibur Pembaca

  Bagaimana  Novel Mampu Menghibur Pembaca

 Oleh: Khatijah




                              

 

Tidak bisa dipungkiri bahwa tujuan awal seseorang membaca novel yaitu untuk menghibur diri. Membaca novel sama halnya dengan rekreasi menjelajah di dunia imajinasi. Oleh karena itu, novel harus memenuhi harapan pembaca. Jika novel yang dibaca dapat memenuhi harapan, pembaca seolah turut terjun menjadi tokoh di dalamnya. Banyak cara yang bisa dilakukan pengarang novel agar novelnya menghipnotis. Jalinan konflik-kolnflik yang menarik mampu membuat pembaca penasaran untuk membaca episode berikutnya. Di bawah ini beberapa penjelasan agar novel yang ditulis tidak membosankan.

Beberapa hal agar novel bisa menghibur pepmbaca:


1.    Tema Unik


Tema yang akan ditulis di dalam novel hendaknya tema yang tidak biasa-biasa saja. Keunikan ide akan menuntun pembaca untuk mengetahui jalan cerita dari awal hingga penyelesaian. Penggambaran peristiwa melalui deskripsi yang hidup dan dialog cantik ini akan membawa pembaca untuk terus penasaran membaca lembar demi lembar novel di hadapannya. Tema unik juga membuat pembaca penasaran untuk mengetahui isinya lebih dari yang sudah dibaca.


2.    Konflik-Konfliknya Tajam dan Kompleks


Novel yang baik, harus membocorkan konfliknya pada paragraf-paragraf awal. Bibit konflik yang sudah terbaca di bagian depan, akan membuat pembaca penasaran untuk menikmati konflik-konflik yang dialami tokoh untuk selanjutnya. Suspensi atau penundaan pemecahan konflik pada tiap-tiap episode menjadi hal yang membuat penasaran pembaca. Begitu juga twist atau efek kejud pada bagian penyelesaian akan meninggalkan kesan mendalam di dalam perasaan pembaca.

Ada hal lain yang juga perlu diingat, novel merupakan cerita panjang yang sarat dengan konflik. Berbeda dengan cerpen yang konfliknya terbatas. Konflik pada novel lebih kompleks. Bukan hanya konflik utama saja yang disajikan, tetapi juga anak-anak konflik. Multikonflik seperti yang ditemui seseorang dalam kehidupan sesungguhnya akan ditemui juga di dalam novel. Mulai dari konflik dengan dirinya sendiri, konflik dengan alam sekitar, konflik dengan Tuhan, konflik dengan orang lain. Jadi, penulis novel harus menghindari konflik yang datar dan lurus-lurus saja. Penyusunan konflik dalam alur tidak datar akan membuat cerita lebih hidup dan lebih menarik.


3.    Diksi atau Pilihan Kata


Pilihan kata atau diksi sangat memengaruhi menarik tidaknya sebuah novel. Pilihan kata dan kalimat-kalimat dalam novel berbeda dengan pilihan kata dan kalimat yang digunakan di dalam tulisan ilmiah. Bahasa yang digunakan di dalam novel adalah ragam bahasa sastra. Penggambaran peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh harus mampu menyentuh pengalaman indrawi pembaca. Pengarang hendaknya memilih kata yang membuat pembaca seolah melihat, mendengar, merasakan, mencium, mencecap, serta mampu melibatkan perasaan pembaca.Pilihan kata yang digunakan bermacam-macam makna.

Bukan hanya makna denotasi saja, tapi banyak menggunakan makna konotasi, makna kiasan, dan makna simbolis. Makna denotasi adalah makna kata yang didasarkan atas penunjukkan yang lugas pada sesuatu di luar  bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu dan bersifat objektif. Makna konotasi atau makna tambahan merupakan tautan pikiran yang menimbulkan nilai rasa pada seseorang. Misanya kata ‘acap kali, untuk menggunakan kata ‘sering’. Kata ‘komplotan’ untuk menggantikan kata ‘gerombolan’. Sedangkan makna kiasan merupakan makna atau kelompok kata  yang bukan mengacu ke makna yang sebenarnya, melainkan mengiaskan sesuatu, misalnya ‘mahkota wanita’ berarti rambut wanita (KBBI V). Bentuk kiasan bisa berupa ungkapan seperti contoh tersebut dan bisa berbentuk majas. Majas atau bahasa kias sering digunakan oleh pengarang novel seperti personifikasi, metafora,semile, dan paradoks, dll.

Berikut ini contoh bahasa bermajas yang sering ditemui di dalam novel.

Awan yang tertatih-tatih melintasi langit biru. (personifikasi)

Dia memang berhati batu. (metafora)

Anak itu merasa bebas bagai burung lepas dari sangkar.(smile)

Ayah merasa kesepian di antara hiruk-pikuk orang-orang yang berebut makanan. (paradoks)

Makna simbolis yaitu kata atau sekelompok kata yang dijadikan simbol atau lambang.


4.    Komposisi Antara Deskripsi dan Dialog Proposional


Deskiripsi digunakan untuk menggambarkan latar dan karakter tokoh. Uraian deskriptif yang rinci sangat diperlukan untuk menggambarkan latar yang meliputi waktu, tempat, dan suasana. Penggambaran latar yang detail akan membawa pembaca seolah berada di sebuah tempat, dalam suasana tertentu, dan pada waktu tertentu. Sedangkan karakter tokoh selain dapat digambarkan langsung dalam bentuk uraian bisa juga digambarkan dalam dialog para tokoh. Namun, demikian penggunakan dialog dan deskripsi lebih enak dibaca jika proposioal. Tidak hanya deskripsi saja atau sebaliknya dialog terus menerus. Ada saat-saat tertentu dialog perlu digunakan agar cerita lebih hidup. Dialog yang ditulis hanyalah dialog-dialog cantik yang mendukung makna dan perkembangan alur.


5.    Tidak Cacat Logika


Meskipun novel merupakan tulisan yang bergenre fiksi, tetapi penulis harus meghindari adanya cacat logika. Itulah pentingnya riset bagi seorang penulis novel. Sebab jika terjadi hal seperti itu akan mengurangi kepercayaan pembaca. Tentu saja menyebabkan novel menjadi tidak berkualitas.

 Bondowoso, 5 April 2023

Penulis

Khatijah

 

Senin, 03 April 2023

Mengapa Menulis Novel


 

Mengapa Menulis Novel

Oleh: Khatijah



 

Sebagai karya sastra, novel sangat disukai. Cerita bentuk prosa fiksi panjang ini memiliki kekhasan dengan menampilkan rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya yang menonjolkan watak dan sifat para pelaku (KBBI V). Berbeda dengan cerpen yang hanya memuat satu peristiwa yang dialami oleh tokoh, di dalam novel berbagai peristiwa yang dialami pelaku ditampilkan. Konflik-konfliknya diceritakan secara detail.

Cerita Harry Potter karya J.K. Rowling merupakan salah satu contoh novel yang sangat disukai. Hal itu terbukti dengan terjualnya novel itu hingga 500 juta kopi di seluruh dunia dan diterjemahkan ke dalam 80 bahasa (Wikipedia). Lebih-lebih setelah novel itu diangkat menjadi sebuah film. Tidak hanya itu, novel Super Nova karya Dee (De Lestari) juga menjadi novel sukses di pasaran. Dan masih banyak contoh novel-novel lain yang sukses merebut hati masyarakat.

Ada beberapa alasan mengapa menulis novel

1.    Ingin menyuarakan kebenaran

2.    Memberikan nilai edukasi

3.    Menghibur

4.    Menginspirasi

5. Terapi Diri 

6.    Mendapat Penghasilan

Untuk Menyuarakan Kebenaran

Novel dapat dijadikan media untuk menyuarakan kebenaran atau kebaikan.Pengarang secara tidak langsung dapat menyuarakan kebenaran melalui pesan yang membungkus peristiwa-peristiwa di dalam novel tersebut tanpa terkesan menggurui. Jika tidak dapat menyampaikan kebenaran secara langsung melalui ceramah atau khotbah, secara implisit dan eksplisit kita bisa menyampaikan kebenaran melalui novel yang kita tulis. Sampaikanlah kebenran walaupun hanya satu ayat. Bagaimana caranya? Secara eksplisit, pengarang bisa menyampaikan melalui dialog para tokoh. Sedangkan secara implisit kebenran bisa disampaikan melalui deskripsi tingkah laku tokoh, suasana, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi.

Melihat fenomena negatif di masyarakat, kadang hati kita terketuk untuk menyampaikan kebenaran. Namun, tidak semua orang diberi kemampuan dan keberanian menyampaikannya secara langsung. Terkadang ada perasaan enggan, malu, atau merasa tidak percaya diri. Misalnya saja menyaksikan kerusakan lingkungan di sekitar kita. Banyak hutan gundul karena terjadi penebangan liar yang dilakukan oleh oknum tertentu. Perasaan khawatir akan terjadi dampak yang membahayakan bagi masyarakat sering berkecamuk di hati. Seperi banjir, tanah longsor, kekeringan, bahkan lenyapnya satwa yang hidup di dalamnya. Dengan adanya fenomena itu, kadang kita hanya bisa mengelus dada karena kita merasa tidak punya kapasitas untuk mengingatkan para pelaku pembalakan liar itu, apalagi melarangnya. Nah, satu-satunya jalan yang bisa dilakukan adalah menyampaikan pemikiran kita ke dalam  tulisan. Peristiwa itu bisa diangkat ke dalam novel. Fakta-fakta yang kita lihat, kita dengar, dan kita rasakan itu kita jahit ke dalam ranah imajinasi,

Tentu saja dampak dari tulisan dalam novel tersebut tidak bisa serta-merta menghentikan aksi tersebut. Namun, paling tidak penulis dapat memberikan sumbangsih kepada para pembaca betapa bahayanya tindakan perusakan hutan. Terlebih lagi jika yang membaca novel generasi penerus. Minimal mereka bisa merenung dan tidak melakukan hal sama yang berakibat buruk. Sebaliknya diharapkan bisa bertindak mengatasi permasalahan tersebut, sesuai dengan pesan yang kita sampaikan dalam novel.

Nah, dengan demikian berarti novel bisa dijadikan media untuk menyampaikan kebenaran. Uraian di atas hanyalah satu contoh fenomena. Padahal di sekeliling kita banyak sekali fenomena yang dapat diangkat menjadi novel, dengan tujuan menanamkan kebenaran atau kebaikan. Sekaligus kita bisa menanamkan religusitas, nilai moral, nilai sosial, nilai sejarah, dan lain-lain, termasuk nilai cinta bangsa dan tanah air. 

Memberikan Nilai Edukasi

            Melalui novel, kita juga bisa memberikan nilai edukasi atau pendidikan. Pendidikan karakter yang sangat urgen dalam kehidupan dapat dicontohkan di dalam novel tanpa terkesan menggurui. Memberikan nilai edukasi melalui certia akan lebih mengena daripada disampaikan secara langsung. Kebiasaan-kebiasaan baik, bisa dicontohkan di dalam novel melalui tokoh-tokoh yang memerankan setiap perbuatan. Hal-hal kecil seperti berpamitan kepada orang tua ketika hendak meninggalkan rumah, mencium tangan, berkata halus dan sopan, bisa diperagakan oleh para tokoh yang kita buat. Kasih sayang dengan sesama, cinta dan hormat kepada orang tua, guru, dan orang yang lebih tua bisa ditanamkan melalui contoh karakter-karakter para tokoh. Bahkan sampai pada nilai agama sangat penting ditanamkan.  

            Seperti juga dalam kehidupan nyata, bahwa hidup ini tidak lepas dari kewajiban sebagai makhluk Tuhan. Sebagai makhluk religius, manusia akan selalu melaksanakan ibadah sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan. Di dalam novel bisa digambarkan tokoh yang religius. Penaman nilai-nilai dan pembiasaan hidup beragama bisa digambarkan pada suatu adegan.

            Demikian juga nilai-nilai sosial, secara tidak langsung juga digambarkan di dalam novel. Bagaimana seseorang hidup bermasyaratakat? Sikap saling menghargai, tolong-menolong, dan sikap-sikap lain seperti jujur, disiplin semua bisa diintegrasikan di dalam cerita.

Menghibur

Tidak bisa dipungkiri bahwa seseorang yang membaca novel adalah untuk menghibur diri. Membaca novel sama halnya dengan rekreasi menjelajah di dunia imajinasi. Kadang-kadang pembaca seolah turut terjun menjadi tokoh di dalamnya. Dalam kondisi inilah, pembaca terhibur. Sebagai media yang menghibur pengarang novel harus pawai memenuhi harapan pembaca.  Bagaimana caranya?

Menginspirasi

Setiap tulisan harus mampu menginspirasi pembaca.Lebih-lebih tulisan dalam bentuk novel. Kehidupan yang digambarkan di dalam cerita hendaknya menginspirasi pembaca. Karakter buruk dari tokoh antagonis hendaknya tidak ditiru. Oleh karena itu, penulis harus lebih piawai di dalam penggambaran akibat dari perbuatan buruk itu. Sebaliknya, perbuatan baik yang dilakukan oleh para tokoh dalam novel akan menyentuh hati pembaca.

Terapi Diri

Kegalauan hati atau ketidaktenangan pikiran bisa terjadi kapan saja dan menyerang semua orang. Terkadang berbagai usaha dilakukan. Selain beribadah dan membaca kitab suci, seseorang bisa memilih menulis sebagai salah satu terapi. Menulis novel merupakan solusi untuk mengatasi kekacauan hati dan pikiran.

Mendapat Penghasilan

Tidak bisa dipungkiri, bahwa salah satu alasan menulis novel yaitu untuk mendapatkan penghasilan. Bukan tidak mungkin hasil dari tulisan kita akan dihargai dan dibeli oleh pembaca. Lebh jauh lagi seandainya novel yang kita tulis berkualitas dan difilmkan tentu mimpi untuk mendapatkan penghasilan dari menulis novel tidak sia-sia. Semoga.  

Bondowoso, 4 April 2023

Penulis

Khatijah  

 



Sabtu, 25 Maret 2023

Kritik terhadap Perusakan Lingkungan dalam Cerpen Cermin Pasir

 


                                                

                                            Foto: Koleksi Pribadi



Kritik terhadap Perusakan Lingkungan  dalam Cerpen Cermin Pasir 

Oleh: Khatijah


Cerpen berjudul “Cermin Pasir” yang panjangnya tujuh halaman ini ditulis oleh sastrawan kelahiran Salatiga,  Triyanto Triwikromo. Membaca judulnya saja, sudah dapat dipastikan bahwa cerpen ini bukan cerpen picisan. Seperti cerpen-cerpennya yang  lain, cerpen ini sangat mengasyikkan untuk dibaca. Selain indah, cerpen ini sarat dengan pesan dan muatan kritik. Pengarang yang saat itu menjabat sebagai redaktur pelaksana sastra harian umum Suara Merdeka dan dosen penulisan kreatif Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, Semarang ini, selalu membuat pembaca terhipnotis dengan karya-karyanya. Seperti cerpennya yang lain, misalnya “Mata Sunyi Perempuan Takroni” dan “Ikan Asing dari Weipa-Nappranum”. 

Kritik yang diungkap di dalam cerpen ini ditujukan kepada para pengusaha penambangan pasir bekas letusan Gunung Merapi di Yogyakarta. Mereka hanya mementingkan kepentingan pribadi tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan dan penderitaan penduduk. Hal tersebut dapat ditangkap pada paragraf pertama yang sekali gus menjadi bibit konflik, seperti terdapat pada cuplikan berikut ini.

Tak ada robot di lereng Merapi. Hanya puluhan truk bergerak lamban: membelah dusun dengan bunyi memekakkan telinga. Kadang-kadang ketika gerimis mendera, binatang-binatang besi itu melata dan meliuk seperti ular. Kadang-kadang merayap seperti kadal  saat sarat muatan. Tetapi, tak jarang mereka melesat seperti anjing ketika langit di atas gunung memerah dan udara kehilangan embun dan kristal-kristal air.Tak ada yang berani menjelaskan mengapa setiap hari kian banyak truk menyisir setiap sudut desa. Tak ada yang berani mempertanyakan mengapa bukit-bukit makin gugruk, berlubang, atau sama sekali hilang. Dan truk-truk terus datang dan pergi serupa siluman, serupa mambang. Larut malam mereka selalu mengusung pria-pria kekar---sebagian berseragam, kemudian menghilang setelah beberapa bagian bukit krowak dan sungai-sungai kian dalam. Selalu ada yang hilang. Selalu ada yang tak kembali. Batu, koral, pasir, dan puluhan perempuan. Bukan hanya itu! Bukan hanya itu! Selalu ada yang hilang. Selalu ada yang tak kembali.

Pada paragraf pertama tersebut, pembaca disuguhi setting tempat dan suasana di lereng Merapi Yogyakarta yang porak poranda oleh penambangan pasir. Pasir sisa letusan Gunung Merapi ini menjadi objek memperkaya diri para pengusaha dengan mengandalkan laki-laki kekar yang sebagian berseragam. Entahlah, siapa laki-laki  yang dimaksud oleh pengarang. Setting yang tergambar di cerpen ini benar-benar hidup. Rasa prihatin menyaksikan kondisi lingkungan yang hancur tanpa ada yang berani melarang para pelaku perusaknya, membuat pengarang menuangkan protes dan sindiran melalui cerpen ini. Dalam paragraf pertama ini sudah tertulis bibit konflik. Hal itu nyata ditulis dalam kalimat: “Selalau ada yang hilang. Selalu ada yang tak kembali. Batu, koral, dan puluhan perempuan. Bukan hanya itu! Bukan hanya itu!. Dengan repetisi ini sepertinya pengarang bermaksud memberi penegasan akan konflik yang dibangun bahwa akibat aksi penambangan pasir itu banyak yang musnah dan tidak kembali. Bukan hanya batu, koral, dan puluhan perempuan, tapi juga kedua tokoh protagonis yang hidupnya berakhir tragis.  

Ayat dan Romo Sentanu yang berperan sebagai tokoh protagonis dalam cerpen tersebut digambarkan menjadi orang-orang yang peduli akan kelestarian lingkungan. Dua orang itu prihatin melihat bukit-bukit di daerah itu gugrug, berlubang, bahkan sama sekali hilang. Romo Sentanu prihatin melihat orang-orang miskin, perempuan-perempuan yang ditinggal mati suaminya karena keganasan Gunung Merapi. Sebutan ‘Kyai Petruk’ untuk Gunung Merapi yang kerap memuntahkan wedus gembel atau awan panas itu membuat warga menderita. Sementara sisa-sisa letusan itu justru dieksploitasi tanpa henti demi kekayaan pengusaha dengan memanfaatkan orang-orang berseragam.

 Keberadaan Romo Sentanu dan Ayat dalam cerpen tersebut menjadi penghambat bagi pengusaha penambang pasir. Oleh karena itu, berbagai cara dilakukan untuk memusnahkan Romo Sentanu dan Ayat yang membela rakyat miskin. Lalu hadir tokoh penari atau penggoda. Munculnya tokoh penari atau penggoda semakin menambah rumitnya konflik. Dia diperalat untuk memengaruhi dan menjebak Romo Sentanu, Ayat,  dan penduduk desa. Hal ini dilakukan karena Romo Sentanu dianggap terlalu ikut mencampuri urusan pengusaha penambang pasir dan penduduk, bahkan sering memimpin demo. Demikian juga Ayat yang dianggap sering membeberkan kebusukan penambang pasir. Dia sering berseru bahwa Dewa hanya memakmurkan penambang pasir tanpa menggubris penderitaan petani miskin. Namun, betapa mudahnya para penduduk diperdaya oleh para pemilik kepentingan melalui sang penari. Puncak konflik terjadi, ketika di tengah gelapnya malam mereka menggiring Romo sentanu dan Ayat ke tengah-tengah dam dan di keriuhan tarian yang chaos untuk menghormati Kyai Petruk (Gunung Merapi), mereka membabat kaki, kepala, atau menembak lambungnya tanpa suara.  

Endingnya sangat tragis karena sang penari pun juga dihabisi untuk menutup mulut peristiwa terbunuhnya Romo Sentanu dan Ayat, seperti yang di sebut di paragraf awal. Ada yang hilang. Ada yang tidak kembali, Romo Sentanu dan Ayat pun tak akan kembali sama halnya dengan lingkungan yang asri dan puluhan perempuan, termasuk sang penari.

Membaca cerpen ini perlu konsentrasi tinggi sebab diksinya sangat rapat dengan simbol-simbol yang bersifat satire. Penggunaan berbagai majas menjadikan cerpen ini sangat indah dan bermutu. Majas personifikasi, metafora, dan perumpamaan sangat mendominasi, Sepert: truk membelah dusun, binatang-binatang besi melata, meliuk seperti ular. Bak truk yang tersengal-sengal mendaki. Kadang merayap seperti kadal. Truk-truk serupa siluman, serupa mambang. Gaya repetisi pun menjadi sesuatu yang istimewa dalam cerpen ini. Misalnya: “Selalau ada yang hilang. Selalu ada yang tak kembali. Bukan hanya itu. Bukan hanya itu.Kalimat ini sampai diulang beberapa kali. Pesan yang dapat ditangkap dari cerpen ini, di antaranya betapa pentingnya melestarikan lingkungan dan berpikir jernih agar tidak mudah teperdaya. Pada akhir tulisan, pengarang menuliskan kata-kata yang bernomor sebagai tanda bahwa dia mengambil istilah atau kata yang digunakan penulis lain.  

Meskipun cerpen ini ditulis dua puluh tahun yang lalu, tapi masih asyik untuk dibaca karena masih relevan untuk mengkritisi ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat.


Judul Cerpen: Cermin Pasir                                                 

Pengarang:   Triyanto Triwikromo

Sumber:         Kompas, Edisi 9 Agustus 2002 (Kumpulan Cerpen-Cerpen Kompas Pdf)

Panjang:        7 Halaman

Tema :            Pelestarian Lingkungan

Penulis Ulasan: Khatijah



Entri yang Diunggulkan

Puisi-Puisiku

  Puisi-Puisiku Oleh: Khatijah   1.        MENDEKAP HARAP Kupatahkan ragu di tiang rapuh Menjaga rasa cita pada setia Di cadas lin...