Senin, 05 Juni 2023

Rembulan Merah di Langit Duka

 


Rembulan Merah di Langit Duka

Oleh: Khatijah

Mata Alina memerah. Sakit hati tidak lagi bisa terbendung saat kembali membuka WA. Hampir enam bulan dia menunggu balasan chat dari Refal, kekasihnya. Dadanya dibakar perasaan cemburu yang membabi buta. Bukan hanya rindu yang harus ditelannya sendiri, tapi penasaran telah membuatnya nyaris gila. Betapa tidak, selain tidak membalas chat dan panggilannya, di kampus pun Refal serupa ditelan bumi. Semua akun media sosial pun sudah lama tidak aktif.

Bulan sabit di langit membersamai Alina. Malam itu dia hanya bisa memandangi foto dan video kenangan di instagramnya sendiri. Foto-foto yang mengukir saat-saat manis bersama Refal. Naik Kereta Api Pasundan berdua. Berpayung di Kawah Putih Ciwedey, menikmati indahnya kawasan Puncak, bahkan tampilan reel yang mengabadikan keceriaan saat keduanya naik kuda di Bromo. Kenangan itu begitu mengiris. Alina membanting ponselnya. Cemburunya memuncak teringat bahwa tidak hadirnya Refal bersamaan dengan pindahnya Rena, teman kuliahnya yang selama ini juga menaruh hati pada Refal. Hatinya begitu kuat menganggap Refal telah berpindah ke lain hati.

Iseng-iseng Alina membaca pengumuman di grup WA HIMA. Dikatakan bahwa beberapa mahasiswa akan mewakili organisasi untuk berangkat ke luar kota. Dia menyesal karena beberapa minggu ini tidak aktif mengikuti kegiatan sehingga dia ketinggalan informasi. Sebuah foto karangan bunga menjadi pusat perhatiannya. Dia terkejut ketika membaca ucapan duka cita untuk Refal yang tertulis di karangan bunga itu. Alina pingsan.

Bondowoso, 6 Juni 2023        

Selasa, 30 Mei 2023

Cara Menemukan Ide Menulis

 

Cara Menemukan Ide Menulis

Oleh: Khatijah

Pernahkah Anda kesulitan mendapatkan ide menulis? Menulis merupakan kegiatan yang menyenangkan. Namun, biasanya terkendala dengan menemukan ide. Ide tidak datang begitu saja. Namun, kita harus memburunya. Sebenarnya banyak ide yang berseliweran di sekeliling kita. Namun, keraguan untuk mengangkatnya menjadi sebuah tulisan membuat kita tidak segera memulai menulis. Kadang-kadang terlalu banyak pertimbangan. Takut idenya kurang pas atau kurang menarik. Padahal kalau kita berani mengembangkan menjadi tulisan kadang akan membuat kita tercengang.

Kejadian-kejadian yang kita lihat, kita dengar, dan kita rasakan merupakan sumber ide yang tidak akan kering. Sesuatu yang pernah kita alami sendiri menjadi sumber ide yang luar biasa untuk beberapa genre tulisan. Misalnya saja kita pernah pergi ke suatu tempat yang meninggalkan kesan  mendalam dalam pikiran kitadapat menjadi sumber ide yang bagus. Jika kita akan menulisnya dalam bentuk fiksi, kita tinggal mengimajinasikan dengan peristiwa, tokoh, konflik dengan menggunakan setting tempat, suasana, dan waktu dengan tempat itu. Bisa juga kita mengangkatnya dalam bentuk reportase, kolom, atau jenis tulisan lain.  Sumber ide yang tidak mudah kering dari ingatan adalah pengalaman. Hal-hal yang pernah kita alami, entah itu suka maupun duka bisa dijadikan sumber penulisan.

Bagaimana cara berburu ide? Hal-hal yang mudah untuk untuk menggali ide:

Pertama, kita catat semua kejadian yang kita alami. Kita bisa mencatatnya di ponsel karena ponsel merupakan benda yang jarang lepas dari tangan kita. Bisa dengan cara membuat grup WA dengan anggota dua atau tiga orang terdekat. Kalau sudah terbentuk grup, lalu keluarkan anggota tersebut. Tinggalah kita sendiri yang menjadi anggota grup. Nah, dengan begitu, kita leluasa untuk mencatat apa saja yang kita lihat, kita dengar, kita rasakan. Selain mencatat kejadian, kita dapat memfoto atau memvideokan. Dari foto dan video kita akan menggali ide sebanyak-banyaknya.

Cara yang kedua, banyak membaca baik berupa karya orang lain atau berita. Taufik Ismail  pernah berpendapat “Rabun Membaca Lumpuh Menulis, kiranya hal itu benar adanya. Seseorang yang rajin membaca akan mudah menuangkan ide-ide cemerlang. Sedangkan orang yang jarang membaca akan kesulitan memunculkan ide. Orang yang sering membaca, akan mengembangkan kalimat dengan mudah. Dia akan menuliskan kalimat-kalimat mengalir begitu saja tanpa harus dipaksa. Hal itu sudah terbukti. Untuk itu membaca harus selalu kita lakukan setiap waktu.

Ketiga, ikut di komunitas penulis. Dengan ikut di komunitas ini kita akan termotivasi untuk menulis seperti yang dilakukan oleh anggota komunitas itu. Kita juga bisa membaca karya-karya mereka. Dari sini kita banyak mendapatkan ide menulis.

Keempat, berusaha dengan berpikir keras untuk menemukan ide. Memulai menulis dengan selalu mengasah semangat. Semangat yang tertanam di dalam diri kita, akan memudahkan kita mendapatkan ide penulisan. Mengapa bisa seperti itu? Jawabannya mudah. Jika  kita sudah bersemangat untuk menulis, kita akan berusaha keras. Di luar dugaan, jika kita mulai menulis kadang ide-ide bermunculan dengan sendirinya.

Mulailah menulis apa saja yang kita lihat, kita dengar, dan kita rasakan. Mulailah dengan satu kalimat. Teruslah berpikr fokus pada apa yang sudah kita tulis itu. Lanjutkan menuliskan kalimat-kalimat berikutnya dengan menggunakankata kata rujukan atau dengan repetisi dari inti yang kita biscarakan. Maka pengembangan ide-ide tentang tulisan kita akan mengalir. Berhenti sejenak, bukan merupakan masalah. Maka kalau ide sudah buntu berhentilah, kerjakan apa saja aktivitas kita yang biasa kita lakukan. Suatu ketika kadang-kadang kita mendapatkan ide baru untuk melanjutkan tulisan kita. Segera menuliskan ide yang kita dapatkan tersebut untuk mengembangkan tulisan yang sudah ada. Hal itu dilakukan agar ide tersebut tidak hilang.

 

Minggu, 28 Mei 2023

Teknik Menulis Berantai

 


Teknik Menulis Berantai 

Oleh: Khatijah


 Menulis Berantai merupakan salah satu teknik pembelajaran menulis yang dilakukan secara kelompok dengan melibatkan seluruh anggota kelompok  di dalam kelas. Semua siswa ikut berperan dalam menyusun kalimat-kalimat secara bergiliran. Kata ‘rantai’ tali dari cincin yang berkaitan (KBBI Offline).Yang dimaksud menulis berantai adalah menulis sebupah teks yang berupa paragraph-paragraf yang ditulis  secara berkaitan oleh antaranggota kelompok.Kelompok yang anggotanya terdiri atas 4—5 orang harus berperan semua di dalam menyampaikan ide secara tertulis. Caranya, pada pramenulis peserta didik mengamati atau membaca teks model laporan hasil observasi. Sambil membaca mereka diminta sambil menganalis struktur teks tersebut.Kegiatan ini berguna untuk mengingat kembali struktur teks laporan hasil observasi yang sudah dipelajari pada pertemuan sebelumnya. Perlu diingat kembali bahwa struktur teks laporan hasil observasi antara lain: judul, definisi umum, deskripsi bagian, dan deskripsi manfaat.

Kegiatan ini termasuk kegiatan mengamati pada pendekatan saintifik.Setelah itu, guru memfasilitasi peserta didik agar mereka menanyakan hal-hal yang tidak mereka ketahui.Hal ini merupakan perwujudan dari tahap ‘menanya’ pada pendekatan saintifik.Langkah berikutnya, guru memfasilitasi peserta didik di dalam kelompoknya untuk mengumpulkan informasi.

Dalam tahap mengumpulkan informasi ini seluruh anggota kelompok mengamati objek yang telah ditentukan oleh guru.Dari Sembilan kelompok, masing-masing mengamati objek yang berbeda. Kelompok 1 mengamati ruang Guru, Kelompok 2 mengamati Ruang TU, Kelompok 3 mengamati Ruang Bimbingan Konseling, Kelompok 4 mengamati Ruang Laboratorium IPA, Kelompok 5 mengamati Mushola, Kelompok 6 mengamati Lapangan Upacara, Kelompok 7 mengamati Lapangan Basket, Kelompok 8 mengamati Ruang Perpustakaan, dan Kelompok 9 mengamati Taman Sekolah.Kegiatan ini merupakan bagian dari pendekatan saintifik ‘mengamati’.Di dalam kegiatan ini semua anggota kelompok harus mencatat data-data yang mereka peroleh selama kegiatan mengamati. Data-data yang mereka peroleh dapat berupa hasil pengamatan langsung dari indra mereka terhadap objek, tetapi dapat berupa hasil wawancara dengan nara sumber.

Setelah mereka mendapatkan data yang dapat digolongkan jawaban dari apakah objek  yang diamati, apa saja bagian-bagian yang mendukung, dan apa manfaat objek yang diamati tersebut, semua kelompok kembali masuk kelas.Setelah sampai di kelas semua kelompok tetap duduk bersama kelompoknya. Selanjutnya mereka mengolah informasi. Data-data yang diperoleh pada saat mengumpulkan informasi diolah menjadi sebuah teks laporan hasil observasi. Sebelumnya setiap kelompok menyusn kerangka teks laporan hasil observasi, yang terdiri atas judul, definisi umum, deskripsi bagian, dan deskripsi manfaat. Setelah itu barulah kegiatan dilanjutkan dengan menyusun teks laporan  hasil observasi berdasarkan kerangka yang sudah disusun. Pada kegiatan mengembangkan kerangka inilah teknik menulis berantai diberlakukan.Setelah menuliskan judul, maka dimulailah menyusun paragraph yang berupa defiisi umum.

Peserta didik pertama menuliskan dua kalimat yang merupakan kalimat awal dari definisi umum, kemudian menuliskan namanya di dalam kurung.Setelah itu dilanjutkan peserta didik kedua melanjutkan  dengan menuliskan dua kalimat berikunya.Demikian juga anggota kelmpok yang ketiga juga melanjutkan dengan menulis dua kalimat. Disusul anggota kelompok keempat atau kelima melanjutkan dengan menulis dua kalimat.Demikianlah sehingga seluruh anggota kelompok menuliskan masing-masing dua kaliamat untuk definisi umum.Setelah itu dilanjutkan dengan paragraph yang berupa deskrisi bagian. Dalam mengembangkan deskripsi bagian caranya sama dengan pelaksanaan pengembangan paragraph sebelumnya.Setiap anggota kelompok menuliskan dua kalimat secara sambung menyambung secara koheren. Orang pertama menuliskan dua kalimat, disambung orang kedua dengan melanjutkan dua kalimat.Orang ketiga melanjutkan lagi dengan menulis dua kalimat.Dan orang keempat juga meneruskan dengan menulis dua kalimat.Selanjutnya mengembangkan deskripsi manfaat. Pelaksanaannya sama dengan pengembangan definisi umum dan deskripsi bagian.Kembali ke orang pertama menjelaskan manfaat dari sesuatu yang dijadikan objek penulisan atau yang didefinisikan dengan menulis dua kalimat. Dilanjutkan orang kedua dengan menuliskan dua kalimat.Orang ketiga menambah dua kalimat.Dan orang keempat juga menuliskan dua kalimat.

Penyusunan teks hasil observasi di atas masih berupa draf yang harus disempurnakan baik dari segi struktur teksnya, penggunaan kalimat, pilihan kata, dan ejaannya.Oleh karena itu, kegiatan pembelajaran terus berlanjut pada tahap menyampaikan hasil.Pada tahap ini, semua kelompok di minta memajang hasil tulisannya. Setelah itu guru memberikan informasi agar setiap kelompok mengamati hasil kerja kelompok lain dengan cara mencatat kekurangan dan kelebihannya ditinjau dari struktur teks, penggunaan kalimat, pilihan kata, dan ejaan. Agar lebih efektif guru membagi tugas kelompok 1 mengamati hasil kerja kelompok 2, kelompok 2 mengamati hasil kerja kelompok 3, kelompok 3 mengamati hasil kerja kelompok 4, kelompok 4 mengamati hasil kerja kelompok 5, kelompok 5 mengamati hasil kerja kelompok 6, kelompok 6 mengamati hasil kerja kelompok 7, kelompok 7 mengamati hasil kerja kelompok 8, kelompok 8 mengamati hasil kerja kelompok 9, kelompok 9 mengamati hasil kerja kelompok 1.

 Setelah selesai mengamati hasil kerja kelompok lain, masing-masing kelompok menyampaikan kekurangan dan kelebihan hasil kerja kelompok yang diamati dengan memberikan bukti dan contoh-contoh.Dengan bimbingan guru,kelompok yang sudah mendapat komentar dari kelompok lain, mmemperbaiki kesalahan-kesalahan yang berkaitan dengan struktur, penggunan kalimat, pilihan kata, dan ejaan.Kemudian dilanjutkan dengan penulisan ulang atau penyempurnaan sehingga menjadi teks laporan hasil observasi.

Jumat, 26 Mei 2023

MEMPERTAHANKAN MOOD DALAM MENULIS NOVEL

 


MEMPERTAHANKAN MOOD DALAM MENULIS NOVEL

Oleh: Khatijah

 

Mempertahankan mood dalam menulis novel itu, sebuah keharusan. Kalau tidak, kita bisa berhenti di tengah jalan sebelum ceritanya mencapai ending. Kejenuhan merupakan musuh terbesar dalam menulis novel. Apalagi menulis novel yang notabene cerita panjang. Perlu ketekunan dan ketelatenan yang dibangun dalam diri sendiri Caranya, sebelum menulis kita buat kerangka dasarnya terlebih dahulu. Setelah itu, saat mengembangkan kita boleh membangun konflik-konflik kecil yang berada di luar kerangka. Hal ini kita lakukan agar cerita kita menarik, tidak garing, dan tidak  terkesan monoton. Kehadiran tokoh dalam novel berfungsi untuk menggerakkan alur. Jika cerita kita macet, alurnya buntu, kita bisa menghadirkan tokoh baru. Dari sini akan terbangun konflik-konflik baru.

Ada beberapa cara untuk mempertahankan mood agar bisa terus melanjutkan kisah yang ditulis di dalam novel.

1.    Setelah menemukan ide, segeralah buat kerangka dasarnya terlebih dahulu. Tulislah garis-garis besar yang akan menjadi pedoman dalam mengembangkan ide. Kerangka ini berfungsi untuk menentukan alur yang akan digunakan. Namun demikian, kerangka tidak membatasi ruang gerak dalam mengembangkan tulisan. Penulis tidak perlu terpaku pada kerangka. Jika di tengah perjalanan menulis novel, muncul ide-ide baru di luar kerangka langsung saja disisipkan. Bahkan bisa juga kerangka awal itu ditinggalkan sama sekali.

2.    Segeralah menulis paragraf awal. Jangan terlalu lama meninggalkan ide yang sudah tertangkap di dalam pikiran. Jika ide itu tidak segera ditulis, maka akan hilang bersama berjalannya waktu. Pilihlah kata dan kalimat menarik yang bisa menimbulkan penasaran pembaca. Bisa memulai dengan deskripsi, bisa juga dengan dialog.

3.    Ciptakan konflik pada paragraph-paragraf awal. Meskipun tidak tertulis pada paragraph pertama, bocoran konflik harus sudah tampak pada paragraf awal. Selain, memudahkan penulis dalam mengembangkan alur, bocoran konflik pada bagian awal novel akan menggiring pembaca untuk merasa penasaran dan melanjutkan membaca bagian-bagian berikutnya.

4.    Bangunlah anak-anak konflik. Selain konflik besar yang sudah ada di dalam pikiran penulis, kembangkan juga konflik-konflik kecil. Seperti halnya yang dialami oleh seseorang di dalam kehidupan nyata.

5.    Deskripsikan dengan detail. Deskripsi di dalam novel berbeda dengan deskripsi di dalam pentigraf dan cerpen yang dibatasi oleh jumlah kata dan halaman. Novel merupakan cerita panjang yang memungkinkan pendeskripsian secara detail. Tulislah bagian-bagian kecil yang sangat terperinci. Dalam hal ini penulis mempunyai keuntungan mengeksplorasi banyak pesan moral sampai dalam hal sekecil-kecilnya.

6.    Hadirkan tokoh baru. Jika tulisan kita macet, banyak solusi untuk mengatasinya. Salah satunya dengan menghadirkan tokoh baru. Tentu saja tokoh baru yang kita munculkan memiliki hubungan dengan tokoh utama yang berperan menambah kerumitan di dalam konflik yang dihadapi. Misalnya saja secara tidak terduga, tokoh bertemu dengan seorang penjahat yang akan mencelakai. Disini bisa muncul tokoh baru itu untuk membantu melawan penjahat itu. Mungkin saja tokoh baru itu seseorang yang pernah dikenal di masa lalu. Dengan sendirinya, alur pun akan terus bergerak dan bervariasi. Jika sebelumnya hanya mengikuti jalannya alur progresif, dengan hadirnya tokoh baru akan memunculkan alur mundur.

7.    Buatlah tokoh utama mengalami kesalahan. Ketika tulisan macet, tidak perlu bingung. Buatlah tokoh membuat kesalahan. Tokoh utama di dalam cerita tidak harus sempurna. Seperti halnya manusia, tidak ada yang sempurna. Maka seorang tokoh wajar melakukan kesalahan atau kekeliruan. Kesalahan yang dilakukan oleh tokoh tersebut akan memicu konflik baru. Nah, dengan demikian penulis akan menawarkan beberapa hal untuk memecahkan masalah yang dialami oleh tokoh tersebut.

8.    Citapkan setting tempat dan suasana baru. Tempat di dalam novel tidak harus berkutat pada sebuat tempat. Seorang tokoh bisa pergi dan menempat di mana saja. Di desa lain, kota lain, bahkan di negara lain. Tempat yang ditulis akan diikuti oleh suasana yang berbeda pula.

 


Demikian  beberapa hal yang dapat mengatasi hilangnya mood saat menulis novel. Semoga bermanfaat.  

Kamis, 18 Mei 2023

Sesal



Sesal

Oleh: Khatijah


“Ibu, kenapa Bu?” Pak Darto menggoyang-goyangkan tubuh istrinya.

“Cepat telepon ambulans, Mbak Pak,” seru Bi Siti tergopoh-gopoh.

Pak Darto tidak mengindahkan Bi Siti. Dia berpikir bahwa membawanya sendiri akan lebih efektik. Cepat-cepat Pak Darto mencari kunci kontak. Kepanikan membuat dia terlupa menaruhnya. Berkali-kali dicarinya di meja depan TV, tetapi tidak ditemukan. Lalu berlari ke ruang tamu. Di sana pun dia tidak menemukan barang yang dicari. “Thia, di mana kunci kontaknya?” teriak Pak Darto.

Fathia tidak menjawab. Dia lebih fokus menolong ibunya. Ditepuk-tepuknya pipinya pelan-pelan dan dibisikkan panggilan.Namun, Bu kondisi Bu Harni tidak ada perubahan. Bi Siti yang tidak kalah panik turut memijit-mijit tangan wanita itu.

Terus saja Pak Darto mondar-mandir hingga kembali ke ruang makan.Tiba-tiba dia melihat kontak itu tergeletak di meja. Dengan tergesa-gesa dia menuju ke halaman. Beruntung mobilnya belum dimasukkan di garasi.

Beberapa menit kemudian, terdengar suara mesin mobil. Dengan dibantu Bi Siti, Fathia mendorong kursi roda ibunya ke luar rumah.

“Hati-hati, Thia! Pegang kursi rodanya,” ucap ayahnya seraya menggendong tubuh istrinya ke dalam mobil.

Udara malam menemani ayah dan anak dalam kepanikan. Lampu-lampu jalan yang berderet-deret serupa berlari kencang meninggalkan mobil yang dikemudikan Pak Darto. Fathia merasa mobil itu terlalu lambat. Resah hatinya mendesak-desak. Ingin segera tertuntaskan perjalanan menuju rumah sakit agar ibunya segera tertangani. Berulang-ulang Fathia memandang wajah ibunya yang pucat. Meski wanita itu tidak lagi kejang-kejang, tapi was-was di hati Fathia belum juga berkurang. Dia terus membisiki ibunya agar tetap bertahan.

“Kenapa berhenti, Yah? Ayo, jalan saja!” teriak Fathia ketika lampu merah mengharuskan ayahnya menghentikan mobil.

“Tidak bisa begitu, Fathia. Nanti terjadi kecelakaan, malah tambah masalah.” Pak Darto tidak mengindahkan anak gadisnya.

Fathia melongokkan wajahnya ke luar. Tampak mobil-mobil berderet panjang. Dia menggeleng-gelengkan kepala dengan bibir terus melafalkan doa. Hatinya gemas,  ketika lampu berubah menjadi hijau, tetapi mobil di depannya tidak cepat-cepat berjalan. Akibatnya mobil Pak Darto harus tertahan karena lampu sudah kembali merah. Mau tidak mau harus menunggu lampu hijau berikutnya. Sementara napas Bu Harni semakin sesak. Fathia kian panik. Doanya terus dipanjatkan agar ibunya masih bisa bertahan.

“Duh, gimana sih? Kenapa gak cepet-cepet?” Fathia menggerutu sambil terus melihat mobil yang ada di depannya.

Ketika lampu kembali hijau, Pak Darto membunyikan klakson keras-keras. Dia tidak lagi berpikir bagaiman reaksi pengendara mobil lain. Cepat-cepat dia mengegas mobilnya saat berhasil menyalip mobil di depannya. Fathia melepaskan kedongkolannya dengan menghirup udara dari hidung dalam-dalam dan mengeluarkannya pelan-pelan dari mulutnya.

Tidak lama kemudian, mobil Pak Darto memasuki halaman rumah sakit. Langsung dia menuju pintu Instalasi Gawat Darurat. Dua pemuda berbaju seragam kehijauan segera membawa tandu menuju pintu mobil Pak Darto. Dengan cekatan, mereka mengangkat tubuh Bu Harni dan membawanya masuk. Fathia terus mengikuti dari belakang. Dia berharap ibunya masih bisa diselamatkan. 

Bersambung... 

     

 

 

 

      

 

 

Rabu, 17 Mei 2023

Sepotong Luka

 


Sepotong Luka

Oleh: Khatijah

 

Riani menggigil. Tubuhnya basah oleh keringat dingin yang mengucur. Matanya memerah. Pertanyaan Bu Anis, wali kelasnya  telah menyentuh perasaan yang terhalus. Tidak seperti teman-temannya, bagi Riani hal itu sangat membuatnya malu. Betapa tidak, hingga masuk sekolah ini dia tak pernah melihat bahkan mendengar di mana ayahnya berada. Jika dia bertanya kepada ibunya, ibunya selalu marah dan menyuruhnya berhenti bertanya.

Bu Anis jadi salah tingkah melihat perubahan gestur Riani. Dia bingung menentukan kalimat yang membuat siswa baru itu pucat pasi. Menurutnya, pertanyaan yang dilontarkan itu biasa-biasa saja, tidak berbeda dengan yang disampaikan kepada anak-anak lain. Beruntung, ada Pak Hisyam yang berjalan di dekat mereka. Langsung saja Bu Anis memanggilnya dan meminta bantuan agar bisa menenangkan Riani.

Beberapa kalimat motivasi terlontar dari bibir Pak Hisyam. Dia hibur Riani dengan cerita-cerita tentang anak yang berprestasi. Bahkan dia ceitakan juga ada siswa berprestasi yang tidak punya ayah dan ibu. Pak Hisyam menguatkannya dengan mengatakan bahwa Riani lebih beruntung karena masih mempunyai ibu. Tampak perubahan di wajah Riani. Dia semakin kuat. Lalu pelan-pelan Pak Hisyam menanyakan nama ibunya. Betapa kagetnya guru itu setelah mendengar jawaban Riani. Ternyata Riani anak kandungnya sendiri yang dia tinggalkan ketika masih bayi karena perceraian.Sepotong luka terobek kembali di hatinya. Spontan dipeluknya anak itu.

Bondowoso, 18 Mei 2023

 

 

 

 

 

Selasa, 16 Mei 2023

Menanti Matahari@3

 


Menanti Matahari@3

Oleh: Khatijah

 

“Andara, Aku takut.” Tanpa sadar Rianti mengucap kalimat itu.

Andara menoleh. Dipandanginya wajah Rianti. Kerut keningnya mengisyaratkan keheranan. Dia benar-benar tidak mengerti kondisi Rianti yang tiba-tiba berubah. Tangannya menjadi dingin. Pucat wajahnya dan bibirnya bergetar.

“Kamu ini kenapa Anti?”

Rianti yang ditanya tidak menjawab. Sorot matanya terus mengikuti laki-laki yang tadi menatapnya dengan tatapan menakutkan. Andara mencoba mengikuti arah pandangan mata Rianti, tapi dia  tidak melihat siapa-siapa.

“Kenapa kita berada di tempat ini, An? Kita pulang, ya! Jangan lama-lama di sini!”

“Kita baru nyampai, Anti. Ada-ada saja kamu ini. Kita ke sini kan niatnya liburan. Kita habiskna liburan di sini,” gerutu Andara sambil terus melangkah menuju kamar yang sudah disiapkan.

Rianti ragu-ragu. Serasa ada yang menahan kakinya untuk mengikuti Andara. Dipalingkannya wajahnya ke kiri dan ke kanan. Sepi. Embusan angin semakin kencang. Bajunya putih ke abu-abuan yang dipakainya itu berkibar-kibar seolah akan membawanya terbang.

“Ayo, Anti. Cepetan!” teriak Andara masih menunggu sahabatnya yang belum juga melangkah.

“Tunggu, Andara!”

Dengan tertatih Rianti berjalan menuju ke tempat Andara berdiri. Sepanjang perjalanan tak henti matanya melirik ke kiri dan ke kanan. Suara-suara daun kelapa di luar yang diterpa angin serupa benar dengan suara langkah orang yang mengejarnya. Rianti terus mengerahkan tenaganya agar segera mencapai tempat Andara.

“Kok lama banget, sih?” Andara bersungut-sungut.

“Andara, aku ingin pulang.”

Andara tidak menyahut. Dia justru berjalan meninggalkan Rianti. Tidak ada pilihan lain bagi Rianti selain mengikuti Andara. Langkahnya dipercepat. Dadanya berdebar kencang. Sampailah mereka di depan pintu kamar. Masih dalam diam, Andara membuka pintu.

“Ayo, masuk!” Andara memberi jalan kepada Rianti.

Dengan ragu-ragu Rianti memasuki kamar. Sepontan pandangannya menyapu pada setiap sudut. Lalu matanya berhenti pada double bed dengan sprei putih bersih dan sebuah bantal. Tiba-tiba rasa kantuknya terpanggil. Ingin sekali dia rebahkan tubuhnya yang terasa lemas. AC yang terlalu dingin menusuk pori-pori, membuat dia meraba kulit lengannya.

“Kamu mandi saja dulu. Baru beristirahat sebentar. Setelah itu kita akan ke sana.” Andara yang berdiri di dekat jendela mengarahkan telunjukknya ke luar.

“Aku tiduran dulu ya, An. Andara aja yang mandi.Badanku terasa meriang.”

“Oke,” sahut Andara singkat.

Rianti tidak tertarik dengan pemandangan luar yang ditawarkan Andara. Dia memilih memejamkan mata untuk mengurangi pening kepalanya sejak dipermainkan ombak tadi. Meski begitu, jiwanya tidak bisa terlelap. Pikirannya terombang-ambing oleh peristiwa yang dialami. Mulai dari HP dan obat-obatan yang turut tenggelam bersama tasnya, juga lelaki yang tiba-tiba menabur sikap antipati kepadanya. Khekhawatiran itu begitu mengganggu. Tak henti-henti bayangan wajah orang tuanya bermain di depan mata. Tentu mereka sangat mengkhawatirkan dirinya yang tadi tidak mendapatkan izin sepenuh hati. Apalagi dia tidak bisa menghubungi mereka saat sudah sampai di tempat. Belum juga obat yang seharusnya dihabiskan sesuai resep dokter.

Bondowoso, 17 Mei 2023

 

 

 

 

Senin, 15 Mei 2023

Jejak Magrib

 


Jejak Magrib

Pentigraf : Khatijah

Gemericik suara air di bawah sana membuat mataku mencari-cari. Setelah kuperhatikan dengan cermat, rupanya ada sungai tidak jauh dari tempatku berdiri. Sementara matahari hanya meninggalkan sisa warna jingga di pucuk bukit di sebelah timur. Mega-mega menyerupai sisik ikan, semburat kemerahan membersamai debur ombak laut selatan yang samar-samar terdengar. Kunikmati saja suasana ini sambil menunggu Ratri yang masih berfoto-foto dengan teman-temannya di pantai yang kami kunjungi bersama.

Tidak mau kehilangan momen, buru-buru kukeluarkan ponsel dari tas kecilku. Dengan segera kuhidupkan camera. Kuvideo suasana romantis di sekelilingku ini. Lalu kufokuskan camera pada sungai di bawah. Sepi. Hanya air yang terus mengalir menampakkan buih-buih putihnya. Gemericiknya sangat menenangkan hati.

Beberapa menit kemudian, suasana menjadi gelap. Terdengar motor Ratri dan teman-temannya mendekat. Legalah hatiku karena tidak harus berada di tempat ini sendirian. Lalu aku pun menuju ke arah motor yang kuparkir beberapa meter di depanku. Sambil menunggu rombongan datang, aku duduk di jok siap untuk segera meninggalkan tempat ini. Sebelum mereka sampai, kubuka galeri HP-ku. Kucari video hasilku merekam beberapa menit yang lalu. Kuputar dan kuamati. Sejenak mataku tertegun. Bulu kudukku berdiri saat sekelebat tampak seorang gadis sendirian mandi di sungai di akhir videoku. Aku pun menjerit dan menyetater motor menjemput Ratri dan teman-temannya.

Bws, 16 Mei 2023       

Jumat, 12 Mei 2023

Menanti Matahari

 Menanti Matahari @2

Oleh: Khatijah


 “Hore, kita sudah sampai,” teriak Al sambil melambai-lambaikan tangannya. Rona di wajahnya menandakan bahwa dia sangat tidak sabar untuk segera mendarat di pulau yang berhiaskan tanaman cemara udang di sekelilingnya. Perahu yang membawa mereka semakin merapat ke sebuah dermaga kecil. Sementara beberapa meter di  sebelah kanan tampak perahu dengan cat warna putih keabu-abuan terapung-apung. Perahu yang mereka naiki pun segera bersandar.

“Ayo, kita keluar dari perahu! Jangan lupa ransel dan barang bawaan masing-masing!” Giano melompat terlebih dahulu ke bibir dermaga. Hanya  sebuah tas kecil diselempangkan di badan saja yang dia bawanya. Berbeda dengan empat temannya yang sibuk dengan tas dan barang bawaan. Tentu saja Giano tidak perlu repot-repot karena semua keperluan sudah tersedia di vila milik ayahnya yang dia kunjungi hampir setiap Sabtu hingga hari Minggu. Ada pegawai khusus ayahnya yang akan membawakan barang-barang kebutuhannya dari rumah tinggalnya di Jakarta.

 “Al, tolong bantu Andara sama Rianti! Bawakan barang-barangnya!” kata Giano sebelum meninggalkan dermaga.

“Biar Mang Sofyan, yang membantu Aden,” sahut seorang lelaki lima puluhan tahun yang tiba-tiba muncul di dekat Al.

Al sempat terkesima saat lelaki itu menatapnya tajam.Tiba-tiba ada perasaan aneh. Dia beranggapan seolah lelaki itu sudah mengenalnya.Padahal sejatinya baru kali ini dia melihatnya. Dia tersenyum meski hatinya sempat ngeri. Al membaca ada benci tersirat di sorot mata lelaki itu. Namun, Al segera membuang anggapan itu jauh-jauh. Dia kembalikan perasaannya pada posisi semula. Berlibur dan bersenang-senang dengan sahabat-sahabatnya.

“Pelan-pelan Rianti,” ucap Andara yang sudah terlebih dahulu keluar dari perahu.

Diulurkannya tangan kanannya kepada sahabatnya yang tampak ragu-ragu melangkahkan kaki dari perahu ke bibir dermaga. Giano melemparkan pandangannya kepada dua gadis yang sejak lama menjadi sahabatnya itu.

“Wajahmu pucat sekali, Rianti. Kamu masih pusing, ya?” Ucapan Giano membuyarkan konsentrasi Rianti.

“Tinggal sedikit pusingnya Ano, tenang saja. Sebentar lagi buat istirahat pasti sembuh,” sahut Rianti dengan suara lemah.

“Oke, Mang Sofyan sudah membersihkan dan merapikan kamar-kamar untuk kalian. Habis ini kamu bisa beristirahat, Anti.” Giano melirik Rianti yang tidak menampakkan ekspresi ceria sama sekali.

Rianti tetap diam dalam gemulai langkahnya. Tangan kurusnya yang putih bersih dengan jari-jari runcing memegangi tangan Andara. Andara gadis manis sahabatnya yang masih saudara sepupu Giano sesekali melirik ke arah pemuda itu. Dia paham benar bahwa pemuda itu sangat mencemaskan Rianti.

Langkah-langkah kaki menapaki tanah berpasir diringi suara angin yang mengibaskan dahan-dahan cemara udang. Dingin. Daun-daun kelapa menjulur memuncakkan  keinginan  untuk segera menikmati indahnya matahari senja di seputaran pantai. Dua puluh meter dari bibir pantai, tampak sebuah bangungan dengan arsitektur modern. Pohon angsana besar dengan rerimbunan daunnya menaungi teras bagian depan sehingga nuansa adem sudah terasa meski lima anak muda itu belum sampai di tempat itu.

Kaki lemah Rianti terhenti saat Andara membalikkan tubuhnya. Dia memanggil Giano, Al, dan Armando.

“Hei, tolong kalian kasih tahu Mang Sofyan. Barang-barangnya langsung dimasukkan ke dalam kamar saja,” kata Andara sebelum kaki kanannya menapak di beranda depan.

“Sudah. Dara dan Anti langsun saja masuk ke kamar tengah. Di sana kalian bisa lansung mandi dan beristirahat.” Tangan Giano menunjuk arah dalam bangunan mewah itu.

Rianti ragu-ragu. Dipandanginya sekeliling dia berdiri. Ruang besar yang bisa menampung puluhan orang. Desainnya unik. Lukisan-lukisan kuno terpampang di dinding-dindinnya. Dia mencoba mendekat dan mengamati satu per satu, tapi dia tidak mengenalnya.

“Itu, kakek dan nenek ayahku, Anti. Mereka sudah meninggal. Rumah ini memang peninggalan beliau. Dulu, kata ayah hanya kecil dan sederhana. Hanya cukup untuk bertempat tinggal mereka berdua yang berprofesi sebagai nelayan. Lalu ayah membangunnya hingga seperti ini.” Ano menjelaskan meski Rianti tidak bertanya.

Rianti mengangguk kecil tanpa menyahut dengan kata-kata. Dia pun melanjutkan melangkah ke bagian pojok. Pandangannya tidak lepas dari akuarium besar. Airnya bening dengan ikan-ikan kecil berenang dan berkejaran di antara karang-karang yang sengaja ditata oleh tangan-tangan terampil. Artistik. Dua ekor kuda laut mini tampak mengapung-apung menikmati suasana. Rianti serasa menyelam di sebuah lautan bebas. Perasaan adem menyelimuti tubuh dan pikirannya.

“Airnya bening sekali.” Tiba-tiba Rianti berkomentar.

“Itu air laut, Anti,” sahut Andara yang sejak tadi mengikuti di belakangnya.

“Owh,” sahut Rianti sambil terus mengamati binatang-binatang laut yang semua berukuran kecil.

“Non, barang-barang sudah saya letakkan di kamar,” ujar Pak Sofyan sambil menyerahkan kunci kepada Andara.

“Terima kasih, Pak.” Andara menerima kunci lalu memasukkan ke dalam saku t-shirtnya.

Laki-laki itu mengangguk dan meninggalkan dua gadis yang masih asyik di dekat akuarium. Matanya sempat menatap tajam ke arah Rianti. Pandangan aneh menyiratkan makna yang sulit diterjemahkan.Hingga dada Rianti berdebar kencang. Dia merasa ngeri dengan pandangan mata yang tidak biasa itu. Dipegangnya tangan Andara. Keringat dinginnya mendadak membasah di seluruh tubuhnya.

Bondowoso, 13 Mei 2023   

  

    

 

 

Rabu, 10 Mei 2023

Sesal

 

Sesal

Oleh: Khatijah

Pak Darto lebih paham atas perubahan pada diri Fathia. Kematian Wiji sahabatnya, telah mencuri seluruh keceriaan hatinya. Meski begitu dia merasa lebih dari yang dirasakan Fathia. Perasaan kehilangan sekaligus bersalah bahkan merobek-robek nuraninya. Namun, dia hanya bisa menelannya sendiri. Tidak mungkin dia akan menceritakan kesedihan itu pada Fathia, apalagi istrinya.

“Ayah duluan ya, ada pekerjaan yang harus diselesaikan malam ini. Besok harus sudah kelar.” Pak Darto akhirnya meninggalkan Fathia dan ibunya.

Fathia menatap ayahnya. Ada kesunyian menggenang di mata lelaki lebih paroh baya itu. Dia melihatnya sejak berada di makam Wiji. Pertanyaan besar mengganggu jiwa gadis cantik kebanggaan ayah dan ibunya itu. Pergolakan batin tak mampu dia ungkapkan di depan ibunya yang rapuh. Demikian juga bibirnya terasa kelu saat ingin menanyakan langsung kepada ayahnya.

Jika harus bertanya kepada ibunya, jelaslah beban wanita itu akan bertumpuk-tumpuk. Barangkali tanpa ditanya pun nurani Bu Harni sudah bicara. Ketidakmampuan fisiknya membuat dia terbelenggu dengan ketakutan demi ketakutan yang dia ciptakan sendiri. Meski hatinya berontak ingin melepaskan beban deritanya. Tinggallah dia sendiri dalam sepi hati. Tertindih berbagai masalah yang sulit terurai.

“Thia, Ibu tidak tahu apa yang kalian pikirkan. Kenapa gak cerita sama Ibu? Sebenarnya siapa yang telah meninggal dan membuatmu sedih?” Akhirnya Bu Harni membuka ruang tenggorokannya yang sejak tadi terasa tercekik.

Fathia terhenyak. Lagi-lagi dia bingung untuk memberikan jawaban yang sesungguhnya kepada ibunya.  

“Teman SMA, Bu.” Fathia menjawab sekenanya.

“Iya, siapa?” Bu Harni mengejar.

Fathia kian gelagapan. Terbayang saat ibunya tahu bahwa yang meninggal Wiji. Entah akan seperti apa ekspresinya. Apakah puas atau sedih karena aku dan ayah tampak begitu kehilangan. Fathia benar-benar terdesak.

“Wiji, Bu.”

Dada Fathia berdebar kencang. Dia benar-benar keceplosan. Spontan dua telapak tangannya menutup bibirnya. Bu Harni tampak menarik napas panjang. Entahlah apa maknanya.

“Akhirnya, hanya kamu yang jadi pewaris harta ayahmu, Fathia,” ujar Bu Harni datar.

Bersamaan dengan ucapannya, Bu Harni mendorong kursi rodanya meninggalkan ruang makan. Tinggallah Fathia yang terbengong-bengong. Buru-buru dia kejar ibunya dan dibantunya mendorong kursi roda.

“Ibu jangan berbicara seperti itu. Bagaimana pun kita tetap berduka, Bu. Kasihan anak itu. Dia tidak tahu apa-apa. Takdir saja yang membawanya pada lingkaran masalah yang pelik ini.”

“Masih juga kamu membelanya. Tidak sakit hatimu telah dihancurkan. Sama dengan hati Ibu yang berkeping-keping akibat semua ini.”

Kali ini Fathia tidak bisa menahan tangis. Diabaikannya air matanya berdera-derai. Dalam hati, dia membenarkan ucapan ibunya, tapi di sisi lain perasaan kehilangan tak bisa dia urai hanya dengan sekadar mengingat takdir yang mempermainkan keluarganya.

“Sudah, hentikan tangismu! Kamu lebih memilih dia? Mendukung semua kejahatan ibunya? Dan membiarkan Ibu yang sudah hancur ini mati karena kelakuanmu dan kelakuan ayahmu?” ucap Bu Harni dengan suara bergetar.

“Ibu, Fathia sayang Ibu.”

Hanya itu yang bisa terucap dari bibir Fathia. Dipeluknya ibunya erat-erat setelah kursi rodanya berhenti. Ditumpahkannya kasih sayangnya kepada wanita yang telah melahirkannya itu. Namun, Fathia terkejut luar biasa karena tiba-tiba ibunya kejang-kejang lagi.

“Ayah, Bi Siti, tolong!” jerit Fathia sekuat-kuatnya.

Bi Siti yang sednag bersih-bersih di dapur terkejut mendengar teriakan Fathia. Serta-merta, dia berlari menuju kea rah suara. Sementara Pak Darto yang sebenarnya tidak sedang menyelesaikan pekerjaannya di kamar, melompat dan berlari menuju Fathia dan ibunya.

 Bersambung ...


 

      

 

 

 

 

Selasa, 09 Mei 2023

Sesal

 Sesal @ 2

Oleh: Khatijah

Sayup-sayup azan magrib berkumandang.Hamparan nisan di pemakaman semakin samar. Warna jingga di pucuk-pucuk kamboja sudah sirna. Gelap pun segera menjemput. Fathia melepaskan diri dari pelukan ayahnya. Sisa air matanya nyaris mengering.

“Ayah, sudah gelap. Kita pulang!”

Darto pun tersadar. Sekuat tenaga dia berusaha mengembalikan perasaannya pada posisi semula. Kembali pikirannya pada kenyataan bahwa yang dihadapannya bukanlah Wiji, melainkan putri kandungngya sendiri, Fathia.Lalu pandangannya kembali menatap sendu, pusara yang nyaris tertutup oleh kepekatan malam. Belum cukup rasanya merebahkan rindunya pada sisa duka yang kian menenggelamkan.

“Selamat tinggal, Wij,” ucap Darto seraya bangkit dan perlahan melangkahkan kakinya meninggalkan pusara bisu.

Fathia melangkah mendahului ayahnya. Tak seucap kata pun keluar dari bibir mereka. Bapak dan anak itu berada pada pikiran masing-masing. Sesal yang masih setia bediam di hati Fathia masih membuatnya sesak. Demikian juga Darto. Penyesalannya hanya ditelan sendiri. Hingga tidak sadar sampailah mereka di tempat Darto memarkir mobil.

“Biarkan Fathia yang nyetir, Yah!”

Tanpa persetujuan, Fathia langsung membuka pintu mobil dan duduk di belakang kemudi.Dia tahu benar bahwa ayahnya tidak sedang baik-baik saja. Darto hanya mengiyakan dan mengambil posisi di samping Fathia yang segera melajukan mobilnya.

“Kok, sampai malem, Thia,” sapa Bu Harni di atas kursi rodanya, sesaat setelah menjawab salam Fathia dan ayahnya.

“Ya, Bu. Memang berangkatnya kesorean tadi,” sahut Fathia sambil menyerahkan kontak kepada ayahnya.

“Ibu sudah salat Magrib?” Darto bertanya seraya mendekati istrinya.

 “Sudah, Yah. Tadi ambil wudunya dibantu Yu Siti.”

Didorongnya kursi roda Harni ke ruang keluarga. Sementara Fathia bergegas ambil wudu. Lalu dia tenggelam dalam doa setelah salat tiga rekaat itu usai dilaksanakan. Air matanya kembali berderai. Nama Wiji kembali disebut-sebutnya. Bayangan tentang Wiji kian lama kian terang benderang. Serupa memutar ulang film berdurasi panjang, Fathia menatap dalam angannya sendiri. Jerit hatinya belum juga mereda. Tidak henti dia mengutuki dirinya sendiri. Terbayang di mata dan pikirannya saat pengumuman lulusan merenda kegembiraan di hatinya dan hati Wiji.  Dua gadis itu berkeinginan untuk  bersama-sama mendaftar di Perguruan Tinggi yang sama. Wiji dan Fathia takut jika perpisahan di SMA itu membuat jarak di antara mereka benar-benar jauh. Namun, kini tidak hanya jauh, tapi dia tidak akan pernah bertemu sahabatnya itu selama-lamanya.

“Fathia, makan dulu, Nak. Kenapa tidak keluar dari kamar?” Bu Harni memanggil anak gadisnya yang belum juga muncul sejak kepulangan dari makam.

Buru-buru Fathia melipat mukena.Dirapikannya pakaian dan wajahnya. Tak ingin ibunya berprasangka yang tidak-tidak. Dia benar-benar berhati-hati dalam menjaga hati wanita yang sangat disayanginya itu.

“Tadi nyekar di makam siapa sih, Yah?” Bu Harni menelisik suaminya.

Pak Darto agak kebingungan. Namun, buru-buru dia mengambil sikap sebab tidak mungkin dia mengatakan bahwa dia mengantarkan Fathia ke makam Wiji. Dia pura-pura terbatuk. Beruntung, belum sampai menjawab, Fathia datang.

 

Fathia langsung mengambil tempat duduk berhadapan ayah dan ibunya yang sudah menunggu untuk makan bersama-sama.

“Yu Siti masak kesukaanmu Thia, sayang sekali kalau kamu tidak makan.” Bu Harni menunjuk piring saji di depannya.

“Asyik,” ucap Fathia sambil menatap Fuyunghai di piring saji.

Meski tidak berselera, Fathia berusaha memenuhi harapan ibunya. Diambilnya piring dan garpu. Sesendok saja dia mengambil fuyunghai lalu disantapnya pelan-pelan.

Bu Harni menatap penuh tanda tanya. Dia berpikir bahwa ada yang tidak biasa terjadi pada Fathia. Anak gadisnya itu biasanya begitu lahap menyantap fuyunghai. Tidak seperti kali ini.

    Bersambung....


  



Entri yang Diunggulkan

Puisi-Puisiku

  Puisi-Puisiku Oleh: Khatijah   1.        MENDEKAP HARAP Kupatahkan ragu di tiang rapuh Menjaga rasa cita pada setia Di cadas lin...