Terus
saja Giano dan tiga temannya berteriak dan memanggil-manggil Mang Sofyan. Mereka
yakin dialah orang paling tahu terhadap keberadaan Rianti. Meski laki-laki itu
sudah mengabdi tidak sebentar di rumah tepi laut itu, tapi ada sebersit kecurigaan
di batin Giano. Apalagi Al yang sempat bertatapan mata dengan laki-laki yang
dianggapnya menyimpan kebencian terhadapnya itu.
“Mungkinkah
Mang Sofyan yang menyembunyikan Rianti?” bisik Al di tengah kepanikan mereka
berempat.
“Kita
boleh berprasangka, tapi tidak boleh menuduh,” sahut Andara yang berjalan di
sampingnya.
Derap
langkah mereka memecah kesunyian di antara suara burung-burung camar yang
beterbangan di atas bangunan. Suasana kian tegang. Mata Sheila terus melirik ke
arah sebuah kamar yang berada di pojok. Sepi serupa tidak berpenghuni.
Pikirannya menjawab keraguan bahwa tidak akan mungkin ada orang yang berada di
dalamnya. Namun, desiran jantungnya memaksa untuk berhenti. Sejenak dia
pandangi pintu kamar yang dianggapnya berbeda dengan beberapa pintu yang
ditemuinya di bangunan itu. Ornamennya aneh. Ukir-ukiran berbentuk
binatang-binatang laut besar seperti hiu dan gurita yang tangan-tangannya mencengkeram.
Seram.
Perlahan
dilangkahkan kakinya mendekat. Berkali-kali Sheila menengok ke kiri dan ke
kanan. Ragu-ragu. Seolah ada sepasang mata yang mengikuti gerak-geriknya. Bulu
kuduk Sheila tiba-tiba meremang. Matanya menjelajah seluruh sudut ruangan besar
itu. Namun, tidak satu pun yang dia dapati. Yang ada hanya sebuah kesan sepi. Hanya
suara deru angin di luar menggerakkan pepohonan menggambarkan cuaca yang
berubah menjadi tidak lagi baik-baik saja. Dia pun heran sebab keempat temannya
serupa lenyap ditelan senja yang digantikan malam. Kebimbangan Sheila akan
keamanan daerah itu memuncak saat sadar Rianti belum juga ditemukan. Karena jalannya
sambil menengok ke sana ke mari, kakai Sheila terantuk pot yang ada di depannya.
Dia pun sempoyongan dan akhirnya tidak mampu menjaga keseimbangan tubuhnya.
Perlahan dia mencoba bangkit dan berusaha keluar dari tempat itu.
“Andara,
Ano, El,” teriaknya mengikuti langkahnya yang terseok.
Sementara
Giano berjalan menuju sebuah ruangan di bagian samping bangunan. Di
belakangnya, Andara dan El kejar-mengejar mengikuti Giano. Napas mereka
terengah-engah dalam pikiran kalut. Bayangan tentang Rianti silih berganti
mempermainkan perasaan. Antara panik dan takut. Terlebih Giano karena dialah
yang mengajak Rianti bahkan setengah memaksa agar gadis itu mau menghabiskan
liburan di vila mewah yang menghiasi pulau kecil milik ayahnya. Giano berharap
Mang Sofyan yang menempati ruangan itu mengerti tentang kepergian Rianti yang
tiba-tiba.
“Mang
Sofyan!” teriak Giano di depan pintu yang tertutup rapat.
Aneh.
Sorot lampu yang sebelumnya tampak menerangi ruangan itu, tiba-tiba padam.
Kepanikan menguasai pikiran empat anak muda itu. Pertanyaan-pertanyaan yang
tidak sempat terlontar, akhirnya tertelan bersama suasana yang kian menghadirkan
gundah.
“Kemana
laki-laki itu?” bisik Al di dekat telinga Giano.
Wajah
Al yang memutih pucat merambati kedua gadis yang bibirnya membiru. Mata mereka
saling bertemu dalam kepanikan.
Giano
memukul pintu keras-keras. Namun, tidak ada tanda-tanda orang yang diharapkan
membukanya berada di dalamnya. Dikejar rasa ingin segera menemukan Rianti,
Giano menendang daun pintu. Secepat kilat pintu pun terbuka. Mereka berempat
menganga kaget sebab tanpa diduga tampak tubuh Rianti tergeletak lemas di salah
satu pojok. Matanya terpejam. Wajahnya memutih kapas. Bibir yang biasanya
kemerahan berubah menjadi membiru.
Tangan
Giano memegang pergelangan tangan Rianti. Sementara Andara meletakkan telinga
kanannya di dada Rianti.
“Alhamdulillah,
masih bernapas,” bisik Andara.
Perasaan
cemas yang menggeluti mereka sedikit terurai. Giano dan Al cepat-cepat berusaha
meraih tubuh itu untuk dibawanya pergi. Sheila pun turut serta membantu
mengangkat di bagian kaki. Sedangkan Andara sibuk berselancar dengan pikirannya
yang merasa keheranan. Mengapa Rianti yang baru saja ber-Vidio call-an dengan
diri-nya, tiba-tiba berada di kamar yang letaknya jauh dari tempat Rianti
semula.Dia berprasangka ada mahkhluk lain yang membawanya. Sedangkan Mang
Sofyan yang menjadi orang pertama yang dituduh Giano, tidak berada di ruangan
itu.
Tanpa
menutup pintu, Andara mengikuti jejak tiga sahabatnya yang menggotong tubuh
Rianti. Lampu-lampu yang sudah mulai menyala menolong mereka memberikan cahaya.
Dibaringkannya tubuh Rianti di ruang tengah dimana Mang Sofyan biasa sibuk
menyiapakan makan malam. Namun, kegundahan hati Giano semakin memuncak kala
tidak ditemui juga Mang Sofyan di tempat itu.
“Mang
Sofyan ini gimana, sih?” Gumam Giano meluncurkan perasaan jengkelnya.
“Mungkin
masih menyelesaikan pekejaan yang lain, Ano.” Al merespons dengan suara sedikit
keras.
Bersamaan dengan itu mereka dikagetkan oleh
lengkingan jerit yang memilukan.Serta-merta Giano dan Al berlari mendekat ke arah
suara. Baru beberapa meter langkah kaki mereka meninggalkan ruang makan, sebuah
pemandangan mengagetkan mereka. Sheila berdiri berdiri terpaku di depan Pintu sebuah ruang kosong. Matanya memerah, dua
tangannya memegang kepalanya.
“Ada
apa Sheila?”
Giano
mendekati sahabatnya yang menatap tajam pada sebuah ruangan terbuka di
depannya. Tanpa menunggu jawaban Sheila, Mata Giano menangkap sosok yang
tergantung di balik pintu. Tidak seluruh tubuhnya tampak. Hanya Tidak jelas
siapa dia, Giano langsung berjalan mendekat. Matanya terbelalak setelah tahu
bahwa sosok itu laki-laki yang dicurigai meneror Rianti oleh teman-temannya .
“Mang
Sofyan!” teriaknya membelah gelap yang mulai pekat.
Jeritan
Giano yang mengiris, memanggil. Andara dan Al berlari mendekat. Mereka berlari
sekencang-kencangnya. Cuaca gelap tidak membuat mereka surut. Sheila sempat
terhuyung nyaris jatuh karena kakinya terantuk benda asing di
depannya.Kengereian di depan matanya memaksa dia lari menjauh.
“Ano,
kenapa dia, Ano?” teriak Sheila tidak kalah keras dengan teriakan Giano.
Sementara Rianti yang masih terbaring lemah
hanya bisa mengerahkan sisa tenaganya untuk bangun. Namun, baru saja dia
mencoba mengangkat kepalanya, sebuah tangan menariknya menjauh dari tempat itu.
Tarikan dengan kekuatan luar biasa hingga membuat tubuhnya seakan melayang di
udara. Matanya yang masih tersisa air mata meruam kembali. Ketakutan yang
membubung mengharuskan bibirnya menjerit sekencangnya. Namun, tangan besar yang
telah membawanya ke tempat asing itu, menutup mulutnya rapat-rapat.
Sementara, Giano, Al, Sheila, dan Andara sibuk
sekaligus panik dengan ditemukannya laki-laki yang tubuhnya tergantung di depan
pintu sebuah kamar. Mereka tidak mengetahui apa yang akan diperbuat.Hanya satu
yang bisa mereka lakukan, menghubungi polisi.
“Lama
banget sih, Pak Polisi ini?” Andara mulai mengeluh setelah merasa bosan menunggu.
“Bahkan
tidak ada yang menyahut,” jawab Giano bingung.
Memang
tidak mudah menghubungi polisi dari pulau kecil yang jaringan internetnya terhalang
oleh laut. Apalagi cuaca buruk dan waktu terus merangkak menuju malam.
“Benarkah
ini Mang Sofyan?” Andara teranga untuk meyakinkan sosok priya yang tergantung
di depannya.
“Benar,
An,” sahut Giano nyaris berbisik.
“Mengapa
bisa begini, Ano? Siapa yang telah melkukannya?”
“Tenang,
Andara! Kita tunggu saja hasil pemeriksaan polisi!”
“Aneh
banget. Sebenrnya siapa saja yang tinggal di vila ini, Ano. Kau bilang Mang
Sofyan hanya sendirian.” Andara terus mendesak.
GK, 21 Juli 2023