Senin, 07 Agustus 2023

Menanti Matahari






Penulis: Khatijah

Terus saja Giano dan tiga temannya berteriak dan memanggil-manggil Mang Sofyan. Mereka yakin dialah orang paling tahu terhadap keberadaan Rianti. Meski laki-laki itu sudah mengabdi tidak sebentar di rumah tepi laut itu, tapi ada sebersit kecurigaan di batin Giano. Apalagi Al yang sempat bertatapan mata dengan laki-laki yang dianggapnya menyimpan kebencian terhadapnya itu.

“Mungkinkah Mang Sofyan yang menyembunyikan Rianti?” bisik Al di tengah kepanikan mereka berempat.

“Kita boleh berprasangka, tapi tidak boleh menuduh,” sahut Andara yang berjalan di sampingnya.

Derap langkah mereka memecah kesunyian di antara suara burung-burung camar yang beterbangan di atas bangunan. Suasana kian tegang. Mata Sheila terus melirik ke arah sebuah kamar yang berada di pojok. Sepi serupa tidak berpenghuni. Pikirannya menjawab keraguan bahwa tidak akan mungkin ada orang yang berada di dalamnya. Namun, desiran jantungnya memaksa untuk berhenti. Sejenak dia pandangi pintu kamar yang dianggapnya berbeda dengan beberapa pintu yang ditemuinya di bangunan itu. Ornamennya aneh. Ukir-ukiran berbentuk binatang-binatang laut besar seperti hiu dan gurita yang tangan-tangannya mencengkeram. Seram.

Perlahan dilangkahkan kakinya mendekat. Berkali-kali Sheila menengok ke kiri dan ke kanan. Ragu-ragu. Seolah ada sepasang mata yang mengikuti gerak-geriknya. Bulu kuduk Sheila tiba-tiba meremang. Matanya menjelajah seluruh sudut ruangan besar itu. Namun, tidak satu pun yang dia dapati. Yang ada hanya sebuah kesan sepi. Hanya suara deru angin di luar menggerakkan pepohonan menggambarkan cuaca yang berubah menjadi tidak lagi baik-baik saja. Dia pun heran sebab keempat temannya serupa lenyap ditelan senja yang digantikan malam. Kebimbangan Sheila akan keamanan daerah itu memuncak saat sadar Rianti belum juga ditemukan. Karena jalannya sambil menengok ke sana ke mari, kakai Sheila terantuk pot yang ada di depannya. Dia pun sempoyongan dan akhirnya tidak mampu menjaga keseimbangan tubuhnya. Perlahan dia mencoba bangkit dan berusaha keluar dari tempat itu.

“Andara, Ano, El,” teriaknya mengikuti langkahnya yang terseok.

Sementara Giano berjalan menuju sebuah ruangan di bagian samping bangunan. Di belakangnya, Andara dan El kejar-mengejar mengikuti Giano. Napas mereka terengah-engah dalam pikiran kalut. Bayangan tentang Rianti silih berganti mempermainkan perasaan. Antara panik dan takut. Terlebih Giano karena dialah yang mengajak Rianti bahkan setengah memaksa agar gadis itu mau menghabiskan liburan di vila mewah yang menghiasi pulau kecil milik ayahnya. Giano berharap Mang Sofyan yang menempati ruangan itu mengerti tentang kepergian Rianti yang tiba-tiba.

“Mang Sofyan!” teriak Giano di depan pintu yang tertutup rapat.

Aneh. Sorot lampu yang sebelumnya tampak menerangi ruangan itu, tiba-tiba padam. Kepanikan menguasai pikiran empat anak muda itu. Pertanyaan-pertanyaan yang tidak sempat terlontar, akhirnya tertelan bersama suasana yang kian menghadirkan gundah.

“Kemana laki-laki itu?” bisik Al di dekat telinga Giano.

Wajah Al yang memutih pucat merambati kedua gadis yang bibirnya membiru. Mata mereka saling bertemu dalam kepanikan.

Giano memukul pintu keras-keras. Namun, tidak ada tanda-tanda orang yang diharapkan membukanya berada di dalamnya. Dikejar rasa ingin segera menemukan Rianti, Giano menendang daun pintu. Secepat kilat pintu pun terbuka. Mereka berempat menganga kaget sebab tanpa diduga tampak tubuh Rianti tergeletak lemas di salah satu pojok. Matanya terpejam. Wajahnya memutih kapas. Bibir yang biasanya kemerahan berubah menjadi membiru.

Tangan Giano memegang pergelangan tangan Rianti. Sementara Andara meletakkan telinga kanannya di dada Rianti.

“Alhamdulillah, masih bernapas,” bisik Andara.

Perasaan cemas yang menggeluti mereka sedikit terurai. Giano dan Al cepat-cepat berusaha meraih tubuh itu untuk dibawanya pergi. Sheila pun turut serta membantu mengangkat di bagian kaki. Sedangkan Andara sibuk berselancar dengan pikirannya yang merasa keheranan. Mengapa Rianti yang baru saja ber-Vidio call-an dengan diri-nya, tiba-tiba berada di kamar yang letaknya jauh dari tempat Rianti semula.Dia berprasangka ada mahkhluk lain yang membawanya. Sedangkan Mang Sofyan yang menjadi orang pertama yang dituduh Giano, tidak berada di ruangan itu.

Tanpa menutup pintu, Andara mengikuti jejak tiga sahabatnya yang menggotong tubuh Rianti. Lampu-lampu yang sudah mulai menyala menolong mereka memberikan cahaya. Dibaringkannya tubuh Rianti di ruang tengah dimana Mang Sofyan biasa sibuk menyiapakan makan malam. Namun, kegundahan hati Giano semakin memuncak kala tidak ditemui juga Mang Sofyan di tempat itu.

“Mang Sofyan ini gimana, sih?” Gumam Giano meluncurkan perasaan jengkelnya.

“Mungkin masih menyelesaikan pekejaan yang lain, Ano.” Al merespons dengan suara sedikit keras.

 Bersamaan dengan itu mereka dikagetkan oleh lengkingan jerit yang memilukan.Serta-merta Giano dan Al berlari mendekat ke arah suara. Baru beberapa meter langkah kaki mereka meninggalkan ruang makan, sebuah pemandangan mengagetkan mereka. Sheila berdiri berdiri  terpaku di depan Pintu  sebuah ruang kosong. Matanya memerah, dua tangannya memegang kepalanya.

“Ada apa Sheila?”

Giano mendekati sahabatnya yang menatap tajam pada sebuah ruangan terbuka di depannya. Tanpa menunggu jawaban Sheila, Mata Giano menangkap sosok yang tergantung di balik pintu. Tidak seluruh tubuhnya tampak. Hanya Tidak jelas siapa dia, Giano langsung berjalan mendekat. Matanya terbelalak setelah tahu bahwa sosok itu laki-laki yang dicurigai meneror Rianti oleh teman-temannya .

“Mang Sofyan!” teriaknya membelah gelap yang mulai pekat.

Jeritan Giano yang mengiris, memanggil. Andara dan Al berlari mendekat. Mereka berlari sekencang-kencangnya. Cuaca gelap tidak membuat mereka surut. Sheila sempat terhuyung nyaris jatuh karena kakinya terantuk benda asing di depannya.Kengereian di depan matanya memaksa dia lari menjauh.

“Ano, kenapa dia, Ano?” teriak Sheila tidak kalah keras dengan teriakan Giano.  

 Sementara Rianti yang masih terbaring lemah hanya bisa mengerahkan sisa tenaganya untuk bangun. Namun, baru saja dia mencoba mengangkat kepalanya, sebuah tangan menariknya menjauh dari tempat itu. Tarikan dengan kekuatan luar biasa hingga membuat tubuhnya seakan melayang di udara. Matanya yang masih tersisa air mata meruam kembali. Ketakutan yang membubung mengharuskan bibirnya menjerit sekencangnya. Namun, tangan besar yang telah membawanya ke tempat asing itu, menutup mulutnya rapat-rapat.  

 Sementara, Giano, Al, Sheila, dan Andara sibuk sekaligus panik dengan ditemukannya laki-laki yang tubuhnya tergantung di depan pintu sebuah kamar. Mereka tidak mengetahui apa yang akan diperbuat.Hanya satu yang bisa mereka lakukan, menghubungi polisi.

“Lama banget sih, Pak Polisi ini?” Andara mulai mengeluh setelah merasa bosan menunggu.

“Bahkan tidak ada yang menyahut,” jawab Giano bingung.

Memang tidak mudah menghubungi polisi dari pulau kecil yang jaringan internetnya terhalang oleh laut. Apalagi cuaca buruk dan waktu terus merangkak menuju malam.

“Benarkah ini Mang Sofyan?” Andara teranga untuk meyakinkan sosok priya yang tergantung di depannya.

“Benar, An,” sahut Giano nyaris berbisik.

“Mengapa bisa begini, Ano? Siapa yang telah melkukannya?”

“Tenang, Andara! Kita tunggu saja hasil pemeriksaan polisi!”

“Aneh banget. Sebenrnya siapa saja yang tinggal di vila ini, Ano. Kau bilang Mang Sofyan hanya sendirian.” Andara terus mendesak.

GK, 21 Juli 2023

Kamis, 22 Juni 2023

Menanti Matahari


 Menanti Matahari

Part @4

Oleh: Khatijah

“Ayo, Anti kita keluar. Lihatlah dari sini pemandangan di senja sangat menakjubkan!” ajak Andara sambil melongokkan wajahnya ke luar.

Jandela di kamar yang ditempati Rianti dan Andara memang menghadap kea rah laut lepas. Dari tempat itu Andara bisa memandang dermaga yang berada agak menyamping ke sebelah kiri. Meski mata tidak leluasa karena terhalang oleh dahan-dahan cemara udang, tapi jauh di batas cakrawala masih tampak bola besar berwarna merah darah yang tinggal separuh tercelup ke dalam air. Bola besar itu menyebarkan warna serupa di atas permukaan ombak hingga menimbulkan gelombag-gelombang jingga yang sangat indah. Sejuk angin menerpa wajah Andara mengurai anak-anak rambutnya nyaris menutup matanya.

Rianti bermalas-malasan di atas kasur meski pusing kepalanya terasa kian menghilang setelah beberapa menit dia sempat terlelap. Ajakan Andara menimbulkan penasaran. Dia pun  mencoba bangun. Seribu kunang-kunang tiba-tiba menyerbu pandangannya sesaat setelah di duduk. Keringat dingin kembali membasahi wajah dan tubuhnya. Perlahan dia kembali pada posisi berbaring.

“Andara, kamu keluar saja sendiri! Aku gak bisa ikut.”

Dengan ucapan terputus-putus, Rianti memejamkan matanya. Kelopak matanya tampak cekung, bibirnya memutih. Karena terhipnotis suasana di luar, perhatian Andara tidak sempat singgah pada kondisi sahabatnya. Dia menganggap Rianti hanya bermalas-malasan saja. Tanpa menoleh ke arah Rianti, dia buru-buru berlari keluar kamar. Semangatnya untuk menikmati suasana pantai di saat senja terpicu juga oleh tiga kawannya, Al, Giano, dan Sheila yang sudah lebih dulu berkejaran di pantai.

Rianti menahan rasa sakitnya. Sambil gemetaran, jari-jarinya berselancar di setiap saku baju dan celannya untuk mencari obat. Namun, usahanya sia-sia sebutir pun tidak tersisa. Semuanya telah tertelan ombak bersama tas kecil saat perjalanan menuju pulau ini. Dicobanya memejamkan mata rapat-rapat agar bisa tertidur. Namun suara derit pintu membuatnya terkejut.

“Andara kenapa kembali?”

Masih dalam kondisi terpejam Rianti memastikan jika yang membuka pintu itu Andara. Namun, orang yang dianggapnya Andara tidak segera menyahut. Suara langkah kaki yang kian mendekat, memaksa  Rianti membuka matanya. Seketika dia bangun dari posisinya berbaring. Dia biarkan matanya menyapu ke setiap sudut, tetapi tidak ada Andara, tidak ada juga seorang pun yang tampak di ruangan itu.

“Andara, Andara kamu di mana?” teriaknya berulang-ulang.

Anehnya, suara langkah itu tidak terdengar lagi. Padahal sebelumnya, jelas sekali suara itu mendekat sama persis dengan langkah kaki manusia. Karena tidak menemukan Andara, Rianti buru-buru mengambil ponselnya yang tergeletak di atas bantal. Secepat kilat dia mencari kontak WA Andara dan ditekannya gambar gagang camera di bagian atas aplikasi itu. Lalu dia menggeser ke atas. Tidak menunggu lama, Andara pun mengangkat panggilan video dari Rianti.

“Ada apa Anti? Ayo ke sini. Sudah sembuh kan pusingnya?”

Bukan main terkejutnya Rianti setelah dia melihat Andara lagi berada di pantai bersama teman-temannya yang lain. Rianti mengambil kesimpulan bahwa memang bukan Andara yang baru saja masuk ke dalam kamar. Tiba-tiba pikirannya mencurigai laki-laki yang bertemu di halman. Yang dipanggil dengan nama Pak Sofyan baik oleh Giano maupun Andara.

“Andara, barusan kamu kembali ke kamar, ya?”

“Enggak, aku ada di sini kok. Kamu saja gak mau. Nih, lihat teman-teman semua di sini.  Asyik  sekali, ayo sini!” sahut Andara sambil mengarahkan camera ke arah Giano, Al, dan Sheila.

Seketika Andara terkejut bukan main karena dia melihat sekelebat bayangan di belakang Rianti. Dia pun memekik keras-keras dan tanpa sadar ponselnya terlempar jauh. Teman-temannya pun berlari mendekat ke arah Andara.

“Kenapa An? Ada apa?” tanya Sheila seraya memegang tangan Andara yang terus memegangi dua telinyanya. Sementara El dan Giano hanya terkesima memandangi ekspresi Andara yang tiba-tiba menggigil ketakutan.

“Di kamar. Rianti!” teriaknya sambil menunjuk ke arah kamar di mana Rianti berada.

Giano dan El langsung tanggap atas ekspresi Andra yang menggambarkan ketakutan dan kengerian. Mereka mengkhawatirkan Rianti. Secepat kilat, Giano mengambil langkah seribu meninggalkan tempat itu. El yang semula hanya memandang tertegun, akhirnya mengekor di belakangnya dengan berlari tidak kalah kencangnya. Sheila dan Andara tidak berdiam diri. Mereka pun mengejar dua temannya yang sudah lebih dulu membuat tepian laut itu sepi.

Hanya dalam hitungan menit, Giano sudah sampai di depan kamar Rianti. Dia langsung mendobrak pintu yang ternyata tidak terkunci. Dengan napas tidak beraturan, dia sapukan pandangan ke setiap sudut kamar. Namun, matanya tidak menangkap Rianti. Tidak ada siapa-siapa. Dibukanya kamar mandi dan mencarinya di sana, tetapi kosong. Dalam was-was yang sempurna dia berpikir keras kemana Rianti berada. Pertanyaan-pertanyaan meneggelamkan pikiran warasnya. Berbagai praduga muncul tiba-tiba.

“Rianti!” pekiknya memenuhi ruangan berukuran 5 x 5 meter itu.

Keriuhan segera terjadi ketika El, Sheilla, dan Andara sampai di kamar itu. Mereka memanggil Rianti bergantian. Namun, tidak ada satu pun jawaban. Giano berlari menuju lobi depan melewati lorong yang menghubungkan kamar-kamar dan ruang tengah. Matanya tidak henti mengamati setiap tempat yang dilewati. Kosong. Lalu ingatannya berlari pada Mang Sofyan, satu-satunya laki-laki yang berada di bangunan tepi pantai ini.

“Mang Sofyan, Mang!”

Bws, 23 Juni 2023

Selasa, 20 Juni 2023

Serpihan Cinta di Langit Saga

 

                                                Foto: Koleksi Pribadi "Tamansari Yogyakarta"

  Serpihan Cinta di Langit Saga

Part 14

Oleh: Khatijah

Ratih membuka matanya. Dia merasakan tubuhnya remuk. Sendi-sendinya terasa tidak berfungsi. Keringat dingin membasahi baju yang dikenakannya. Dalam kondisi seperti itu, dia kaget bukan main saat menyapukan pandangan ke sekeliling. Tampak dinding tinggi membatasi sebuah ruangan lebar dengan ornament keemasan. Sebuah vas setinggi dada tempat meletakkan bunga-bunga lili warna kuning gading bertengger di pojok ruangan. Sedangkan di dekat jendela kuntum-kuntum bunga mawar putih kecil-kecil tertata indah di sebuah vas yang berukuran sama dengan vas yang berada di pojok. Semerbak wanginya menerpa indra penciuman. Pandangan mata Ratih meluruh ke bawah. Sebuah karpet tebal warna merah saga melapisi lantai.

Perlahan Ratih mencoba bangkit. Kasur empuk dan tebal serupa menggelamkan tubuhnya. Sehingga dia kesulitan untuk menopang tubuhnya. Dia terkejut saat memandang dua perempuan berkebaya yang berdiri di sampingnya.

“Maaf, kalian ini siapa,ya? Aku sedang berada di mana?” Serta-merta Ratih menyapa mereka.

“Kami pelayan yang siap membantu Ndoro,” sahut seorang perempuan yang usianya lebih dari paruh baya.

Sedangkan wanita muda yang berparas cantik hanya mengangguk kecil.

“Tuan Muda telah membawa Tuan Putri ke sini.” Wanita itu melanjutkan penjelasannya.

Sejenak Ratir terbengong. Dia mencoba menggali memorinya. Tidak ada bayangan sama sekali tentang sosok yang telah membawanya ke tempat ini. Yang dia ingat hanyalah Melati si gadis kecil yang mengajaknya berjalan-jalan di dekat danau. Setelah itu, ingatan Ratih tidak lagi menyimpan peristiwa yang dialaminya.

“Di mana Melati?”

Ratih menengok ke kanan dan ke kiri, tetapi tidak dilihatnya anak perempuan yang sebelumnya membersamai dirinya di jalan menuju telaga.

“Melati siapa, Tuan Putri?”

Sambil kebingungan salah seorang yang lebih tua menanggapi pertanyaan Ratih.

“Aku bukan Tuan Putri, namaku Ratih.”

Ratih merasa aneh terhadap sebutan yang diberikan oleh perempuan-perempuan yang berada di depannya. Ucapan-ucapannya begitu halus.  

“Kalau Tuan Putri sudah enakan, dipersilakan untuk membersihkan diri. Mari  saya antarkan ke  tempat pemamdian,” ujar perempuan yang usianya lebih muda, bahkan mungkin hanya beberapa tahun di atas usia Ratih.

Ratih tidak menyahut. Hatinya sangat sedih karena harus berpisah dengan Melati dan kedua orang tuanya. Hatinya juga sangat khawatir kalau Dewanda akan datang dan mencarinya. Dia benar-benar menyesal karena tidak bisa menjaga amanah dari pemuda yang telah melepaskan dirinya dari cengkeraman para penjahat. Dia tidak mematuhinya, tetapi justru mengikuti permintaan anak kecil Melati melihat-lihat pemandangan di luar rumah. Padahal dia paham benar bahwa pesan Dewanda itu untuk menyelamatkan dirinya dari orang-orang tidak baik, termasuk orang yang telah membawanya ke tempat ini.

“Mari, Tuan Putri. Kami siap menemani Tuan Putri mandi!” Wanita lebih dari paruh baya terus mendesak Ratih. Sedangkan perempuan yang lebih muda membawa  setumpuk pakaian yang diperkirakan disediakan untuknya.

Ratih mengerutkan dahinya. Pandangannya melirik pada pakain yang melekat pada tubuhnya. Kusut dan dekil. Malu tiba-tiba menjalari perasaannya. Dia merasa tidak pantas untuk menempat di tempat yang sangat  mewah.  Ddia jadi bingung. Akankah dia mengikuti perintah para wanita itu atau dia akan kabur.

Bondowoso, 21 Juni 2023  

  

 

Jumat, 09 Juni 2023

Serpihan Cinta di Langit Saga Part 13

 


Foto: Koleksi Pribadi  

Serpihan Cinta di Langit Saga

Part 13

Oleh: Khatijah

“Besok-besok saja ya, Dik. Mbak Ratih masih kurang enak badan,” sahut Ratih seraya meraba kedua pipinya yang terasa hangat.

Roman wajah gadis kecil itu berubah seketika. Kecewa begitu tergambar dari ekspesinya. Di luar dugaan, dia menarik tangan Ratih hingga Ratih kehilangan keseimbangan. Terhuyung dan nyaris jatuh.

“Melati, gak boleh memaksa seperti itu!” teriak ibunya saat tiba-tiba muncul di antara mereka.

“Ayo, dah gak apa-apa.” Akhirnya Ratih tidak tega menolak ajakan Melati.

Ratih tidak mampu mengucap kata selain itu. Gadis kecil itu terlalu bersemangat untuk mengajaknya jalan-jalan. Oleh karenanya, dia harus mampu meluluhkan egonya. Tidak bisa dia tetap tinggal diam. Perlahan dia melangkah. Pusing di kepalanya yang kian hilang membuatnya lupa akan pesan Dewanda.

Setengah berlari Melati mendahului langkah Ratih. Kakinya melompat-lompat menyusuri jalan setapak. Sesekali dia menengok ke belakang. Tampak senyumnya yang manis dalam rona berbunga-bunga. Ratih tidak mampu berjalan secepat Melati. Hingga Melati berhenti untuk menunggunya. Sebuah telaga dengan kecil  berlapis kabut di atas permukaannya sudah begitu dekat. Ingin sekali Melati bersuka ria menikmati indahnya bersama Ratih. 

Jalan yang tersiram hujan semalam masih menyisakan licin. Ratih harus super hati-hati. Berbeda dengan Melati yang berlari-lari sambil bernyanyi-nyanyi. Ratih tidak mampu mengikutinya. Pandangannya yang kadang seperti terhalang ribuan kunang-kunang membuat langkahnya terhenti. Sementara Melati sudah meninggalkannya jauh di depan.

“Mbak Ratih, ayo cepat!” Melati berteriak memanggil-manggil.

Ratih terjatuh. Seketika tidak ingat apa-apa. Dari jauh Melati melihat kejadian itu. Dia pun berlari kembali ke arah Ratih. Dilihatnya gadis yang dipanggilnya Kakak itu terkulai dengan mata terpejam. Melati panik. Dia berteriak-teriak keras sekali hingga suaranya menggema di antara bebukitan di sekelilingnya.

“Tolong!” teriak melati berkali-kali.

Tanpa dia tahu dari mana arahnya tiba-tiba dia mendengar derap kaki kuda. Dia menggigil karena pemuda tinggi besar itu turun dari pelana dan meraih tubuh Ratih. Tanpa meninggalkan satu pesan apa pun dia pergi bersama kudanya yang sebelumnya dilecut keras-keras. Mata Melati terus memandangi jalan yang dilewati pemuda berkuda yang mebawa  Ratih. Dia hanya bengong sebab secepat kilat pemuda itu pergi. Tidak sempat dia memandang wajahnya. Dalam hatinya bertanya-tanya mungkinkah pemuda itu Dewanda.  

Badan Melati belum berhenti menggigil, bibirnya bergetar keras, wajahnya memutih pucat. Gadis kecil itu berjalan tertatih sambil memanggil-panggil nama Ratih.

“Mbak Ratih!”

Tidak seorang pun mendengarnya. Di ujung penyesalannya, dia terus berjalan ingin mengadukan peristiwa itu kepada ayahnya. Menyesal karena telah mengajak Ratih jalan-jalan di padang yang sepi. Belum sampai di halaman, Pak Haji melihat Melati yang tampak sedang tidak baik-baik saja. Dia pun bergegas menemui anak gadisnya itu.

“Ada apa Melati? Mana Ratih?” Pak Haji menghujani Melati dengan pertanyaan.

Melati tidak bisa menyampaikan peristiwa yang baru saja terjadi. Bibirnya serasa terkunci. Perasaan bersalah menghantui dirinya. Dia memastikan ayahnya akan marah besar. Belum juga dia kepikiran akan keadaan Ratih yang dibawa laki-laki berkuda yang tidak dikenal.

                                                                                   Bondowoso, 10 Juni 2023  

 

 

 

Senin, 05 Juni 2023

Rembulan Merah di Langit Duka

 


Rembulan Merah di Langit Duka

Oleh: Khatijah

Mata Alina memerah. Sakit hati tidak lagi bisa terbendung saat kembali membuka WA. Hampir enam bulan dia menunggu balasan chat dari Refal, kekasihnya. Dadanya dibakar perasaan cemburu yang membabi buta. Bukan hanya rindu yang harus ditelannya sendiri, tapi penasaran telah membuatnya nyaris gila. Betapa tidak, selain tidak membalas chat dan panggilannya, di kampus pun Refal serupa ditelan bumi. Semua akun media sosial pun sudah lama tidak aktif.

Bulan sabit di langit membersamai Alina. Malam itu dia hanya bisa memandangi foto dan video kenangan di instagramnya sendiri. Foto-foto yang mengukir saat-saat manis bersama Refal. Naik Kereta Api Pasundan berdua. Berpayung di Kawah Putih Ciwedey, menikmati indahnya kawasan Puncak, bahkan tampilan reel yang mengabadikan keceriaan saat keduanya naik kuda di Bromo. Kenangan itu begitu mengiris. Alina membanting ponselnya. Cemburunya memuncak teringat bahwa tidak hadirnya Refal bersamaan dengan pindahnya Rena, teman kuliahnya yang selama ini juga menaruh hati pada Refal. Hatinya begitu kuat menganggap Refal telah berpindah ke lain hati.

Iseng-iseng Alina membaca pengumuman di grup WA HIMA. Dikatakan bahwa beberapa mahasiswa akan mewakili organisasi untuk berangkat ke luar kota. Dia menyesal karena beberapa minggu ini tidak aktif mengikuti kegiatan sehingga dia ketinggalan informasi. Sebuah foto karangan bunga menjadi pusat perhatiannya. Dia terkejut ketika membaca ucapan duka cita untuk Refal yang tertulis di karangan bunga itu. Alina pingsan.

Bondowoso, 6 Juni 2023        

Selasa, 30 Mei 2023

Cara Menemukan Ide Menulis

 

Cara Menemukan Ide Menulis

Oleh: Khatijah

Pernahkah Anda kesulitan mendapatkan ide menulis? Menulis merupakan kegiatan yang menyenangkan. Namun, biasanya terkendala dengan menemukan ide. Ide tidak datang begitu saja. Namun, kita harus memburunya. Sebenarnya banyak ide yang berseliweran di sekeliling kita. Namun, keraguan untuk mengangkatnya menjadi sebuah tulisan membuat kita tidak segera memulai menulis. Kadang-kadang terlalu banyak pertimbangan. Takut idenya kurang pas atau kurang menarik. Padahal kalau kita berani mengembangkan menjadi tulisan kadang akan membuat kita tercengang.

Kejadian-kejadian yang kita lihat, kita dengar, dan kita rasakan merupakan sumber ide yang tidak akan kering. Sesuatu yang pernah kita alami sendiri menjadi sumber ide yang luar biasa untuk beberapa genre tulisan. Misalnya saja kita pernah pergi ke suatu tempat yang meninggalkan kesan  mendalam dalam pikiran kitadapat menjadi sumber ide yang bagus. Jika kita akan menulisnya dalam bentuk fiksi, kita tinggal mengimajinasikan dengan peristiwa, tokoh, konflik dengan menggunakan setting tempat, suasana, dan waktu dengan tempat itu. Bisa juga kita mengangkatnya dalam bentuk reportase, kolom, atau jenis tulisan lain.  Sumber ide yang tidak mudah kering dari ingatan adalah pengalaman. Hal-hal yang pernah kita alami, entah itu suka maupun duka bisa dijadikan sumber penulisan.

Bagaimana cara berburu ide? Hal-hal yang mudah untuk untuk menggali ide:

Pertama, kita catat semua kejadian yang kita alami. Kita bisa mencatatnya di ponsel karena ponsel merupakan benda yang jarang lepas dari tangan kita. Bisa dengan cara membuat grup WA dengan anggota dua atau tiga orang terdekat. Kalau sudah terbentuk grup, lalu keluarkan anggota tersebut. Tinggalah kita sendiri yang menjadi anggota grup. Nah, dengan begitu, kita leluasa untuk mencatat apa saja yang kita lihat, kita dengar, kita rasakan. Selain mencatat kejadian, kita dapat memfoto atau memvideokan. Dari foto dan video kita akan menggali ide sebanyak-banyaknya.

Cara yang kedua, banyak membaca baik berupa karya orang lain atau berita. Taufik Ismail  pernah berpendapat “Rabun Membaca Lumpuh Menulis, kiranya hal itu benar adanya. Seseorang yang rajin membaca akan mudah menuangkan ide-ide cemerlang. Sedangkan orang yang jarang membaca akan kesulitan memunculkan ide. Orang yang sering membaca, akan mengembangkan kalimat dengan mudah. Dia akan menuliskan kalimat-kalimat mengalir begitu saja tanpa harus dipaksa. Hal itu sudah terbukti. Untuk itu membaca harus selalu kita lakukan setiap waktu.

Ketiga, ikut di komunitas penulis. Dengan ikut di komunitas ini kita akan termotivasi untuk menulis seperti yang dilakukan oleh anggota komunitas itu. Kita juga bisa membaca karya-karya mereka. Dari sini kita banyak mendapatkan ide menulis.

Keempat, berusaha dengan berpikir keras untuk menemukan ide. Memulai menulis dengan selalu mengasah semangat. Semangat yang tertanam di dalam diri kita, akan memudahkan kita mendapatkan ide penulisan. Mengapa bisa seperti itu? Jawabannya mudah. Jika  kita sudah bersemangat untuk menulis, kita akan berusaha keras. Di luar dugaan, jika kita mulai menulis kadang ide-ide bermunculan dengan sendirinya.

Mulailah menulis apa saja yang kita lihat, kita dengar, dan kita rasakan. Mulailah dengan satu kalimat. Teruslah berpikr fokus pada apa yang sudah kita tulis itu. Lanjutkan menuliskan kalimat-kalimat berikutnya dengan menggunakankata kata rujukan atau dengan repetisi dari inti yang kita biscarakan. Maka pengembangan ide-ide tentang tulisan kita akan mengalir. Berhenti sejenak, bukan merupakan masalah. Maka kalau ide sudah buntu berhentilah, kerjakan apa saja aktivitas kita yang biasa kita lakukan. Suatu ketika kadang-kadang kita mendapatkan ide baru untuk melanjutkan tulisan kita. Segera menuliskan ide yang kita dapatkan tersebut untuk mengembangkan tulisan yang sudah ada. Hal itu dilakukan agar ide tersebut tidak hilang.

 

Minggu, 28 Mei 2023

Teknik Menulis Berantai

 


Teknik Menulis Berantai 

Oleh: Khatijah


 Menulis Berantai merupakan salah satu teknik pembelajaran menulis yang dilakukan secara kelompok dengan melibatkan seluruh anggota kelompok  di dalam kelas. Semua siswa ikut berperan dalam menyusun kalimat-kalimat secara bergiliran. Kata ‘rantai’ tali dari cincin yang berkaitan (KBBI Offline).Yang dimaksud menulis berantai adalah menulis sebupah teks yang berupa paragraph-paragraf yang ditulis  secara berkaitan oleh antaranggota kelompok.Kelompok yang anggotanya terdiri atas 4—5 orang harus berperan semua di dalam menyampaikan ide secara tertulis. Caranya, pada pramenulis peserta didik mengamati atau membaca teks model laporan hasil observasi. Sambil membaca mereka diminta sambil menganalis struktur teks tersebut.Kegiatan ini berguna untuk mengingat kembali struktur teks laporan hasil observasi yang sudah dipelajari pada pertemuan sebelumnya. Perlu diingat kembali bahwa struktur teks laporan hasil observasi antara lain: judul, definisi umum, deskripsi bagian, dan deskripsi manfaat.

Kegiatan ini termasuk kegiatan mengamati pada pendekatan saintifik.Setelah itu, guru memfasilitasi peserta didik agar mereka menanyakan hal-hal yang tidak mereka ketahui.Hal ini merupakan perwujudan dari tahap ‘menanya’ pada pendekatan saintifik.Langkah berikutnya, guru memfasilitasi peserta didik di dalam kelompoknya untuk mengumpulkan informasi.

Dalam tahap mengumpulkan informasi ini seluruh anggota kelompok mengamati objek yang telah ditentukan oleh guru.Dari Sembilan kelompok, masing-masing mengamati objek yang berbeda. Kelompok 1 mengamati ruang Guru, Kelompok 2 mengamati Ruang TU, Kelompok 3 mengamati Ruang Bimbingan Konseling, Kelompok 4 mengamati Ruang Laboratorium IPA, Kelompok 5 mengamati Mushola, Kelompok 6 mengamati Lapangan Upacara, Kelompok 7 mengamati Lapangan Basket, Kelompok 8 mengamati Ruang Perpustakaan, dan Kelompok 9 mengamati Taman Sekolah.Kegiatan ini merupakan bagian dari pendekatan saintifik ‘mengamati’.Di dalam kegiatan ini semua anggota kelompok harus mencatat data-data yang mereka peroleh selama kegiatan mengamati. Data-data yang mereka peroleh dapat berupa hasil pengamatan langsung dari indra mereka terhadap objek, tetapi dapat berupa hasil wawancara dengan nara sumber.

Setelah mereka mendapatkan data yang dapat digolongkan jawaban dari apakah objek  yang diamati, apa saja bagian-bagian yang mendukung, dan apa manfaat objek yang diamati tersebut, semua kelompok kembali masuk kelas.Setelah sampai di kelas semua kelompok tetap duduk bersama kelompoknya. Selanjutnya mereka mengolah informasi. Data-data yang diperoleh pada saat mengumpulkan informasi diolah menjadi sebuah teks laporan hasil observasi. Sebelumnya setiap kelompok menyusn kerangka teks laporan hasil observasi, yang terdiri atas judul, definisi umum, deskripsi bagian, dan deskripsi manfaat. Setelah itu barulah kegiatan dilanjutkan dengan menyusun teks laporan  hasil observasi berdasarkan kerangka yang sudah disusun. Pada kegiatan mengembangkan kerangka inilah teknik menulis berantai diberlakukan.Setelah menuliskan judul, maka dimulailah menyusun paragraph yang berupa defiisi umum.

Peserta didik pertama menuliskan dua kalimat yang merupakan kalimat awal dari definisi umum, kemudian menuliskan namanya di dalam kurung.Setelah itu dilanjutkan peserta didik kedua melanjutkan  dengan menuliskan dua kalimat berikunya.Demikian juga anggota kelmpok yang ketiga juga melanjutkan dengan menulis dua kalimat. Disusul anggota kelompok keempat atau kelima melanjutkan dengan menulis dua kalimat.Demikianlah sehingga seluruh anggota kelompok menuliskan masing-masing dua kaliamat untuk definisi umum.Setelah itu dilanjutkan dengan paragraph yang berupa deskrisi bagian. Dalam mengembangkan deskripsi bagian caranya sama dengan pelaksanaan pengembangan paragraph sebelumnya.Setiap anggota kelompok menuliskan dua kalimat secara sambung menyambung secara koheren. Orang pertama menuliskan dua kalimat, disambung orang kedua dengan melanjutkan dua kalimat.Orang ketiga melanjutkan lagi dengan menulis dua kalimat.Dan orang keempat juga meneruskan dengan menulis dua kalimat.Selanjutnya mengembangkan deskripsi manfaat. Pelaksanaannya sama dengan pengembangan definisi umum dan deskripsi bagian.Kembali ke orang pertama menjelaskan manfaat dari sesuatu yang dijadikan objek penulisan atau yang didefinisikan dengan menulis dua kalimat. Dilanjutkan orang kedua dengan menuliskan dua kalimat.Orang ketiga menambah dua kalimat.Dan orang keempat juga menuliskan dua kalimat.

Penyusunan teks hasil observasi di atas masih berupa draf yang harus disempurnakan baik dari segi struktur teksnya, penggunaan kalimat, pilihan kata, dan ejaannya.Oleh karena itu, kegiatan pembelajaran terus berlanjut pada tahap menyampaikan hasil.Pada tahap ini, semua kelompok di minta memajang hasil tulisannya. Setelah itu guru memberikan informasi agar setiap kelompok mengamati hasil kerja kelompok lain dengan cara mencatat kekurangan dan kelebihannya ditinjau dari struktur teks, penggunaan kalimat, pilihan kata, dan ejaan. Agar lebih efektif guru membagi tugas kelompok 1 mengamati hasil kerja kelompok 2, kelompok 2 mengamati hasil kerja kelompok 3, kelompok 3 mengamati hasil kerja kelompok 4, kelompok 4 mengamati hasil kerja kelompok 5, kelompok 5 mengamati hasil kerja kelompok 6, kelompok 6 mengamati hasil kerja kelompok 7, kelompok 7 mengamati hasil kerja kelompok 8, kelompok 8 mengamati hasil kerja kelompok 9, kelompok 9 mengamati hasil kerja kelompok 1.

 Setelah selesai mengamati hasil kerja kelompok lain, masing-masing kelompok menyampaikan kekurangan dan kelebihan hasil kerja kelompok yang diamati dengan memberikan bukti dan contoh-contoh.Dengan bimbingan guru,kelompok yang sudah mendapat komentar dari kelompok lain, mmemperbaiki kesalahan-kesalahan yang berkaitan dengan struktur, penggunan kalimat, pilihan kata, dan ejaan.Kemudian dilanjutkan dengan penulisan ulang atau penyempurnaan sehingga menjadi teks laporan hasil observasi.

Jumat, 26 Mei 2023

MEMPERTAHANKAN MOOD DALAM MENULIS NOVEL

 


MEMPERTAHANKAN MOOD DALAM MENULIS NOVEL

Oleh: Khatijah

 

Mempertahankan mood dalam menulis novel itu, sebuah keharusan. Kalau tidak, kita bisa berhenti di tengah jalan sebelum ceritanya mencapai ending. Kejenuhan merupakan musuh terbesar dalam menulis novel. Apalagi menulis novel yang notabene cerita panjang. Perlu ketekunan dan ketelatenan yang dibangun dalam diri sendiri Caranya, sebelum menulis kita buat kerangka dasarnya terlebih dahulu. Setelah itu, saat mengembangkan kita boleh membangun konflik-konflik kecil yang berada di luar kerangka. Hal ini kita lakukan agar cerita kita menarik, tidak garing, dan tidak  terkesan monoton. Kehadiran tokoh dalam novel berfungsi untuk menggerakkan alur. Jika cerita kita macet, alurnya buntu, kita bisa menghadirkan tokoh baru. Dari sini akan terbangun konflik-konflik baru.

Ada beberapa cara untuk mempertahankan mood agar bisa terus melanjutkan kisah yang ditulis di dalam novel.

1.    Setelah menemukan ide, segeralah buat kerangka dasarnya terlebih dahulu. Tulislah garis-garis besar yang akan menjadi pedoman dalam mengembangkan ide. Kerangka ini berfungsi untuk menentukan alur yang akan digunakan. Namun demikian, kerangka tidak membatasi ruang gerak dalam mengembangkan tulisan. Penulis tidak perlu terpaku pada kerangka. Jika di tengah perjalanan menulis novel, muncul ide-ide baru di luar kerangka langsung saja disisipkan. Bahkan bisa juga kerangka awal itu ditinggalkan sama sekali.

2.    Segeralah menulis paragraf awal. Jangan terlalu lama meninggalkan ide yang sudah tertangkap di dalam pikiran. Jika ide itu tidak segera ditulis, maka akan hilang bersama berjalannya waktu. Pilihlah kata dan kalimat menarik yang bisa menimbulkan penasaran pembaca. Bisa memulai dengan deskripsi, bisa juga dengan dialog.

3.    Ciptakan konflik pada paragraph-paragraf awal. Meskipun tidak tertulis pada paragraph pertama, bocoran konflik harus sudah tampak pada paragraf awal. Selain, memudahkan penulis dalam mengembangkan alur, bocoran konflik pada bagian awal novel akan menggiring pembaca untuk merasa penasaran dan melanjutkan membaca bagian-bagian berikutnya.

4.    Bangunlah anak-anak konflik. Selain konflik besar yang sudah ada di dalam pikiran penulis, kembangkan juga konflik-konflik kecil. Seperti halnya yang dialami oleh seseorang di dalam kehidupan nyata.

5.    Deskripsikan dengan detail. Deskripsi di dalam novel berbeda dengan deskripsi di dalam pentigraf dan cerpen yang dibatasi oleh jumlah kata dan halaman. Novel merupakan cerita panjang yang memungkinkan pendeskripsian secara detail. Tulislah bagian-bagian kecil yang sangat terperinci. Dalam hal ini penulis mempunyai keuntungan mengeksplorasi banyak pesan moral sampai dalam hal sekecil-kecilnya.

6.    Hadirkan tokoh baru. Jika tulisan kita macet, banyak solusi untuk mengatasinya. Salah satunya dengan menghadirkan tokoh baru. Tentu saja tokoh baru yang kita munculkan memiliki hubungan dengan tokoh utama yang berperan menambah kerumitan di dalam konflik yang dihadapi. Misalnya saja secara tidak terduga, tokoh bertemu dengan seorang penjahat yang akan mencelakai. Disini bisa muncul tokoh baru itu untuk membantu melawan penjahat itu. Mungkin saja tokoh baru itu seseorang yang pernah dikenal di masa lalu. Dengan sendirinya, alur pun akan terus bergerak dan bervariasi. Jika sebelumnya hanya mengikuti jalannya alur progresif, dengan hadirnya tokoh baru akan memunculkan alur mundur.

7.    Buatlah tokoh utama mengalami kesalahan. Ketika tulisan macet, tidak perlu bingung. Buatlah tokoh membuat kesalahan. Tokoh utama di dalam cerita tidak harus sempurna. Seperti halnya manusia, tidak ada yang sempurna. Maka seorang tokoh wajar melakukan kesalahan atau kekeliruan. Kesalahan yang dilakukan oleh tokoh tersebut akan memicu konflik baru. Nah, dengan demikian penulis akan menawarkan beberapa hal untuk memecahkan masalah yang dialami oleh tokoh tersebut.

8.    Citapkan setting tempat dan suasana baru. Tempat di dalam novel tidak harus berkutat pada sebuat tempat. Seorang tokoh bisa pergi dan menempat di mana saja. Di desa lain, kota lain, bahkan di negara lain. Tempat yang ditulis akan diikuti oleh suasana yang berbeda pula.

 


Demikian  beberapa hal yang dapat mengatasi hilangnya mood saat menulis novel. Semoga bermanfaat.  

Kamis, 18 Mei 2023

Sesal



Sesal

Oleh: Khatijah


“Ibu, kenapa Bu?” Pak Darto menggoyang-goyangkan tubuh istrinya.

“Cepat telepon ambulans, Mbak Pak,” seru Bi Siti tergopoh-gopoh.

Pak Darto tidak mengindahkan Bi Siti. Dia berpikir bahwa membawanya sendiri akan lebih efektik. Cepat-cepat Pak Darto mencari kunci kontak. Kepanikan membuat dia terlupa menaruhnya. Berkali-kali dicarinya di meja depan TV, tetapi tidak ditemukan. Lalu berlari ke ruang tamu. Di sana pun dia tidak menemukan barang yang dicari. “Thia, di mana kunci kontaknya?” teriak Pak Darto.

Fathia tidak menjawab. Dia lebih fokus menolong ibunya. Ditepuk-tepuknya pipinya pelan-pelan dan dibisikkan panggilan.Namun, Bu kondisi Bu Harni tidak ada perubahan. Bi Siti yang tidak kalah panik turut memijit-mijit tangan wanita itu.

Terus saja Pak Darto mondar-mandir hingga kembali ke ruang makan.Tiba-tiba dia melihat kontak itu tergeletak di meja. Dengan tergesa-gesa dia menuju ke halaman. Beruntung mobilnya belum dimasukkan di garasi.

Beberapa menit kemudian, terdengar suara mesin mobil. Dengan dibantu Bi Siti, Fathia mendorong kursi roda ibunya ke luar rumah.

“Hati-hati, Thia! Pegang kursi rodanya,” ucap ayahnya seraya menggendong tubuh istrinya ke dalam mobil.

Udara malam menemani ayah dan anak dalam kepanikan. Lampu-lampu jalan yang berderet-deret serupa berlari kencang meninggalkan mobil yang dikemudikan Pak Darto. Fathia merasa mobil itu terlalu lambat. Resah hatinya mendesak-desak. Ingin segera tertuntaskan perjalanan menuju rumah sakit agar ibunya segera tertangani. Berulang-ulang Fathia memandang wajah ibunya yang pucat. Meski wanita itu tidak lagi kejang-kejang, tapi was-was di hati Fathia belum juga berkurang. Dia terus membisiki ibunya agar tetap bertahan.

“Kenapa berhenti, Yah? Ayo, jalan saja!” teriak Fathia ketika lampu merah mengharuskan ayahnya menghentikan mobil.

“Tidak bisa begitu, Fathia. Nanti terjadi kecelakaan, malah tambah masalah.” Pak Darto tidak mengindahkan anak gadisnya.

Fathia melongokkan wajahnya ke luar. Tampak mobil-mobil berderet panjang. Dia menggeleng-gelengkan kepala dengan bibir terus melafalkan doa. Hatinya gemas,  ketika lampu berubah menjadi hijau, tetapi mobil di depannya tidak cepat-cepat berjalan. Akibatnya mobil Pak Darto harus tertahan karena lampu sudah kembali merah. Mau tidak mau harus menunggu lampu hijau berikutnya. Sementara napas Bu Harni semakin sesak. Fathia kian panik. Doanya terus dipanjatkan agar ibunya masih bisa bertahan.

“Duh, gimana sih? Kenapa gak cepet-cepet?” Fathia menggerutu sambil terus melihat mobil yang ada di depannya.

Ketika lampu kembali hijau, Pak Darto membunyikan klakson keras-keras. Dia tidak lagi berpikir bagaiman reaksi pengendara mobil lain. Cepat-cepat dia mengegas mobilnya saat berhasil menyalip mobil di depannya. Fathia melepaskan kedongkolannya dengan menghirup udara dari hidung dalam-dalam dan mengeluarkannya pelan-pelan dari mulutnya.

Tidak lama kemudian, mobil Pak Darto memasuki halaman rumah sakit. Langsung dia menuju pintu Instalasi Gawat Darurat. Dua pemuda berbaju seragam kehijauan segera membawa tandu menuju pintu mobil Pak Darto. Dengan cekatan, mereka mengangkat tubuh Bu Harni dan membawanya masuk. Fathia terus mengikuti dari belakang. Dia berharap ibunya masih bisa diselamatkan. 

Bersambung... 

     

 

 

 

      

 

 

Rabu, 17 Mei 2023

Sepotong Luka

 


Sepotong Luka

Oleh: Khatijah

 

Riani menggigil. Tubuhnya basah oleh keringat dingin yang mengucur. Matanya memerah. Pertanyaan Bu Anis, wali kelasnya  telah menyentuh perasaan yang terhalus. Tidak seperti teman-temannya, bagi Riani hal itu sangat membuatnya malu. Betapa tidak, hingga masuk sekolah ini dia tak pernah melihat bahkan mendengar di mana ayahnya berada. Jika dia bertanya kepada ibunya, ibunya selalu marah dan menyuruhnya berhenti bertanya.

Bu Anis jadi salah tingkah melihat perubahan gestur Riani. Dia bingung menentukan kalimat yang membuat siswa baru itu pucat pasi. Menurutnya, pertanyaan yang dilontarkan itu biasa-biasa saja, tidak berbeda dengan yang disampaikan kepada anak-anak lain. Beruntung, ada Pak Hisyam yang berjalan di dekat mereka. Langsung saja Bu Anis memanggilnya dan meminta bantuan agar bisa menenangkan Riani.

Beberapa kalimat motivasi terlontar dari bibir Pak Hisyam. Dia hibur Riani dengan cerita-cerita tentang anak yang berprestasi. Bahkan dia ceitakan juga ada siswa berprestasi yang tidak punya ayah dan ibu. Pak Hisyam menguatkannya dengan mengatakan bahwa Riani lebih beruntung karena masih mempunyai ibu. Tampak perubahan di wajah Riani. Dia semakin kuat. Lalu pelan-pelan Pak Hisyam menanyakan nama ibunya. Betapa kagetnya guru itu setelah mendengar jawaban Riani. Ternyata Riani anak kandungnya sendiri yang dia tinggalkan ketika masih bayi karena perceraian.Sepotong luka terobek kembali di hatinya. Spontan dipeluknya anak itu.

Bondowoso, 18 Mei 2023

 

 

 

 

 

Selasa, 16 Mei 2023

Menanti Matahari@3

 


Menanti Matahari@3

Oleh: Khatijah

 

“Andara, Aku takut.” Tanpa sadar Rianti mengucap kalimat itu.

Andara menoleh. Dipandanginya wajah Rianti. Kerut keningnya mengisyaratkan keheranan. Dia benar-benar tidak mengerti kondisi Rianti yang tiba-tiba berubah. Tangannya menjadi dingin. Pucat wajahnya dan bibirnya bergetar.

“Kamu ini kenapa Anti?”

Rianti yang ditanya tidak menjawab. Sorot matanya terus mengikuti laki-laki yang tadi menatapnya dengan tatapan menakutkan. Andara mencoba mengikuti arah pandangan mata Rianti, tapi dia  tidak melihat siapa-siapa.

“Kenapa kita berada di tempat ini, An? Kita pulang, ya! Jangan lama-lama di sini!”

“Kita baru nyampai, Anti. Ada-ada saja kamu ini. Kita ke sini kan niatnya liburan. Kita habiskna liburan di sini,” gerutu Andara sambil terus melangkah menuju kamar yang sudah disiapkan.

Rianti ragu-ragu. Serasa ada yang menahan kakinya untuk mengikuti Andara. Dipalingkannya wajahnya ke kiri dan ke kanan. Sepi. Embusan angin semakin kencang. Bajunya putih ke abu-abuan yang dipakainya itu berkibar-kibar seolah akan membawanya terbang.

“Ayo, Anti. Cepetan!” teriak Andara masih menunggu sahabatnya yang belum juga melangkah.

“Tunggu, Andara!”

Dengan tertatih Rianti berjalan menuju ke tempat Andara berdiri. Sepanjang perjalanan tak henti matanya melirik ke kiri dan ke kanan. Suara-suara daun kelapa di luar yang diterpa angin serupa benar dengan suara langkah orang yang mengejarnya. Rianti terus mengerahkan tenaganya agar segera mencapai tempat Andara.

“Kok lama banget, sih?” Andara bersungut-sungut.

“Andara, aku ingin pulang.”

Andara tidak menyahut. Dia justru berjalan meninggalkan Rianti. Tidak ada pilihan lain bagi Rianti selain mengikuti Andara. Langkahnya dipercepat. Dadanya berdebar kencang. Sampailah mereka di depan pintu kamar. Masih dalam diam, Andara membuka pintu.

“Ayo, masuk!” Andara memberi jalan kepada Rianti.

Dengan ragu-ragu Rianti memasuki kamar. Sepontan pandangannya menyapu pada setiap sudut. Lalu matanya berhenti pada double bed dengan sprei putih bersih dan sebuah bantal. Tiba-tiba rasa kantuknya terpanggil. Ingin sekali dia rebahkan tubuhnya yang terasa lemas. AC yang terlalu dingin menusuk pori-pori, membuat dia meraba kulit lengannya.

“Kamu mandi saja dulu. Baru beristirahat sebentar. Setelah itu kita akan ke sana.” Andara yang berdiri di dekat jendela mengarahkan telunjukknya ke luar.

“Aku tiduran dulu ya, An. Andara aja yang mandi.Badanku terasa meriang.”

“Oke,” sahut Andara singkat.

Rianti tidak tertarik dengan pemandangan luar yang ditawarkan Andara. Dia memilih memejamkan mata untuk mengurangi pening kepalanya sejak dipermainkan ombak tadi. Meski begitu, jiwanya tidak bisa terlelap. Pikirannya terombang-ambing oleh peristiwa yang dialami. Mulai dari HP dan obat-obatan yang turut tenggelam bersama tasnya, juga lelaki yang tiba-tiba menabur sikap antipati kepadanya. Khekhawatiran itu begitu mengganggu. Tak henti-henti bayangan wajah orang tuanya bermain di depan mata. Tentu mereka sangat mengkhawatirkan dirinya yang tadi tidak mendapatkan izin sepenuh hati. Apalagi dia tidak bisa menghubungi mereka saat sudah sampai di tempat. Belum juga obat yang seharusnya dihabiskan sesuai resep dokter.

Bondowoso, 17 Mei 2023

 

 

 

 

Senin, 15 Mei 2023

Jejak Magrib

 


Jejak Magrib

Pentigraf : Khatijah

Gemericik suara air di bawah sana membuat mataku mencari-cari. Setelah kuperhatikan dengan cermat, rupanya ada sungai tidak jauh dari tempatku berdiri. Sementara matahari hanya meninggalkan sisa warna jingga di pucuk bukit di sebelah timur. Mega-mega menyerupai sisik ikan, semburat kemerahan membersamai debur ombak laut selatan yang samar-samar terdengar. Kunikmati saja suasana ini sambil menunggu Ratri yang masih berfoto-foto dengan teman-temannya di pantai yang kami kunjungi bersama.

Tidak mau kehilangan momen, buru-buru kukeluarkan ponsel dari tas kecilku. Dengan segera kuhidupkan camera. Kuvideo suasana romantis di sekelilingku ini. Lalu kufokuskan camera pada sungai di bawah. Sepi. Hanya air yang terus mengalir menampakkan buih-buih putihnya. Gemericiknya sangat menenangkan hati.

Beberapa menit kemudian, suasana menjadi gelap. Terdengar motor Ratri dan teman-temannya mendekat. Legalah hatiku karena tidak harus berada di tempat ini sendirian. Lalu aku pun menuju ke arah motor yang kuparkir beberapa meter di depanku. Sambil menunggu rombongan datang, aku duduk di jok siap untuk segera meninggalkan tempat ini. Sebelum mereka sampai, kubuka galeri HP-ku. Kucari video hasilku merekam beberapa menit yang lalu. Kuputar dan kuamati. Sejenak mataku tertegun. Bulu kudukku berdiri saat sekelebat tampak seorang gadis sendirian mandi di sungai di akhir videoku. Aku pun menjerit dan menyetater motor menjemput Ratri dan teman-temannya.

Bws, 16 Mei 2023       



Entri yang Diunggulkan

Puisi-Puisiku

  Puisi-Puisiku Oleh: Khatijah   1.        MENDEKAP HARAP Kupatahkan ragu di tiang rapuh Menjaga rasa cita pada setia Di cadas lin...